Bagaimana Tim Esports Hadapi Fans yang Ofensif

T1 dari Korea Selatan menuntut sejumlah netizens yang terus melayangkan caci-maki pada pemain bintangnya, Faker

Bagi organisasi esports, fans layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, dukungan fans bisa mengobarkan semangat para pemain. Di sisi lain, terkadang, fans justru merupakan kritikus paling pedas.

Sama seperti di tim atau atlet olahraga, tim atau pemain esports pun terkadang dicecar oleh fans ketika mereka kalah. Dan masalah itu dihadapi oleh semua organisasi esports, termasuk T1 dan BOOM Esports.

Walau amarah para fans adalah sesuatu yang lumrah, hal itu bukan berarti tim esports akan diam begitu saja ketika para pemainnya terus diserang. Ada kalanya, tim esports akan memberikan teguran atau peringatan pada fans yang bersikap ofensif terus-terusan.

Dan jika peringatan itu diabaikan, tim esports bahkan bisa mengambil tindakan hukum, termasuk menuntut orang-orang yang terus mencaci-maki tanpa henti.

Di Korea Selatan, T1 Tuntut Haters

Pada akhir Juli 2022 lalu, T1 mengajukan tuntutan pada orang-orang yang terus-menerus menulis komentar ofensif pada salah satu pemainnya, Lee "Faker" Sang-hyeok.

Walau industri esports masih jauh lebih muda dari industri olahraga, fans esports tidak kalah garang, apalagi di media sosial. Sebagian orang yang mengklaim sebagai "fans" pun tidak segan untuk mengirimkan ancaman pada tim atau pemain profesional.

Sebenarnya, tidak aneh jika fans merasa marah atau kecewa ketika tim atau atlet kesayangannya kalah. Sayangnya, tidak semua fans bisa menyalurkan kemarahannya itu dengan cara yang baik.

Sebagai contoh, di Indonesia, ada momen ketika fans dari klub sepak bola tertentu memiliki reputasi jelek karena sering mengajak bertarung fans dari klub lain atau bahkan merusak stadion.

Sebagian fasilitas Stadion GBT rusak oleh Bonek setelah Persebaya kalah. | Sumber: Suara

Sementara itu, kebanyakan fans dari tim atau atlet esports menggunakan media sosial untuk terkoneksi dengan tim atau pemain favorit mereka. Di satu sisi, hal ini berarti, kemungkinan fans esports melakukan kekerasan fisik lebih kecil. Di sisi lain, sebagian fans esports tidak segan untuk mengeluarkan cacian dan makian jika tim favorit mereka kalah. Terkadang, fans bisa mengeluarkan hinaan yang melewati batas.

Mengingat kebanyakan fans meninggalkan komentar di media sosial -- yang merupakan tempat umum -- staf dan anggota tim yang diserang para fans pun bisa melihat komentar tersebut. Biasanya, para pemain profesional tidak terlalu memusingkan komentar dari para fans.

Namun, terkadang, fans tidak hanya mengkritik performa dari seorang pemain atau sebuah tim, tapi juga membawa masalah pribadi dari para pemain. Jika dibiarkan, masalah ini bisa memberikan dampak buruk pada kondisi mental para pemain. Apalagi karena sebagai pemain profesional, atlet esports sudah menghadapi tekanan mental yang sangat berat.

T1 memutuskan untuk menuntut fans yang terus-terusan mengirimkan komentar ofensif. | Sumber: Inven Global

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki industri esports yang cukup matang. Ada banyak atlet esports yang datang dari negara ini. Kabar baiknya, Korea Selatan memiliki hukum yang cukup ketat tentang komentar toxic dari para fans. Seorang fan bisa diseret ke meja hijau jika dia menulis komentar menghina, seperti yang disebutkan oleh Inven Global.

Tentu saja, menghina tokoh masyarakat di media sosial tidak serta-merta membuat seseorang terseret ke pengadilan. Ada tiga syarat yang harus terpenuhi sebelum seorang netizen bisa dikenakan sanksi hukum karena mencaci-maki seseorang secara online.

