Kemarin (7/7), Bank Indonesia menetapkan aturan terbaru mengenai Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau lebih dikenal National Payment Gateway (NPG) termuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 yang diberlakukan mulai 22 Juni 2017 lalu.
Terbitnya aturan ini menjadi penyangga strategis bank sentral dalam melayani dan memfasilitasi gerakan nasional non-tunai, bansos pemerintah secara non-tunai, keuangan inklusi keuangan, e-commerce nasional, yang sejalan dengan prinsip kehati-hatian. Sekaligus merealisasikan integrasi sistem pembayaran nasional yang efisien.
Perlu diketahui, NPG adalah sebuah sistem yang terdiri dari tiga penyelenggara yakni lembaga standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional.
Sebelum NPG diberlakukan, ketiga penyelenggara tersebut melakukan tugasnya secara sendiri-sendiri dengan masing-masing lembaga keuangan, belum ada interkoneksi apalagi interoperabilitas.
Adapun tugas lembaga standar yakni menetapkan spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan dalam GPN. Lembaga switching bertugas sebagai pusat dan/atau penghubung penerusan data transaksi pembayaran melalui jaringan yang menggunakan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), uang elektronik, dan transfer dana. Sementara, lembaga services bertugas untuk memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel.
Tiga penyelenggara NPG, dalam praktiknya akan terhubung dengan empat pihak yang terikat dengan aturan pula, meliputi penerbit kartu, acquirer, penyelenggara payment gateway, dan pihak lainnya yang ditetapkan bank sentral.
Seluruh pihak di atas, akan mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas ekosistem pembayaran. Bahasa sederhananya, jaringan kanal pembayaran serta infrastrukturnya antara satu institusi dengan lainnya akan saling terhubung dan bisa dipakai oleh seluruh pihak.
Menekankan efisiensi, beban konsumen lebih ringan
Bagi pelaku industri keuangan, hadirnya NPG membawa dampak efisiensi utilitas perangkat ATM, EDC, atau lainnya. Ibaratnya bila pemegang kartu sedang berada di mal dan ingin melakukan transaksi keuangan, mereka tidak harus mengantre di ATM sesuai bank masing-masing.
Pihak penerbit kartu atau lainnya, kini tidak harus investasi masing-masing saat ingin menyediakan perangkatnya.
“Jadi jangan ada seperti di Mal Taman Anggek yang memiliki 10 mesin ATM berjejeran tetapi utilitasnya rendah. Lebih baik taruh beberapa saja tapi dipakai bersama dan sisanya bisa di relokasi,” terang Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko dalam konferensi pers.
Ditambah, hadirnya aturan ini membuat proses transaksi pembayaran ritel dengan menggunakan kartu tidak lagi bergantung pada prinsipal asing seperti Mastercard dan Visa. Bagi konsumen, dampak langsung yang bisa dirasakan dari hal ini terlihat dari turunnya biaya transaksi yang dibebankan.
Salah satu contoh nyata dari penurunan biaya transaksi terlihat dari kehadiran jaringan Link dari PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN) yang merupakan inisiasi gabungan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Tadinya, biaya transfer antar bank BUMN bisa mencapai Rp7 ribu, kini menjadi Rp4 ribu.
Efek belum segera terasa
Meski aturan ini sudah diterbitkan, namun konsep interkoneksi dan interoperabilitas belum bisa terasa dalam waktu dekat. Pasalnya, sebelum pihak terhubung bisa bergabung ke NPG wajib memenuhi ketentuan dari BI.
Mereka, dalam hal ini adalah bank umum dan bank umum syariah, untuk instrumen ATM dan kartu debet, wajib terhubung dengan minimal dua lembaga switching paling lambat 30 Juni 2018. Kondisi saat ini, masih banyak perbankan yang belum memenuhi kewajiban tersebut.
“Sebelum masa tenggat itu tiba, konsep efisiensi belum bisa terwujud. Makanya kami suruh bank untuk bersiap-siap sebelum Juni 2018.”
Segera atur biaya transaksi
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menambahkan, BI akan menerbitkan aturan turunan untuk mengatur skema harga NPG, salah satunya merchant discount rate (MDR).
MDR adalah potongan yang dikenakan bank kepada merchant ketika bertransaksi lewat mesin EDC, besaran MDR tergantung kesepakatan bank dengan merchant sekitar 1,6% sampai 2,2%.
Eni menilai persentase MDR di Indonesia adalah tertinggi di Asia, meski banyak konsumen yang tidak menyadari ini saat bertransaksi padahal mereka adalah pihak yang dibebankan akibat aturan tersebut.
“MDR itu seyogyanya bisa turun karena trennya ketika ada NPG, orang akan memilih lebih baik menurunkan profit atau harganya. Terlebih ada NPG itu, akan ada sharing infrastruktur, kalau invest sendiri kan mahal,” kata Eni.
Hanya saja, dia memastikan bahwa pengaturan ini tidak akan mematikan industri karena bank sentral juga bakal mempertimbangkan biaya operasional dan margin yang wajar. Maka dari itu, bank sentral akan melakukan pengkajian dan berkomunikasi dengan seluruh penyelenggara NPG.
“Kalau biaya penurunan bisa sampai 50% itu sudah bagus. Kami akan tetap terima masukan karena tujuan NPG adalah efisiensi, bukan mematikan industri.”
Kue bisnis untuk Mastercard dan Visa tetap ada
Terkait dampak kehadiran NPG bagi Mastercard dan Visa, menurut Onny, pada tahap awal mungkin bakal berpengaruh pada bisnis kedua perusahaan, terutama mengenai biaya routing domestic yang kini tidak bakal menggunakan jasa mereka. Hal tersebut membuat mereka harus menyesuaikan diri.
Akan tetapi, Onny memastikan, baik Mastercard maupun Visa masih tetap memiliki peluang yang besar bila ingin memroses transaksi pembayaran ritel di Indonesia. Mereka harus kerja sama dengan lembaga switching domestik di proses melalui NPG yang sebelumnya telah disetujui BI.
“Kita tetap butuh mereka untuk bangun kapabilitas keamanan data nasabah, ini jadi peluang tumbuh tapi dengan bentuk yang berbeda.”
Pada intinya, kartu berlogo Mastercard dan Visa akan tetap bisa digunakan ketika pemilik kartu NPG membawa kartunya ke luar negeri. Tetapi, ketika di bawa ke dalam negeri harus mengikuti alur sistem NPG.