Dark
Light

Asia Tenggara Mulai Memasukkan Game dan Esports ke dalam Kurikulum

1 min read
March 20, 2022

Tidak ada yang menyangka, game yang dulunya hanya dianggap sebagai sarana hiburan saja, sekarang menjadi salah satu industri yang paling berkembang. Hal ini terjadi di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di kawasan Asia Tenggara.

Dikutip dari Niko Partners, total pendapatan untuk game di PC dan mobile akan mencapai USD6,7 miliar (sekitar Rp960 triliun) di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2025 (atau bahkan lebih awal), dengan estimasi CAGR (Compound Annual Growth Rate) sebesar 7,8% untuk 2021-2025.

Sumber: Niko Partners

Esports sudah menjadi salah satu segmen penting di industri game, terutama di Asia Tenggara, dengan lebih dari 100 juta peminat esports. Angka tersebut sudah termasuk ke dalam total semua gamers di Asia Tenggara, yaitu sebanyak 269 juta pemain di 2021.

Bahkan esports sendiri sudah mulai menjadi industri hiburan mainstream. Hal ini dapat dilihat dari masuknya esport ke dalam SEA Games di Filipina pada tahun 2019 dan SEA Games di Vietnam pada tahun 2021. Suksesnya berbagai turnamen esports juga menjadi salah satu faktor perkembangan esports di Asia Tenggara, sebut saja Mobile Legends: Bang Bang M1, M2, M3, dan juga Free Fire World Series.

Industri game dan esports masih bisa dibilang sebagai barang baru. Untuk meningkatkan kualitas industri ini, pendidikan merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh. Sebenarnya hal ini sudah mulai dilakukan di berbagai negara, seperti Tier One Entertainment yang bermitra dengan Universitas Filipina, untuk program gaming dan esports. Ada juga yang mulai memasukkan game dan esports menjadi salah satu bidang ekstrakulikuler.

Di Indonesia sendiri, Federasi Esports Indonesia juga telah menyatakan keinginan mereka untuk memasukkan esports ke dalam kurikulum sekolah di tingkat nasional. Walaupun demikian, keinginan tersebut membutuhkan persetujuan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pemuda dan Olahraga.

Setidaknya ada dua manfaat yang bisa diberikan kepada generasi muda dari industri ini. Yang pertama adalah tumbuhnya generasi Z bersama dengan dunia digital, sehingga membutuhkan skill baru, yang tidak dialami oleh generasi sebelumnya. Skill yang dimaksud adalah kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berkreasi, berpikir kritis, dan pemecahan masalah, yang semuanya bisa diajarkan sejak dini lewat sekolah.

Yang kedua adalah game dan esports membuka sebuah kesempatan pekerjaan baru, seperti pemain profesional, pelatih, dan content creator. Berdasarkan data dari Hitmarker, jumlah dari pekerjaan full-time di bidang esports meningkat sebesar 118% pada tahun 2019.

Walaupun dengan manfaat yang dimiliki oleh industri game dan esports, bukan berarti implementasi kebijakan ini bebas hambatan. Misalnya saja orang tua yang berasal dari generasi sebelumnya, yang masih skeptis mengenai industri ini.

Masih banyak yang menganggap bahwa game memiliki pengaruh buruk kepada anak-anak, seperti menyebabkan ketergantungan, perilaku buruk, dan susah bersosialisasi. Selain itu, belum banyak orang yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang pendidikan, terutama di bidang game dan esports.

Dengan berbagai halangan tersebut, para stakeholders perusahaan game dan esports perlu mengambil tindakan, seperti meningkatkan kualitas institusi pendidikan di bidang ini, dalam hal ini memasukkannya ke dalam kurikulum. Mereka juga bisa melakukan kampanye untuk meningkatkan awareness mengenai manfaat dari game dan esports.

Sumber header: UNICEF

game bajakan
Previous Story

Apakah Benar Masalah Game Bajakan Tak Selalu Berdampak Negatif?

Next Story

15 Rekomendasi Game Terbaik buat Para Pecinta Anime

Latest from Blog

Don't Miss

Niko Partners: Pertumbuhan Industri Game Indonesia di 2023 Melambat

Game menjadi salah satu industri yang justru tumbuh selama pandemi

Niko Partners: Kondisi Industri Game dan Esports di Asia dan MENA

Asia merupakan salah satu kawasan paling penting di industri game.