Dark
Light

[idea@work] Customer Service di Twitter

by
2 mins read
March 20, 2013

Catatan Editorial: Artikel ini adalah tulisan tamu, Trenologi bekerja sama dengan Idea Imaji akan menghadirkan kolom idea@work setiap hari Rabu. Untuk kali ini tulisan akan membahas tentang customer service di Twitter.

Beberapa brand menggunakan akun Twitter-nya untuk berbagi info, membuat kuis, atau sekedar ngobrol dengan para pelanggannya. Pendeknya, hanya sekedar “berhubungan” dengan para pelanggannya. Para pelanggan umumnya me-mention akun brand untuk bertanya, menjawab kuis, atau sekedar menyebut saja, seperti contoh di bawah:

Pada contoh di atas, pelanggan mengatakan bahwa ia sedang menikmati hidangan di sebuah restoran. Akun seperti ini lazim dijumpai di bisnis hospitality seperti F&B.

Brand lainnya mengambil langkah yang lebih berani: Online Customer Service, via media sosial. Mereka menerima keluhan dan pertanyaan melalui media sosial (kali ini saya akan membahas Online CS di Twitter saja), selayaknya call center yang sudah lebih dahulu hadir untuk mengakomodasi kebutuhan pelanggan akan layanan pelanggan yang mudah diakses. Berbagai brand ini umumnya merupakan brand jasa dengan produk yang lekat dengan kehidupan konsumen berusia remaja hingga dewasa muda, seperti telekomunikasi dan perbankan.

Para brand menganggap langkah ini sebagai langkah yang revolusioner; mereka akan mampu menjawab keluhan pelanggan dengan biaya minimal. Pendaftaran akun baru di Twitter benar-benar bebas biaya, minus biaya koneksi internet tentunya.

Perkenankan saya mengambil contoh dari luar negeri untuk memperlihatkan kekuatan Twitter pada Anda.

Sir Patrick Stewart, seorang aktor asal Inggris (Anda mungkin mengenalnya sebagai pemeran Captain Picard di Star Trek: The Next Generation dan Professor Xavier di beberapa film X-Menterdahulu) mem-post sebuah tweet tentang “kehilangan hasrat untuk hidup” setelah menunggu lebih dari 36 jam agar Time Warner Cable (TWC), perusahaan televisi berbayar terkemuka di Amerika Serikat, dapat memasang layanan di apartemen barunya. Meski terlihat pihak TWC sendiri telah membalas tweet tersebut, hal itu rupanya terlambat; tweet Stewart tersebut telah di-retweet sebanyak hampir 1800 kali dan mendapat reply yang tidak kalah banyaknya. Dengan respon publik seperti itu, tidak terhitung berapa banyak orang yang akhirnya mengetahui soal aib TWC ini.

Tidak selamanya Customer Service di Twitter buruk. Contoh positif dapat dibaca pada artikel ini. Secara garis besar, artikel tersebut berisi tentang kisah Peter Shankman, seseorang yang iseng mem-post sebuah tweet ke Mortons (gerai steak terkemuka di Amerika Serikat), meminta Morton mengantarkan steak kepadanya ke bandara agar siap disantap begitu ia mendarat.

Tanpa berharap banyak, Shankman pun menjalani perjalanan dengan biasa saja; namun alangkah terkejutnya ia ketika ia menemukan seseorang dari Morton benar-benar membawakannya makanan. Shankman pun kembali mem-post pengalaman ini ke Twitter, dengan respon yang positif dari followers-nya. Akibat hal ini, tentu Morton mendapat publisitas gratis dari tweet-tweet tersebut.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa campaign di media sosial memang dapat menjangkau banyak orang dengan dengan biaya minimal. Maka, citra sebuah brand, baik positif maupun negatif, dapat menyebar secara luas dengan waktu yang relatif cepat.

Tingkah laku pengguna Twitter ini lebih lanjut ditelaah dengan sebuah studi yang dilakukan American Express. Studi ini menunjukkan betapa sensitifnya para pengguna media sosial akan kualitas customer service. Studi itu menunjukkan bahwa para rata-rata pengguna sosial media menceritakan pengalaman positif akan konsumsi suatu produk kepada 42 orang, dibandingkan dengan non-pengguna yang hanya akan bercerita pada 9 orang saja. Para pengguna media sosial ini juga bersedia membayar 21% lebih banyak kepada produk yang menawarkan customer service yang baik.

Efek yang tak kalah hebat akan terlihat pada pengalaman negatif, 83% pengguna media sosial akan membatalkan pembelian jika tidak mendapat customer service yang memadai, dan akan menceritakan pengalaman buruknya kepada 53 orang (non-pengguna media sosial hanya akan bercerita pada 17 orang).

Melihat fakta-fakta di atas, masihkah Anda, para pemasar, berniat membuat akun Twitter untuk brand Anda? Siapkah Anda dengan segala konsekuensinya? Yakinkah Anda bahwa Anda telah memilih orang-orang yang tepat untuk meng-handle kegiatan brand campaign Anda di sosial media? Sudahkah Anda memiliki konsep dan prosedur operasional yang baik agar kegiatan campaign Anda dapat terlaksana secara sistematis? Renungkan sejenak hal-hal di atas agar social media campaign Anda tidak menjadi suatu aksi bunuh diri.

Profil penulis:

Bershio kuda, berbintang Libra, dan memiliki ketertarikan yang tidak wajar terhadap diksi. Junior Digital Analyst di Idea Imaji, profesi yang membuatnya melihat beraneka ragam tulisan orang Indonesia di ranah digital. Pribadi yang suka tempe, kucing, fotografi, dan tempat yang rimbun. Dapat dikuntit di @panji90 atau panjisayshi.tumblr.com bagi mereka yang butuh lebih dari 140 karakter untuk memuaskan dahaga aksaranya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Perusahaan e-Payment Malaysia Money Online (MOL) Akuisisi AyoPay

Next Story

Pre-Order BlackBerry Z10 dari XL Capai 1.000 Pesanan

Latest from Blog

Don't Miss

Pengguna X Premium Kini Bisa Gunakan Grok AI

Secara global, Elon Musk mengumumkan peluncuran Grok 1.5 pada akhir
Twitter X

Setelah Twitter Ganti Nama, Merek Dagang “X” Ternyata Dipegang oleh Meta

Pada 23 Juli 2023, Elon Musk secara terbuka mengumumkan perubahan