Cryptocurrency mulai dikenal banyak orang ketika nilai Bitcoin tembus US$1 ribu pada awal 2017. Dan beberapa bulan setelah itu, nilai Bitcoin terus naik. Nilai Bitcoin mencapai puncaknya pada Desember 2017, senilai US$19,5 ribu. Sejak saat itu, nilai Bitcoin terus naik dan turun. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, popularitas Bitcoin menjadi katalis yang memicu kemunculan berbagai uang crypto baru, termasuk Ethereum.
Definisi Ethereum dan Kegunaannya
Sejarah Ethereum dimulai pada 2013. Ketika itu, Vitalik Buterin, Co-founder Ethereum dan salah satu pendiri Bitcoin Magazine, membuat laporan yang berisi usulan untuk membuat implementasi blockchain yang lebih praktis. Dan proposal inilah yang menjadi awal dari Ethereum.
Soal definisi, buku Ekonomi dan Bisnis Digital menyebut Ethereum sebagai platform terdesentralisasi yang memungkinkan smart contracts dan Distributed Applications (DApps) untuk dijalankan tanpa downtime, kontrol, penipuan, atau campur tangan pihak ketiga. Sementara itu, Amazon Web Services mengartikan Ethereum sebagai platform blockchain terdesentralisasi yang dapat membuat jaringan peer-to-peer untuk mengeksekusi atau memverifikasi smart contracts.
Berdasarkan laporan CoinDesk, sejak awal, Ethereum memang dibuat dengan tujuan untuk membuat smart contracts. Lalu, apa itu smart contract? Pada dasarnya, smart contract adalah protokol yang akan mengeksekusi perintah tertentu ketika persyaratan yang ditentukan dalam kontrak sudah terpenuhi. Karakteristik utama lain dari smart contract adalah ketiadaan pihak ketiga sebagai pihak penengah, lapor CoinDesk.
Untuk membuat perjanjian yang mengikat secara hukum, dua belah pihak biasanya akan membuat kontrak tradisional, berupa dokumen. Ketika salah satu pihak melanggar ketentuan yang tertulis dalam kontrak, maka pihak yang lain berhak untuk membawa pihak yang lalai ke pengadilan. Namun, untuk menjamin bahwa perjanjian dalam kontrak akan dipatuhi oleh kedua belah pihak, diperlukan pengadilan sebagai pihak ketiga.
Dalam smart contracts, pengadilan sebagai pihak ketiga tidak lagi diperlukan. Karena, program hanya akan berjalan jika persyaratan yang tertulis dalam smart contract telah terpenuhi.
Cara untuk Mendapatkan Ethereum
Untuk mendapatkan Ethereum — atau cryptocurrency lainnya — seseorang harus “menambang” alias mining. Sebagai miner, seseorang harus menyelesaikan permasalahan matematika kompleks sebagai “proof-of-work“, yang berfungsi untuk memvalidasi transaksi di Ethereum. Sebagai ganti dari waktu dan daya komputasi yang penambang telah berikan, dia akan mendapatkan Ether. Saat berita ini ditulis, satu Ether bernilai Rp29,5 juta. Jadi, tidak heran jika kebanyakan orang tertarik untuk menjadi penambang demi mendapatkan uang.
Uang, dalam bentuk Ether, yang diberikan pada penambang berasal dari “gas fee“, yang dikenakan pada setiap transaksi di blockchain. Menurut laporan Mashable, nilai gas fee dari setiap transaksi berbeda-beda. Menariknya, yang menentukan besar-kecilnya gas fee bukanlah ukuran dari transaksi itu sendiri, tapi, jumlah transaksi yang sedang berlangsung di jaringan Ethereum.
this is why they’re so high, btw. gas fees go up based on demand, and bored apes is minting 100k very-hyped NFTs at the momenthttps://t.co/gJRP16gMcR
— Molly White (@molly0xFFF) May 1, 2022
Jadi, jika transaksi Anda diproses saat jam sibuk, Anda harus membayar gas fee yang lebih besar agar transaksi Anda bisa diproses. Seseorang juga bisa memberikan gas fee yang lebih besar agar transaksinya menjadi prioritas para penambang. Namun, transaksi Ethereum akan gagal jika pengguna tidak memberikan gas fee yang cukup. Satu hal yang harus diingat, walau pun transaksi gagal, pengguna akan tetap dikenakan gas fee.
Hanya saja, sekarang, ada kekhawatiran bahwa orang-orang tidak lagi bisa menambang Ether. Pasalnya, dalam roadmap Ethereum 2.0, ada rencana untuk mengubah sistem validasi transakdi di Ethereum, dari proof-of-work menjadi proof-of-stake. Transisi itu disebut “The Merge”, lapor Decrypt.
Salah satu alasan Ethereum beralih ke sistem proof-of-stake adalah untuk mengurangi jumlah energi yang dibutuhkan saat memvalidasi transaksi. Dengan ini, Ethereum diharapkan akan menjadi lebih ramah lingkungan. Karena, peralihan dari sistem proof-of-work ke sistem proof-of-stake akan membuat Ethereum menjadi lebih hemat energi hingga 99%.
