Zenius merupakan salah satu pionir platform edtech di Indonesia yang hingga kini masih eksis. Startup ini selalu menekankan ambisinya yang ingin merevolusi cara belajar di sekolah dengan menanamkan cara berpikir kritis dan logis. Sehingga para pelajar di masa depannya tidak menjadi generasi penghafal, tapi mampu mengimplementasikan ilmu tersebut saat menghadapi masalah di dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam mengemban misi itu, Zenius terus berevolusi memberikan konten-konten dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Untuk mendalami ini, #SelasaStartup edisi pekan ini (16/6) mengundang Chief Education Officer Zenius Sabda PS sebagai pembicara. Dia memberikan berbagai insight mulai dari pengalaman merintis Zenius, pandangan terhadap industri, dan rencana ke depannya.
Perjalanan awal
Sabda bercerita, dia merintis Zenius pada 2004, dana operasionalnya diperoleh dari menggesek kartu kredit sendiri. Belum ada investor, semisal dari pemodal ventura, yang berminat mendanai. Model bisnis pertama yang diambil adalah membuat bimbingan belajar offline. Di sana perputaran bisnis di ranah ini sangat jelas.
Ada pembayaran yang rutin diterima di muka dan dia bisa langsung mengajar murid. Penghasilan ini dia putar untuk merekrut tambahan guru dan membuat rekaman saat guru-guru tersebut tidak mengajar. “Kita buat konten di awal-awal dan menjual CD-nya. Internet belum terpikir sama sekali,” katanya.
Setahun berikutnya, tim semakin giat memproduksi CD berisi pembahasan soal-soal. Bahkan hingga 2008, variasi CD yang dijual semakin lengkap. Ada yang berbentuk paket lengkap CD, sehingga tidak perlu beli satuan. Pada tahun itu juga mereka mulai memanfaatkan internet, tapi baru sebatas berjualan CD.
“Ini momen historical kita tanggal 4 April 2008, kita launch di pameran pertama di Jakarta dan kita launch website untuk jualan CD doang.”
Tahun pertama berjualan online, diklaim Zenius sudah cek untung. Dia pun mantap pada tahun berikutnya untuk mengembangkan bisnis Zenius secara online karena masih banyak anak Indonesia yang belum mengenal Zenius, kendati pada saat itu akses internet cenderung terbatas.
“Zenius bisa bertahan karena kita ada elemen, tidak hanya yang penting laku saja, tapi impact yang benar. Ketika mereka beli konten, memang beneran bikin cerdas atau enggak. Selama yang kita deliver itu bisa mengubah pola pikir, kayanya sih umur Zenius bisa terjamin [lebih lama].”
Inovasi dan perubahan drastis saat pandemi
Sabda melanjutkan, pandemi dan karantina membuat bisnis edtech melonjak tinggi. Kondisi ini juga dialami oleh Zenius, dan menjadi banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini. Biasanya trafik Zenius baru menanjak menjelang malam hari saat murid mulai belajar. Akan tetapi kini ramai sepanjang hari, digunakan tidak hanya oleh murid, tapi juga guru dan orang tua.
“Masalah dari kita ada banyak, tapi kebanyakan [sifatnya] nice to have. [Misalnya] dari awal tahun pelajaran, jumlah user kita naik 12x lipat. Server tiba-tiba jump, yang tadinya rame malam doang, tiba-tiba dari pagi full. Ini jadi problem karena kapasitasnya harus kita benerin, tapi jadi opportunity karena ternyata antusiasmenya tinggi.”
Di samping itu, Zenius juga menggratiskan layanannya agar semakin banyak anak Indonesia yang “ketagihan” belajar. Sabda bilang, sebenarnya strategi ini sudah mencuat sejak 2013. Akan tetapi, “fasilitas” pendukung (re: kehadiran aplikasi Gojek, dsb) belum ada, makanya sekarang baru terealisasi.
Menurutnya, selama ini banyak pengguna Zenius yang merasa terdampak dengan cara yang diajarkan. Efeknya paradigma mereka tentang belajar berubah, malah jadi ketagihan. Dampak itu belum dirasakan secara luas oleh non pengguna. “Ketika otaknya sudah ter-upgrade, makin “ketagihan” belajar kan. Itulah cara kita.”
Momentum pandemi ini, sambungnya, menjadi pembuktian bahwa sudah saatnya dunia pendidikan untuk hybrid. Tidak lagi berpaku pada pendidikan di sekolah karena informasi kini sudah bisa didapat dari mana saja. Dengan di rumah saja, tetap bisa produktif. Semua penilaian bisa dilakukan secara digital.
Akan tetapi, Sabda juga menekankan bahwa bukan berarti tidak butuh keberadaan sekolah karena manusia harus tetap bersosialisasi. Dia menempatkan sekolah sebagai tempat untuk berdiskusi, brainstorming, berdebat, dan kegiatan lainnya yang membutuhkan interaksi secara offline.
“Setting kegiatan seperti itu masih lebih efektif bila dilakukan offline. Tapi sumber ilmu jadi bisa didapat dari mana pun.”
Layanan baru
Sejak beroperasi hampir 16 tahun lalu, Zenius baru fokus untuk anak sekolah dari jenjang SD sampai SMA. Sabda mengungkapkan, pihaknya sedang menyiapkan konten non akademik yang berfungsi meningkatkan keterampilan profesional. “Kita akan mengarah ke sana, masalah yang mana duluan itu urusan strategi.”
Dia mencontohkan, pelatihan coding merupakan salah satu yang dibutuhkan untuk meningkatkan keterampilan. Menurutnya, coding adalah alat yang sangat membantu dalam mengasah kemampuan berpikir kritis. Coding tidak hanya untuk membuat aplikasi, juga membuat logika lebih terasah. Ketika harus mencari bug, orang butuh metode ilmiah, yang bisa dibantu lewat kemampuan coding.
Dari segi teknologi, Zenius masih mempersiapkan penggunaan teknologi machine learning dan kecerdasan buatan untuk membantu perusahaan mendistribusikan konten sesuai dengan profil para pengguna.