Atome Financials, startup lending dari Singapura, resmi masuk ke Indonesia. Sebagai perusahaan holding, pihaknya akan mengakselerasi ragam produk keuangan untuk menyasar konsumen underbanked dan underserved. Indonesia menjadi ekspansi berikutnya Atome setelah membuka kantor di Tiongkok, India, Filipina dan Vietnam.
Sebelum hadir dengan brand sendiri, sebenarnya Atome sudah menginjakkan kakinya di Indonesia sejak 2017 melalui Kredit Pintar, startup lending yang khusus pada pinjaman cepat.
Kepada DailySocial, CEO Atome Indonesia Wawan Salum menjelaskan, sebagai perusahaan induk ada keleluasaan untuk mengakselerasi ragam produk, tidak hanya bertumpu pada satu produk saja. Saat ini perusahaan tengah menggodok brand baru yang melayani kartu kredit digital atau paylater bernama APayLater.
“Belum ada yang bisa kita share. Sekarang kami masih melihat di pasar seperti apa agar dapat gambaran bagaimana posisi brand kita. Konsep APayLater sudah dirilis di Singapura, mau dilihat bagian mana yang perlu diubah,” terangnya.
Wawan juga menegaskan kehadiran Atome tidak mendorong peleburan bisnis dengan Kredit Pintar. APayLater dan Kredit Pintar akan fokus pada bisnis yang berbeda, sehingga tidak saling berkompetisi satu sama lain. CEO Kredit Pintar Wisely Wijaya masih menjabat di posisi yang sama.
“Kredit Pintar fokus ke penyaluran pinjaman untuk underbanked dan underserved dengan AI dan credit scoring, sementara APayLater produknya untuk semua orang.”
Kredit Pintar diklaim memiliki 10 juta unduhan dan dinobatkan sebagai salah satu aplikasi fintech dengan rating tinggi di Google Play. Total akumulasi pinjaman yang telah disalurkan sejak 2017 sebesar Rp10 triliun untuk 2 juta peminjam.
Peluang pasar lending seperti yang disasar memang sangat besar. Dengan demografi unbankable usia dewasa yang mencapai 92 juta jiwa, produk fintech masa depan yang cukup cerah. Tak ayal per tahun 2019 sudah ada 144 fintech lending serupa Kredit Pintar yang terdaftar di OJK. Hingga tahun 2019 jumlah pinjaman yang didistribusikan juga telah capai 60,4 triliun Rupiah, fasilitasi sekitar 14,3 juta pengguna.
Sementara untuk paylater, layanan ini memang tengah dalam pertumbuhan di Indonesia. Beberapa bisnis saling bekerja sama, mengintegrasikan platform pinjaman dengan layanan consumer. Berikut beberapa produk yang beredar di Indonesia:
Produk APayLater
Perusahaan lebih dahulu meluncurkan aplikasi APayLater di Singapura. Konsepnya tidak jauh dengan layanan paylater lainnya di Indonesia. Limit kredit yang diterima dapat dipakai untuk berbelanja di merchant dengan metode pemindai QR.
Konsumen diharuskan membayar pertama sepertiga dari harga total dengan kartu debit atau kredit yang sudah disinkronkan. Pembayaran berikutnya akan ditagih setiap 30 hari kemudian dan tenor maksimal adalah tiga bulan. Secara otomatis sistem akan deduct saldo dari sumber dana setiap tagihan muncul.
Apabila ada kredit macet, APayLater akan membekukan akun dan ditambah dengan biaya admin sebesar SG$20. Jika dalam tujuh hari tidak dibayar, ada tambahan biaya SG$10. Di sana, pemerintah menetapkan batas maksimum biaya admin yang dikenakan adalah SG$60 per transaksi.
Wawan menyebut pilot project dari APayLater akan hadir di Indonesia setidaknya dalam kuartal kedua tahun ini, sebelum merilis versi penuhnya. Menurutnya iterasi sangat dibutuhkan startup untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.
“Banyak hal yang mau kita lihat, tapi kita ingin selalu memastikan consumer journey-nya harus bagus. Makanya kami pilih pilot dulu selama beberapa waktu, sambil terus monitor dan diskusi internal.”
Dia melihat meski di industri berbagai pemain sudah merilis produk paylater-nya, masih ada ceruk bisnis yang besar di segmen ini. Asalkan perusahaan paham dengan kondisi pasar, letak peluang ada di mana, dan bagaimana memosisikan produknya pasti akan bisa bersaing dengan pasar.
“Saat Kredit Pintar mulai di 2017 dan perkembangannya hingga sekarang sangat pesat, meski pada saat itu pemainnya tidak hanya dia saja di industri. Jadi ini bukan masalah pemain lama dan baru, asalkan kita paham dengan industri dan proses pengembangannya, pasti bisa bersaing.”
Rencana Atome di bawah kepemimpinan Wawan Salum
Di bawah kepemimpinan Wawan, ia akan fokus pada pengembangan klien dan partner untuk Atome dari bank, fintech, e-commerce, ride sharing, termasuk akuisisi taleta, ekspansi pasar dan pengembangan produk.
Wawan Salum menambah jajaran bankir senior yang terjun ke startup. Sebelumnya dia adalah bankir di DBS Indonesia sebagai Head of Consumer Banking Group dan enam tahun di HSBC dengan berbagai jabatan. Perjalanannya sebagai bankir dimulai dari Citibank selama tujuh tahun dan posisi lainnya di General Motors dan ABN Amro Bank N.V.
Ia terjun ke startup karena menurut pandangannya perkembangan digital, khususnya fintech pada beberapa tahun ke depan, akan masuk ke posisi mature, menyusul perbankan. Kondisi tersebut ditandai dengan pertumbuhan tahunan yang tidak lagi eksponensial dan kue bisnis yang sudah ramai-ramai digarap yang lambat laun ukurannya mengecil.
“Saya tidak mau ketinggalan kereta. Bank sudah mature karena growth opportunity-nya sudah enggak bisa 100% lagi. Beda dengan fintech dengan kondisi sekarang [growth-nya eksponensial], tapi prediksi saya growth-nya tidak akan sekencang tahun-tahun sebelumnya karena segera masuk posisi mature.”
Dengan pengalamannya yang kuat di finansial, ia akan mengombinasikan framework dan struktur yang kuat di bank tanpa menghilangkan unsur agility yang melekat di tubuh startup. “Ketika semua di-combine, ini akan membuat startup jadi sangat powerful. Agility itu harus tetap dijaga karena pasar dan teknologi cepat berubah,” pungkasnya.