5 Alasan Psikologis Gamer Beli Item di Game

Mulai dari keinginan bisa berbaur dengan lingkungan sampai ingin terlihat unik

Jika Anda punya uang Rp64 juta yang bisa Anda gunakan sesuka hati, apa yang akan Anda lakukan? Beli Super Cub C125, yang diklaim sebagai motor bebek termahal di Indonesia? DP rumah? Langganan Hybrid selama lebih dari 200 tahun? Atau... Beli primogem demi mendapatkan Albedo C6 di Genshin Impact, seperti yang dilakukan oleh YouTuber ini?

Dalam industri game, in-app purchase menjadi salah satu model bisnis yang bisa digunakan oleh para developer game. Item yang mereka jual pun beragam: mulai dari item kosmetik, powerup, sampai karakter. Secara teknis, item atau karakter yang dijual oleh developer tidak lebih dari kode programming dan juga piksel. Namun, hal itu tidak menghentikan sejumlah gamer untuk menghabiskan jutaan atau bahkan ratusan juta rupiah demi mendapatkan item atau karakter yang mereka inginkan.

Pertanyaannya, apa yang membuat sebagian gamer rela menghabiskan uang demi mendapatkan item dalam game? Kali ini, Hybrid.co.id akan membahas lima alasan psikologis seorang gamer mau mengeluarkan uang untuk mendapatkan sebuah item atau karakter dalam game.

 

1. Uang Sebagai Jalan Pintas

Ketika saya masih SD, saya menghabiskan waktu berpuluh-puluh jam untuk memaksimalkan level tiga karakter utama dalam game Legend of Legaia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan Juggernaut, yang disebut sebagai Sim-Seru paling kuat dalam game. Sekarang, jika ada opsi untuk "membeli" Juggernaut, kemungkinan saya akan lebih rela mengeluarkan uang demi mendapatkan Sim-Seru itu.

Jika Anda bertanya pada para gamer mengapa mereka mau membeli item virtual, salah satu jawaban yang Anda dengar paling sering adalah karena item itu memang berguna. Misalnya, membuat karakter menjadi lebih kuat. Memang, dalam game gratis atau free-to-play sekalipun, Anda akan tetap memperkuat karakter Anda dengan menaikkan level atau menggunakan equipment yang memadai. Namun, biasanya, item yang harus Anda beli tetap menawarkan status yang lebih bagus. Terkadang, Anda tetap bisa mendapatkan sebuah item tanpa harus mengeluarkan uang. Sebagai gantinya, Anda harus rela untuk menghabiskan waktu dan tenaga Anda untuk bermain.

Gamer senang mencari jalan pintas bahkan sebelum model in-app purchase ditetapkan. | Sumber: Wikipedia

Dalam kasus ini, uang layaknya cheat code yang memungkinkan para pemain untuk memperkuat karakternya dalam sekejap. Namun, jangan salahkan developer game karena menawarkan jalan pintas bagi pemain yang rela untuk membuka dompetnya. Pasalnya, bahkan sebelum model in-app purchase marak digunakan oleh developer, gamer sudah terbiasa mencari cara untuk mengakali mekanisme dalam game. Contohnya, dengan menggunakan GameShark di zaman PS1 dulu.

Meskipun begitu, keinginan para gamer untuk bisa menjadi kuat -- atau menjadi kaya -- secara instan dalam game bukanlah hal yang aneh. Di dunia nyata sekalipun, ada saja orang yang menggunakan pelet demi memenangkan hati pujaan hatinya. Memang, manusia punya kecenderungan untuk mencari jalan pintas, memilih jalan yang tidak memakan banyak waktu dan tenaga.

Dalam psikologi, pikiran manusia alias human mind dianggap sebagai cognitive miser. Hal itu berarti, manusia cenderung untuk mencari cara paling sederhana dan membutuhkan daya pikir paling sedikit untuk memecahkan masalah. Tidak heran, karena manusia memang penuh dengan keterbatasan, mulai dari keterbatasan pengetahuan, waktu, sampai keterbatasan untuk fokus pada satu hal. Jadi, jangan heran jika ada gamer yang rela untuk mengeluarkan uang demi membeli item dan memperkuat karakternya dengan instan.

 

2. Ekslusivitas

Fungsi bukan satu-satunya alasan seorang gamer mau membeli item virtual. Pasalnya, ada juga gamer yang mau membeli item kosmetik, yang hanya membuat karakter tampil lebih keren tanpa memberikan kenaikan status apapun. Terkait item kosmetik, salah satu alasan mengapa gamer mau membeli item tersebut adalah eksklusivitas. Memang, item dalam game sebenarnya tersedia dalam jumlah tak terbatas. Berbeda dengan produksi konsol, developer tidak memerlukan bahan mentah untuk membuat item atau karakter dalam game. Mereka bisa saja membuat item atau karakter sebanyak-banyaknya.