Pertama, komentar ditulis di tempat terbuka. Kedua, objek dari makian spesifik. Terakhir, kata hinaan yang digunakan memang merupakan kata yang merendahkan.

"Meskipun T1 telah terus meminta orang-orang yang meninggalkan komentar jahat untuk tidak melakukan hal itu lagi, kami menemukan bahwa tidak hanya jumlah cacian dan makian bertambah, isi hinaan yang digunakan pun semakin tidak beradab," kata juru bicara dari Apex Law LLC, dikutip dari The Loadout. Apex Law merupakan perusahaan hukum yang mewakili Faker dan T1.

Lebih lanjut, sang juru bicara Apex Law berkata, "Para pemain, keluarga dan orang-orang di sekitar para pemain, harus menderita secara mental. Jadi, kami merasa kami harus mengajukan tuntutan pada orang-orang yang meninggalkan komentar ofensif." Dia juga menjelaskan, mereka hanya menuntut orang-orang yang meninggalkan komentar jahat berulang kali. Alasannya, karena menghargai keputusan Faker.

Tuntutan dari T1 ini didasarkan pada Pasal 311 dari Tindak Kriminal, yang berfungsi untuk melindungi seseorang dari caci-maki di tempat umum. Hukuman maksimal yang bisa dikenakan berdasarkan pasal itu adalah satu tahun di penjara atau denda hingga KRW2 juta (sekitar Rp21,6 juta).

T1 juga mengeluarkan pernyataan resmi, mengungkap bahwa walau Faker tidak keberatan untuk mendapatkan "penghakiman" dari fans atas performanya, dia tidak bisa menerima kritik yang tidak berdasar atau serangan pribadi atas dirinya.

Bagaimana di Indonesia?

Untuk mengetahui tentang perilaku fans esports di Indonesia, saya menghubungi Marzarian "Owljan" Sahita, General Manager dari BOOM Esports, yang akhirnya bisa mewujudkan mimpi mereka untuk pergi ke The International.

Dia bercerita, fans BOOOM di Indonesia cenderung suportif: mereka tetap akan memberikan dukungan bahkan ketika tim BOOM kalah. Namun, dia mengaku, para fans BOOM juga tidak segan untuk memberikan kritik. Dia merasa, karakteristik ini bukanlah sesuatu yang unik di kalangan fans esports di Indonesia.

Ketika ditanya bagaimana reaksi fans ketika tim memberikan performa yang dianggap kurang memuaskan, Owljan mengatakan bahwa reaksi fans bisa berbeda-beda. "Ada yang kasih semangat, ada yang kasih kritik, ada juga yang marah-marah atau malah bersikap ofensif," katanya melalui pesan singkat.

Menurut Owljan, kemarahan fans ketika tim atau atlet esports favoritnya kalah adalah hal yang wajar. Karena itulah, BOOM mencoba untuk memperbanyak konten "di belakang layar". Tujuannya, agar fans mengerti bahwa meskipun kalah, para pemain tetap memberikan usaha terbaik mereka.

Jika fans memberikan kritik dan saran pada tim esports, hal ini memang tidak salah. Sayangnya, sebagian fans terkadang hanya menghujani tim esports dengan cacian dan makian, yang justru bisa mematahkan semangat tim dan pemain esports.

Owljan mengaku, BOOM juga pernah mengalami masalah ini beberapa kali. Untuk menangani masalah tersebut, Owljan menceritakan, BOOM akan mencoba untuk menyemangati para pemain dengan mengatakan bahwa orang-orang yang paling mengerti usaha yang telah pemain lakukan hanyalah orang-orang di sekitar mereka.

Owljan juga menjelaskan, meskipun BOOM pernah mendapatkan komentar yang kurang menyenangkan dari fans, mereka tidak mengambil tindakan hukum, seperti yang dilakukan oleh T1. "We focus more on ourselves sih, jadi nggak ambil pusing kalau ada komentar yang berlebihan," ujarnya.

Meskipun begitu, Owljan percaya, Indonesia memiliki UU ITE. Hal ini memungkinkan tim atau pemain yang merasa namanya dirusak untuk mengambil tindakan hukum.

Sumber header: Red Bull