Riot Games mengatakan bahwa esports kini telah menjadi bagian dari bisnis mereka. Memang, dari sejumlah liga League of Legends, dua di antaranya telah menghasilkan untung. Pemain profesional merupakan bagian penting dari turnamen esports. Tanpa atlet esports, tidak akan ada turnamen esports.
Masalah gaji, pendapatan pemain profesional sudah memadai. Rata-rata gaji minimal yang didapatkan oleh pemain League of Legends profesional adalah US$75 ribu per tahun dan pada 2018, rata-rata gaji pemain League of Legends Championship Series, liga di Amerika Utara, mencapai US$300 ribu. Meskipun begitu, pemain profesional tidak dianggap sebagai pekerja di bawah Riot Games. Memang, seorang pemain profesional biasanya menjalin kontrak dengan organisasi esports. Namun, untuk bergabung dengan tim League of Legends profesional, seseorang harus membuat kontrak dengan Riot Games sebagai publisher game tersebut.
Ini memberi Riot kuasa yang sangat besar atas para pemain. Mereka tidak hanya menentukan besar gaji yang diterima pemain, tapi mereka juga bisa mengharuskan para pemain untuk berlatih di tempat yang telah ditentukan perusahaan atau menggunakan perangkat yang digunakan oleh tim. Selain itu, Riot juga bisa membatasi kebebasan berpendapat dari para pemain. Misalnya, ketika Hong Kong melakukan protes atas Tiongkok, John Needham, Global Head of League of Legends Esports mendorong para atlet untuk tidak mengungkap pendapat pribadi mereka terkait isu sensitif, lapor Quartz.
A message from John Needham, Global Head of League of Legends Esports pic.twitter.com/5Au9rE7T86
— lolesports (@lolesports) October 11, 2019
Per 1 Januari 2020, regulasi baru bernama Assembly Bill 5 (AB5) mulai berlaku di California, Amerika Serikat. Di bawah regulasi ini, semua orang yang bekerja demi keuntungan perusahaan akan dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Ada tiga hal yang membuat seseorang tidak dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Pertama, jika perusahaan tak memiliki kendali atas seorang individu. Kedua, jika apa yang dilakukan oleh seseorang tidak berkaitan dengan bisnis perusahaan. Terakhir, jika seseorang memiliki akses yang memadai untuk bisa mendapatkan penghasilan ekstra atau menjadi pengusaha.
Atlet esports League of Legends memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendapatan ekstra yang sangat terbatas karena Riot memiliki peraturan ketat terkait sponsorship. Mereka bahkan membatasi jenis perusahaan yang boleh menjadi sponsor para pemain. Selain itu, Riot sempat melarang para atlet esports untuk membuat konten dari game yang dianggap sebagai saingan mereka, walau untungnya, mereka akhirnya membatalkan peraturan tersebut.
Di bawah regulasi AB5, semua atlet esports League of Legends merupakan karyawan tetap dari RIot Games. Itu artinya, mereka tidak hanya berhak atas gaji minimal, tapi juga perlindungan dan benefit yang didapatkan oleh pekerja tetap, seperti cuti dan asuransi. Sebagai industri yang masih relatif baru, memang belum banyak regulasi tentang esports yang ada. Namun, perlahan tapi pasti, seiring dengan semakin besarnya industri esports, akan mulai muncul regulasi yang mengatur industri tersebut.
Di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur tentang kontrak pemain profesional. Meskipun begitu, para pelaku industri esports memiliki inisiatif untuk membentuk Federasi Esports Indonesia pada Oktober 2019 dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah di industri esports, termasuk standarisasi kontrak pekerja esports, baik pemain profesional maupun talent.
Sumber header: Red Bull