Dark
Light

Bos G2 Bicara Soal Kontrak dan Poaching

4 mins read
April 21, 2022
Tim G2 Esports. | Sumber: AFK Gaming

Di dunia esports, poaching masih menjadi salah satu masalah yang lumrah terjadi. Pada dasarnya, poaching adalah usaha sebuah tim untuk mendapatkan pemain atau staf yang masih memiliki kontrak dengan tim lain. Di skena League of Legends, poaching menjadi masalah yang cukup besar sehingga Riot Games mengeluarkan peraturan khusus terkait hal tersebut.

Untuk mencegah poaching, Riot membuat peraturan yang mengharuskan semua tim untuk melaporkan kontrak dengan pemain mereka untuk mendapatkan persetujuan dari Riot. Setelah Riot menyetujui kontrak tersebut, kontrak itu akan dimasukkan ke dalam database kontrak, yang dinamai Global Contract dan bisa diakses oleh semua orang. Jika tim lain mencoba untuk mendekati pemain atau staf yang kontraknya terdaftar dalam Global Contract, maka hal itu akan dianggap sebagai poaching. Dan tim yang melakukan poaching bisa terkena hukuman atau denda.

Kasus Poaching di League of Legends

Pada Desember 2014, Riot Games mengenakan denda sebesar US$10 ribu pada Counter Logic Gaming (CLG) karena melakukan poaching pada William “scarra” Li. Hukuman tersebut merupakan denda terbesar yang pernah diberikan pada tim esports atas tuduhan poaching. Selain itu, Riot juga melarang Li untuk turun sebagai pelatih CLG selama tiga minggu pertama dari League of Legends Spring Split 2015.

William “scarra” Li. | Sumber: IGN

CLG dituduh bersalah melakukan poaching setelah Riot mengetahui bahwa George “HotshotGG” Georgallidis pernah mengungkap harapannya untuk bisa bekerja bersama Li ketika Li masih menjalin kontrak dengan Team Dignitas. Di Dignitas, Li berperan sebagai pelatih dan juga pemain pengganti untuk tim League of Legends, menurut laporan GameSpot.

Keputusan Riot untuk memberikan denda besar pada CLG menunjukkan keseriusan mereka dalam mengatasi masalah poaching. Selain di esports, poaching juga bisa terjadi di dunia olahraga. Dan memang, di industri olahraga, mengenakan denda pada tim yang melakukan poaching bisa mencegah kejadian serupa di masa depan.

“Membajak pemain dari tim lawan bisa memunculkan dinamika yang toxic, seperti pemain yang sengaja bermain dengan tidak maksimal agar timnya rela untuk melepas mereka,” kata Head of Esports Riot Games, Nick Allen, dikutip dari Red Bull.

Sayangnya, hukuman denda yang dikenakan oleh Riot pada pelaku poaching tidak menjamin bahwa skena esports League of Legends bebas dari kegiatan poaching. Buktinya, tidak lama setelah mendapatkan denda dari Riot, CLG kembali melakukan poaching. Alhasil, pada Januari 2015, Riot kembali memberikan denda pada CLG. Ketika itu, CLG dianggap telah melakukan poaching pada mantan pemain top laner Dignitas, Darshan “ZionSpartan” Upadhyaya.

Doublelift saat bermain bersama CLG. | Sumber: Red Bull

Menurut temuan Riot, Yiliang “DoubleLift” Peng dari CLG mengajak Upadhyaya untuk bergabung dengan CLG ketika top laner itu masih memiliki kontrak dengan Dignitas. Pada akhirnya, Peng dikenakan denda sebesar US$2,5 ribu dan CLG harus membayar US$2 ribu. Selain itu, CLG juga tidak boleh menurunkan Upadhyaya pada minggu pertama dari League of Legends Championship Series (LCS), lapor Dot Esports.

Pendapat CEO G2 Esports Tentang Poaching

Tim-tim esports kelas dunia sekali pun tidak lepas dari masalah poaching. Menariknya, tim-tim esports terbaik tersebut tidak hanya bisa menjadi korban dari poaching tapi juga menjadi pelaku.

Dalam video wawancara dengan Duncan “Thorin” Shields, CEO G2 Esports, Carlos “ocelote” Rodríguez Santiago mengatakan bahwa dia pernah melakukan poaching pemain demi memperkuat lini G2. Selain itu, dia juga mengaku, dia pernah mengobrol dengan beberapa pelatih walau sebagian dari mereka masih menjalani kontrak dengan tim lain.