Ethereum di Game
Seiring dengan semakin populernya cryptocurrency, teknologi itu pun merambah ke berbagai industri lain, termasuk game. Penggunaan teknologi blockchain dan cryptocurrency dalam game memunculkan model bisnis baru, yaitu play-to-earn (P2E). Sesuai namanya, game P2E memungkinkan pemain untuk mendapatkan uang dengan bermain game. Sebelum ini, Hybrid pernah membahas tentang game NFT dan P2E di sini.
Axie Infinity merupakan salah satu game P2E paling populer. Sementara CryptoKitties dipercaya sebagai salah satu game NFT paling pertama. Kedua game itu menggunakan Ethereum. Contoh game lain yang menggunakan Ethereum adalah Sorare, sebuah fantasy football game. Sama seperti fantasy football game lainnya, di Sorare, Anda bisa membuat dream team berisi para pemain sepak bola favorit Anda. Satu hal yang membedakan Sorare dengan game dengan genre serupa adalah game ini menggunakan NFT sebagai aset.
Adrien Montfort, CTO dari Sorare menjelaskan, salah satu keuntungan dari menggunakan NFT sebagai aset dalam game adalah gamers akan bisa memiliki item digital yang mereka beli atau dapatkan dalam game. Selain itu, nilai dari item yang pemain miliki bisa naik, tergantung pada tingkat kelangkaannya. Terakhir, gamers juga bisa mengetahui nilai sejarah dari item yang mereka miliki. Karena, rekam jejak dari aset digital pada game NFT akan tercatat di blockchain.
Montfornt menjelaskan, sebelum membuat Sorare, timnya mendiskusikan cryptocurrency apa yang cocok untuk digunakan. Mereka merasa, Ethereum masih menjadi opsi terbaik mereka. “Ethereum masih menjadi platform blockchain yang paling aman, stabil, dan bisa beroperasi dengan blockchain lain,” katanya, dikutip dari Medium.
Lebih lanjut, Montfort mengungkap, tim Sorare ingin agar aset digital yang mereka buat menjadi pondasi dari sebuah ekosistem game. “Dan hal itu hanya bisa kami realisasikan jika blockchain yang kami gunakan memang cukup mumpuni untuk mendukung ekosistem tersebut,” ujarnya. Menurutnya, beberapa karakteristik yang dia cari dalam platform blockchain untuk digunakan dalam game antara lain standar yang jelas, developer tools, dan keberagaman layanan untuk mempelajari blockchain tersebut.
Nilai Ethereum yang Jatuh
Pada Juni 2019, Charles Hoskinson, Co-founder dan mantan CEO dari Ethereum, mengatakan bahwa banyak investor yang berbondong-bondong untuk membeli cryptocurrency alternatif dengan harapan, mata uang kripto yang mereka beli akan mendulang sukses seperti Bitcoin. Kepada CNBC, Hoskinson mengungkap kekhawatirannya, bahwa akan ada banyak proyek crypto yang tidak bertahan lama dan gagal.
“Banyak proyek crypto yang tidak memiliki dasar yang kuat, atau tidak memiliki teknologi yang memadai, atau memang sejak awal, proyeknya tidak masuk akal. Semua proyek tersebut pada akhirnya akan menemukan masalah besar yang tidak bisa mereka selesaikan,” ujar Hoskinon, dikutip dari Investopedia, “Proyek-proyek itu akan menjadi kacau dan akhirnya gagal.”
Namun, setelah kejatuhan banyak proyek crypto, Hoskinson memperkirakan, industri crypto akan mengalami konsolidasi. Dia juga menduga, proyek crypto yang memiliki cadangan dana yang besar akan bisa bertahan melalui krisis tersebut.
Ethereum merupakan cryptocurrency dengan valuasi pasar terbesar kedua, setelah Bitcoin. Namun, tampaknya, hal ini bukan jaminan bahwa nilai Ethereum akan terus stabil. Belum lama ini, salah satu pencipta Ethereum, Buterin mengaku bahwa dirinya tidak lagi menyandang gelar sebagai seorang miliarder. Melalui Twitter, dia mengungkap, dia kehilangan kekayaannya karena nilai Ether jatuh hingga 55%.
Pada Februari 2022, kepada Bloomberg, Buterin mengatakan, dia tidak keberatan jika harga cryptocurrency turun. “Orang-orang yang berkutat di dunia crypto, khususnya mereka yang sedang mengembangkan sesuatu, mereka akan menyambut bear market dengan tangan terbuka,” ujarnya, menurut laporan Bloomberg. Di dunia crypto, bear market berarti keadaan ketika harga crypto tengah turun, yang mendorong para pemilik crypto untuk menjual aset digital mereka.
Sebelum kejatuhan nilai Ethereum, industri crypto memang tengah bergejolak akibat harga TerraUSD dan token Luna yang terjun bebas, lapor CNBC. Dan Buterin bukan satu-satunya pemilik crypto yang kekayaannya menguap begitu saja. Menurut Bloomberg Billionaires Index, Changpeng Zhao, pendiri dari bursa crypto Binance, kehilangan 84% dari kekayaannya, atau sekitar US$80 miliar.
Sumber header: Pexels