Meskipun begitu, developer tetap bisa membuat sebuah item menjadi eksklusif dengan memberikan batasan waktu. Misalnya, Anda hanya bisa mendapatkan skin bertema Natal pada bulan Desember. Hal ini akan mendorong gamer untuk membeli item tersebut karena mereka berpikir, mereka tidak bisa mendapatkan item itu lagi setelah periode penawaran habis. Developer juga bisa membuat sebuah item menjadi eksklusif dengan membatasi ketersediaan jumlah item dalam game. Di Indonesia, seorang gamer pernah menghabiskan sekitar Rp1,2 miliar demi mendapatkan kostum Evangelion edisi terbatas di Ragnarok M: Eternal Love.

Kostum Evangelion Unit-01 yang terjual seharga sekitar Rp1,2 miliar. | Sumber: GameBrott

Lagi, trik membatasi waktu penjualan tidak hanya digunakan oleh developer, tapi juga perusahaan di bidang lain, seperti situs e-commerce. Bagi Anda yang suka belanja online, Anda pasti familier dengan sistem flash sale atau daily deal. Seperti namanya, flash sale menawarkan diskon dalam periode waktu singkat, sekitar satu jam atau beberapa jam saja. Menariknya, metode ini bisa mendorong konsumen untuk membeli produk yang mungkin sebenarnya tidak mereka terlalu butuhkan dengan membuat mereka berpikir bahwa mereka akan mendapatkan untung karena membeli barang diskonan.

Fenomena Fear Of Missing Out (FOMO) juga membuat konsumen melakukan pembelian produk diskonan secara impulsif. Dalam buku Neuromarketing, Patrick Renvoise dan Christophe Morin mengungkap, manusia cenderung membuat keputusan dengan alasan emosional. Setelah itu, mereka baru akan menjustifikasi keputusan mereka secara rasional, seperti yang disebutkan oleh Business Insider.

Steam Sale yang menggoda iman. | Sumber: PC Gamer

Jadi, konsumen yang melakukan pembelian impulsif sekalipun -- seperti saya yang membeli game diskonan saat Steam Sale walau masih banyak game yang belum saya mainkan di library saya -- akan membuat alasan rasional untuk menjustifikasi keputusan mereka. Contoh alasan yang mereka buat adalah "Toh sedang diskon" atau "Nanti, keburu barangnya habis". Secara pribadi, alasan yang paling sering saya gunakan adalah lebih baik menyesal telah membeli daripada menyesal karena tidak beli.

 

3. Dorongan dari Orang Lain

Di dunia nyata, luxury goods -- seperti mobil Ferrari, tas Chanel, atau iPhone -- bisa menjadi simbol dari status sosial seseorang. Di game, item juga bisa menjadi lambang status sosial pemainnya. Kita hidup dalam tatanan masyarakat yang cenderung untuk memandang seseorang berdasarkan status sosial mereka. Jadi, tidak aneh jika ada orang yang membeli sebuah barang hanya demi meningkatkan status sosial mereka. Fenomena ini disebut sebagai social shopping. Faktanya, salah satu alasan seseorang membeli barang mewah adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri. Fenomena social shopping juga terjadi di dalam game.

Di Amerika Serikat, Fortnite sangat populer, layaknya Free Fire di Indonesia. Lebih dari sekedar game, Fortnite juga menjadi tempat virtual bagi para pemainnya untuk berkumpul bersama, termasuk di kalangan siswa SMP. Namun, Fortnite juga menjadi alasan sebagian siswa dirisak. Seperti yang dilaporkan oleh Polygon, alasan sebagian murid dirisak bukan karena mereka kurang jago atau masih n00b, tapi karena mereka menggunakan default skin.

Paul Towler, seorang guru SMP, bercerita bahwa salah satu muridnya bahkan memohon pada orangtuanya untuk memberikan uang agar dia bisa membeli skin di Fortnite. Alasannya, teman-temannya tidak mau bermain dengannya karena dia menggunakan default skin. Padahal, skin di Fortnite tidak lebih dari item kosmetik. Skin tidak memengaruhi status para pemain dalam game. Hal ini menjadi bukti bahwa bagi sebagian gamer, meningkatkan status sosial menjadi alasan mereka item virtual.

Skin di Fortnite bisa menjadi lambang status sosial.