Ketika ditanya opininya tentang poaching, Carlos menjawab bahwa dia percaya, larangan untuk melakukan poaching justru mendorong tim-tim yang kurang handal untuk membajak pemain dari tim lain demi membuat tim yang mumpuni. Dan menurutnya, poaching adalah masalah yang akan selalu terjadi di skena esports.

“Di esports, ada peraturan yang memang dipatuhi oleh semua orang. Dan ada peraturan yang justru berpotensi menciptakan masalah karena ia mendorong tim-tim yang tidak terlalu besar untuk melanggar peraturan itu. Larangan untuk poaching adalah salah satu peraturan yang bermasalah,” kata Carlos, dalam wawancara dengan Inven Global.

“Kami hampir selalu punya tim terbaik di banyak game,” ungkap Carlos. “Anda pikir para pemain kami tidak pernah mendapatkan ajakan untuk pindah, walau dia telah kami kontrak? Hal itu selalu terjadi. Dan tidak ada yang bisa saya lakukan karena tim-tim itu sudah siap untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Jadi, menurut saya, sah-sah saja jika saya tahu cara untuk melakukan poaching dengan efektif.

“Pada akhirnya, sepanjang G2 berdiri, kami selalu berhadapan dengan masalah poaching. Secara resmi, saya akan berkata, saya tidak pernah melakukan poaching. Tapi, di belakang, saya akan jujur bahwa saya menggunakan metode yang juga digunakan oleh semua orang. Hanya saja, saya bisa melakukannya dengan lebih baik,” ujar Carlos.

Lebih lanjut, Carlos mengungkap, sekitar 50-60% tim-tim League of Legends Eropa melakukan poaching. Dia percaya, hal yang sama juga terjadi di skena League of Legends di Amerika Utara. “Mereka terus-terusan melakukan poaching,” aku Carlos. Dia menjelaskan, bentuk poaching tidak selalu terlihat jelas. Terkadang, poaching bisa terjadi ketika para pemain sedang berkumpul dan mengobrol di Discord. Kemudian, pemilik dari tim lain datang untuk ikut berbincang-bincang dengan para pemain. Dan di sanalah, ajakan untuk pindah datang. Carlos bahkan mengklaim, metode yang dia gunakan untuk melakukan poaching tidak “seliar” metode yang digunakan oleh tim-tim lain.

G2 Esports. | Sumber: Inven Global

Kabar baiknya, Carlos bercerita, belakangan, masalah poaching yang dihadapi oleh G2 mulai berkurang. Menurutnya, hal itu terjadi karena tim G2 tidak lagi penuh dengan pemain bintang. Dia menambahkan, walau dia tahu tim lain melakukan poaching, dia tidak pernah melaporkan mereka. Alasannya, dia tidak merasa bertanggung jawab untuk membenahi masalah poaching di skena esports.

Carlos mencoba untuk menjustifikasi opininya tentang poaching dengan mengatakan bahwa karena banyak tim lain melakukan poaching, dia tidak bisa tinggal diam dan membiarkan para pemain G2 dibajak oleh tim lain. Tak hanya itu, dia juga percaya, regulasi tentang poaching seharusnya dihapus karena ia penuh dengan celah yang bisa dimanfaatkan oleh para tim.

“Secara resmi, semua pemain di G2 bukanlah hasil poaching,” kata Carlos. “Tapi, poaching merupakan masalah yang kompleks. Anda melihat kasus poaching dimana pun. Satu-satunya cara untuk mengatasi masalah poaching adalah dengan melakukan hal yang sama. Tidak ada satu pun tim bagus di dunia, selain G2, yang tidak pernah melakukan poaching.”

Carlos menyadari, poaching adalah topik yang sensitif di esports. Dia merasa, poaching menjadi topik yang tabu karena semua orang melakukannya dan semua orang tahu akan hal itu. Namun, ketika ada seseorang yang dituduh telah melakukan poaching, semua orang akan langsung mengasingkan orang tersebut. “Diskusi tentang poaching penuh dengan hal-hal buruk. Dan saya rasa, sebaiknya, peraturan poaching dihapus. Tapi saya tahu, hal itu tidak akan terjadi.”

Sumber header: AFK Gaming

Ramadan Promo OPPO
Previous Story

OPPO Gelar Semarak Ramadan, Tawarkan Cashback Dan Hadiah Eksklusif Bagi Calon Pengguna Reno dan Seri A

Next Story

Microsoft Resmi Luncurkan Layanan Berlangganan PC Game Pass di Indonesia

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di