Dark
Light

[Dailyssimo] Revolusi Waktu dan Ruang Kerja

1 min read
March 10, 2012

Bagi Anda yang bekerja di kota sepadat Jakarta tentunya tidak perlu dijelaskan lagi apa yang membuat kota ini belum bisa disebut sebagai kota yang nyaman untuk dijadikan tempat bekerja, namun yang ingin saya angkat di sini adalah bagaimana teknologi membuat kemungkinan terjadinya revolusi waktu dan ruang kerja dalam keseluruhan industri.

Internet akan jadi tulang punggung dunia industri, walaupun pada saat ini masih banyak perusahaan yang belum secara optimal menggunakannya. Dan dengan internet ini pula maka sebenarnya sedikit demi sedikit permasalahan “bekerja di Jakarta” bisa teratasi. Bagaimana tepatnya internet jadi solusi? Saya akan coba paparkan di bawah.

Ada 2 permasalahan utama bekerja di Jakarta, pertama adalah optimalisasi waktu kerja. Hal ini tidak akan bisa tercapai jika untuk mencapai tempat kerja (belum untuk meeting di luar kantor) kita harus merelakan 2-3 jam, terutama ini diperkuat juga oleh pindahnya domisili para pekerja/profesional ke suburb. Kedua, fatigue (kelelahan) yang merupakan dampak dari faktor pertama. Unsur fatigue ini yang memunculkan perasaan tidak nyaman dalam bekerja yang akhirnya membuat pekerjaan tidak bisa dikerjakan secara optimum.

Kondisi transportasi dan regulasi pun sepertinya tidak bisa diharapkan sehingga internet yang tadinya (dan masih sampai sekarang) dianggap sebagai tempat ‘bermain’ (dengan istilah ‘main internetan’-nya) bisa jadi solusi.

Bisa dibilang pada saat ini hampir semua perusahaan sudah menggunakan email sebagai pengganti surat-menyurat, dan ini adalah contoh penetrasi internet

Tentunya ada beberapa perubahan pada habit bekerja di perusahaan yang harus mulai di-enforce bila kita ingin mendapatkan solusi tersebut di atas, yaitu:

  1. Mulailah dari berhenti menganggap internet sebagai ‘arena bermain’ karena internet sudah dijadikan platform kerja oleh banyak sekali aplikasi pekerjaan yang serius.
  2. Kurangi ketergantungan dari persepsi bekerja itu harus ‘kelihatan’ atau visible. Persepsi seperti ini yang membuat para pekerja berlomba-lomba menuju kantor untuk mengejar absen.
  3. Mulailah kultur online meeting, sehingga bisa mengurangi pemborosan waktu dan biaya + energi. Jangan membayangkan teknologi yang tinggi-tinggi dulu, simple voice conference saja sampai nantinya tinggal diputuskan untuk di-upgrade ke teknologi selanjutnya.

Dengan memulai 3 langkah di atas dan membiasakannya maka bisa dikatakan perusahaan Anda mulai melepaskan diri dari ketergantungan dari bekerja dengan tatap-muka tanpa harus kehilangan sense dari bekerja bersama-sama dalam sebuah kantor. Dan bayangkan jika klien Anda pun sudah terbiasa dengan sistem ini, tentunya akan lebih mudah mengajak mereka untuk ‘online meeting’ ataupun memberikan mereka ‘online presentation’. 🙂

Bagaimana menurut Anda?

[Sumber gambar]

Abang Edwin adalah seorang praktisi online community management sejak tahun 1998 jauh sebelum istilah social media/social network muncul di dunia internet. Ia memulai perjalanan eksperimentasinya dengan beberapa komunitas online yang akhirnya berkembang sukses pada saat itu, sampai saat ini ia pun masih memberikan konsultasi-konsultasi mengenal karakter dan membina komunitas online bagi brand/agency maupun perseorangan.

Ia sempat bekerja di Yahoo! selama lebih dari 4 tahun sebagai community manager. Dan kini posisi terakhir yang dijabatnya adalah Country Manager – Indonesia untuk Thoughtbuzz.net, sebuah perusahaan social media monitoring.

3 Comments

  1. Saya sih sangat sangat setuju dengan tulisan di atas.. Saya sendiri punya karyawan online dan outsourcing online udah sekitar 3 tahunan, semua task dilakukan online sampe ga pernah ketemu sama sekali krn karyawan saya beda kota. Hal ini tdk pernah terjadi tanpa internet! Justru kita sendiri yang harus menciptakan peluang menjadikan Jakarta sebagai kota yg nyaman untuk ditempati, tanpa perlu mengeluh kemacetan kan 🙂

  2. Tantangan utama memang persepsi bahwa bekerja itu harus “kelihatan”. Tetangga sering bertanya “mas kerja apa sih?” Mau cuek juga susah. Bagaimana mungkin? Hampir tiap hari saya dianggap “main internet” (hihihi, soalnya kerja di depan rumah). Orang tua sih lama-lama bisa mengerti. Akhirnya, saya “terpaksa” bekerja kantoran setelah dua tahun lebih bekerja secara full online. Kerja “offline”, menurut saya, ada manfaatnya juga. Paling tidak, kita masih bisa bertemu tatap-muka dengan orang lain. Tapi, secara pribadi, saya tetap lebih suka solitary working — with Internet.

  3.  Betul…..kerja online memang tidak dimaksudkan dengan menggantikan keseluruhan kerja dgn tatap muka sih ya. Jadikanlah ini jadi solusi bila kondisi seperti yg terjadi di kota kita ini membuat tatap-muka jadi sebuah effort lebih dalam bekerja

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Calling All Hackers: NASA brings International Space Apps Challenge to Indonesia

Next Story

[Dailyssimo] Time and Work Space Revolution

Latest from Blog

Don't Miss

Tri Luncurkan Paket HappyFlex

Tri, salah satu operator seluler ternama di Indonesia, terus berkomitmen

Semakin Banyak Game dengan Ukuran 100GB, Bagaimana Bisa?

Dulu, ukuran game dibatasi oleh kapasitas media yang developer gunakan,