Alasan untuk membeli item dalam game tidak melulu sedramatis demi menghindari bullying. Terkadang, seorang gamer membeli item karena mereka ingin tampil matching dengan teman mereka atau karena item tersebut sedang populer. Dan konsumen cenderung untuk membeli produk yang tengah hype. Karena manusia adalah makhluk sosial dan pendapat mereka dipengaruhi oleh opini masyarakat. Jadi, ketika sebuah produk menjadi populer, secara otomatis, kita akan menganggap barang atau layanan tersebut pantas untuk dibeli.

 

4. Keinginan untuk Tampil Unik

Di satu sisi, manusia ingin bisa berbaur dengan orang-orang di sekitarnya. Di sisi lain, kita ingin tampil unik. Dalam game, tampilan yang keren atau cool factor menjadi salah satu alasan seorang gamer mau membeli item virtual. Karena itulah, item kosmetik, yang tidak menawarkan penambahan status apapun, juga bisa laku dijual.

Dalam artikel The Significance of Being Unique, Earl C. Kelley menyebutkan, tidak ada manusia yang sama, baik dari segi penampilan fisik maupun perilaku mereka. Setiap orang juga punya tujuan hidup atau "drive" yang berbeda-beda. Dari segi penampilan fisik, manusia menjadi berbeda-beda karena kita terlahir dari dua orang yang berbeda. Sementara itu, perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal, mulai dari kebiasaan, pengetahuan, sampai bias yang mereka miliki. Lebih lanjut, Kelley menjelaskan, persepsi memegang peran penting dalam bagaimana seseorang menjalani kehidupan mereka. Tanpa persepsi, hidup manusia tidak akan jauh berbeda dengan tanaman, yang tak bisa mengambil tindakan aktif. Sementara itu, persepsi seseorang dipengaruhi oleh rangsangan yang ada di sekitarnya, baik berupa suara, bau, sentuhan, dan lain sebagainya.

Namun, manusia tidak bisa menerima dan memproses semua rangsangan yang ada di sekitarnya. Alasannya, ada terlalu banyak data yang harus diproses di sekitar kita. Jadi, kita hanya memerhatikan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan tujuan hidup kita sebagai manusia. Misalnya, ketika Anda duduk di bangku sekolah, tujuan Anda -- idealnya -- adalah belajar. Jadi, Anda seharusnya fokus Anda adalah pada segala sesuatu yang menunjang proses belajar Anda. Contoh lainnya, ketika Anda bermain sebagai support/helaer dalam game MMORPG, fokus Anda harusnya adalah pada buff/debuff/heal. Soal bagaimana cara memaksimalkan DPS, masalah itu bukanlah prioritas Anda.

Karena setiap orang terlahir unik dan punya persepsi yang juga uni, dia akan menganggap dirinya sebagai pusat dari dunianya, tokoh utama dalam cerita hidupnya. Dan ketika Anda menjadi seorang tokoh utama, tentunya, Anda ingin merasa spesial, berbeda dari yang lain. Dalam game sekalipun, penampilan karakter Anda dan NPC biasanya berbeda. Para NPC biasanya memiliki penampilan yang lebih sederhana. Tidak jarang, Anda akan menemukan NPC dengan wajah yang sama.

Kustomisasi jadi salah satu hal yang membuat pemain senang bermain game. | Sumber: Dual Shockers

Hanya saja, bagi sebagian gamer, terlihat unik dari NPC saja tidak cukup. Mereka juga ingin tampil beda bahkan jika dibandingkan dengan pemain lain. Karena itulah, bagi sebagian gamer, kustomisasi karakter sangat penting. Karena avatar dalam game merupakan representasi diri mereka dan mereka ingin bisa menampilkan keunikan mereka melalui avatar tersebut. Selain itu, kustomisasi karakter juga penting karena hal itu bisa menjadi cara bagi sebagian gamer untuk mengekspresikan diri. Dan jika seorang gamer rela mengeluarkan uang demi tampil unik dalam game, hal itu sah-sah saja.

 

5. Kecenderungan Berjudi

Di dunia programming, ada konsep What You See Is What You Get (WYSIWYG): hasil akhir yang Anda dapatkan sesuai dengan apa yang Anda lihat. Di dunia nyata, ketika Anda membeli sebuah produk, Anda akan mendapatkan barang atau layanan sesuai deskripsi. Dalam game, Anda juga bisa membeli item yang rupa dan fungsinya sudah jelas. Namun, hal ini tidak berlaku pada game yang menggunakan mekanisme loot box atau gacha, seperti Overwatch atau Genshin Impact dan lain sebagainya.

Dalam game loot box atau gacha, Anda tidak membeli item, tapi kesempatan untuk mendapatkan item atau karakter tertentu. Dan persentase untuk mendapatkan sebuah item atau seorang karakter rare dalam sebuah game gacha sangat kecil. Contohnya, untuk mendapatkan karakter SSR dalam game Fate/Grand Order, Anda memiliki kesempatan 1%. Sementara di Genshin Impact, kesempatan Anda untuk mendapatkan karakter bintang 5 adalah 0,6%. Yup, saya tidak salah ketik. Persentasenya memang di bawah 1%. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah game gacha termasuk judi?

Di Indonesia, belum ada peraturan jelas yang mengatur tentang game gacha atau loot box. Namun, di negara-negara tertentu, seperti di kawasan Eropa, sudah ada negara-negara lain yang mengatur tentang game loot box. Misalnya, pada 2018, Belgia melarang game yang menggunakan mekanisme loot box. Alasannya karena game gacha atau loot box menyerupai judi. Dan, tidak semua orang -- apalagi gamer yang masih muda -- bisa menahan diri untuk tidak menghabiskan uang saat bermain game loot box atau gacha. Di Jepang, mobile game yang mengandung unsur gacha bahkan mendapatkan kritik karena dianggap mendorong para pemainnya untuk berjudi.

Fire Emblem Heroes, game gacha, menjadi salah satu sumber pemasukan utama divisi mobile Nintendo. | Sumber: Sensor Tower

Memang, saat ini, belum banyak studi yang membahas tentang kaitan antara bermain game gacha atau loot box dan kemungkinan seseorang untuk berjudi. Namun, berdasarkan studi Video game loot boxes are linked to problem gambling: Results of a large-scale survey, bermain game loot box akan membuat orang yang memang memiliki kecenderungan berjudi untuk menghabiskan uang demi membeli loot box. Selain itu, studi itu juga menunjukkan, semakin tinggi kecenderungan seseorang untuk berjudi, semakin banyak pula uang yang mereka habiskan saat bermain game loot box.

Menariknya, biaya gacha yang rendah justru akan mendorong para gamer -- yang memang sudah punya kecenderungan untuk berjudi -- untuk menghabiskan uang lebih banyak. Tren serupa dapat ditemukan pada para penjudi. Biasanya, semakin kecil biaya untuk berjudi, semakin banyak taruhan yang seorang penjudi buat. Dalam kasus game gacha, meskipun pada awalnya gamer tidak mengeluarkan uang banyak, di masa depan, ada kemungkinan mereka akan menghabiskan uang lebih banyak, terutama jika mereka sudah "menang" dan merasakan gratifikasi instan dari bermain gacha. Misalnya, mendapatkan item atau karakter yang mereka incar.

Kabar baiknya, jika seorang gamer memang tidak punya kecenderungan berjudi, maka kecil kemungkinan dia akan tergoda untuk menghabiskan uang saat bermain game loot box atau gacha. Selain itu, berdasarkan studi Long-Term Effects of In-Game Purchases and Event Game Mechanics on Young Mobile Social Game Players in Japan, mekanisme game gacha tidak membuat seseorang menjadi kecanduan bermain game. Dan sekalipun mereka bermain game dengan sistem gacha atau loot box, uang yang mereka habiskan biasanya tidak terlalu besar. Anda bisa melihat korelasi antara jumlah uang yang dihabiskan setiap bulan dengan kecenderungan seorang gamer untuk berjudi pada grafik di bawah.

Kaitan antara kecenderungan gamer untuk berjudi dan uang yang dihabiskan untuk membeli loot box. | Sumber: Studi

 

Kesimpulan

Ketika saya SMP, saya membuat tagihan telpon di rumah melonjak karena bermain game Ragnarok Online setiap hari. Dan jangan tanya berapa banyak uang yang saya habiskan untuk membeli voucher dari game online tersebut. Sampai sekarang pun, saya lebih memilih untuk mengeluarkan uang untuk membeli game atau item di game daripada makeup. Sebagian orang mengaku heran karena saya lebih rela menghabiskan uang untuk item dalam game, sesuatu yang tak berwujud, yang sewaktu-waktu bisa hilang begitu saja jika developer game yang saya mainkan bangkrut.

Tentu saja, saya bisa memberikan penjelasan panjang lebar tentang mengapa gamer mau membeli item dalam game -- atau menyodorkan artikel ini. Namun, bagi saya pribadi, jawabannya sederhana: it makes me happy. Sebagian orang senang dengan membeli makeup, sebagian lainnya rela menghabiskan uang berjuta-juta untuk action figure. Sementara bagi gamer, mereka merasa senang ketika bisa bermain game. Dan jika membeli item dalam game bisa membuat pengalaman bermain mereka lebih menyenangkan, hal itu bukan masalah. Tentu saja, asalkan mereka bisa mengatur keuangan mereka dengan baik. Misalnya, tidak menghabiskan biaya kuliah untuk gacha.