Dark
Light

AFPI Tanggapi Rancangan Revisi Regulasi P2P Lending

2 mins read
December 8, 2020
Aturan Baru P2P Lending
OJK tengah menyiapkan revisi terhadap POJK 77/2016 untuk industri p2p lending / Depositphotos.com

OJK tengah menyiapkan revisi terhadap POJK 77/2016 untuk industri p2p lending yang tumbuh pesat semenjak aturan diterbitkan pada 2016. Ada tujuh poin yang ditekankan dalam rancangan revisi tersebut. Sebagai berikut:

  1. Penghapusan status pendaftaran, hanya perizinan.
  2. Peningkatan syarat modal disetor minimum, menjadi Rp15 miliar saat perizinan dari sebelumnya Rp2,5 miliar.
  3. Ketentuan persyaratan ekuitas sebesar 0,5% dari total outstanding atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
  4. Adanya fit & proper test pengurus dan PSP.
  5. Kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa.
  6. Penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan p2p lending.
  7. Menambahkan ketentuan prinsip syariah yang sebelumnya belum diatur.

“OJK perlu membenahi penyelenggara yang telah ada. Apabila ada penambahan P2PL baru tanpa memiliki modal yang mencukup, strategi yang bagus, dan ekosistem yang mendukung, maka berpotensi hanya menambah jumlah P2PL, tetapi kontribusinya kecil dan tidak optimal,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi, dikutip dari Infobank.

OJK mengambil kebijakan baru ini untuk menyortir memaksimalkan industri p2p lending agar dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih maksimal. Saat ini tercatat ada 36 perusahaan berizin dan 177 perusahaan terdaftar. Dari seluruh penyelenggara, OJK mencatat hanya 10 pemain teratas dengan kontribusi hingga 61,68% dari pangsa outstanding industri.

“Kontribusi industri hanya oleh beberapa pemain, yang lain penyaluran minim. Kekuatan tergantung masing-masing juga. Banyak yang belum berkembang karena masalah permodalan dan status likuiditas tergerus.”

Tanggapan AFPI

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko menuturkan ada empat poin utama yang menjadi saran asosiasi terkait RPOJK ini. Di antaranya, AFPI berharap regulasi baru tidak menghambat pertumbuhan transaksi dan jumlah pemberi dana dari para penyelenggara. Selain itu, jangan sampai regulasi baru justru mempersulit investasi yang masuk ke industri.

Berikutnya, asosiasi menyarankan birokrasi yang lebih ramping agar platform yang masih dalam tahap awal tetap lincah. “Agar mereka tetap bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama di masa-masa seperti ini,” kata Sunu.

Terakhir adalah perlunya kelonggaran terhadap ketentuan batas waktu hingga periode tertentu di beberapa aspek regulasi baru. Tujuannya untuk memberikan nafas untuk pemain baru agar bisa berkembang terlebih dulu.

“Karena tidak semua pemain ada di tahapan yang sama. Ada yang sudah mapan, ada yang baru mulai, ada yang masih berkembang. Jadi ini terutama buat anggota kita yang sebenarnya bisa memenuhi aturan, tapi butuh waktu sedikit lebih lama.”

Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menanggapi poin lainnya berkaitan dengan menaikkan modal inti. Menurutnya, kebijakan ini bisa membuka ruang konsolidasi (merger) antar penyelenggara. Permodalan adalah sesuatu yang penting apalagi di jasa keuangan karena modal inti berkaitan erat dengan fokus pertumbuhan.

“Kalau dengan pertumbuhan berkualitas butuh komitmen dari para shareholder untuk meningkatkan aspek permodalan ini. Pada intinya kami sepemahaman. Mungkin butuh bahan diskusi tahap-tahapan peningkatan modal tersebut karena belum semua penyelenggara dalam stage pertumbuhan yang sama,” terang Adrian.

Adrian melanjutkan, “Kami proaktif melihat apakah ada ruang konsolidasi, penggabungan dari beberapa fintech lending jadi sesuatu yang kita buka ruang tersebut dan diskusi dengan OJK.”

Terkait penyaluran lebih banyak ke sektor produktif dan ke luar Pulau Jawa, Adrian menuturkan kesempatan tersebut dapat digarap melalui kolaborasi. Asosiasi dapat menjembatani para pemain multiguna dan produktif untuk melakukan join financing.

Untuk masuk ke luar Pulau Jawa, pemain fintech dapat bekerja sama dengan institusi keuangan seperti BPR dan BPD karena paham dengan risiko dan industrinya. “Fintech lending punya teknologi dan credit scoring yang bagus, tapi bagaimanapun BPR dan BPD punya local knowledge. Mudah-mudahan tahun depan kolaborasi seperti ini akan semakin banyak,” pungkas dia.

Sunu melanjutkan seluruh masukan dari asosiasi untuk regulator sudah disampaikan secara tertulis sejak akhir November kemarin. “Proses diskusi untuk RPOJK itu sudah berjalan lama [..] Kami ingin peraturan yang tidak melekat tapi tidak menghilangkan esensi penting fintech, tidak menghimpun dana masyarakat. Butuh kelonggaran agar kita dapat bergerak lincah dalam kegiatan bisnisnya,” tutupnya.

Gambar header: Depositphotos.com

Belajar dari pengalaman Kevin Mintaraga, Calvin Kizana, dan Johnny Widodo tentang dinamika bekerja di startup. Dari pucuk pimpinan dan kembali jadi pegawai
Previous Story

Dinamika Pendiri dan Pimpinan Startup: dari CEO jadi Pegawai

Next Story

Berada di Bawah Naungan Xendit Group, Instamoney Sediakan Layanan API untuk Remitansi

Latest from Blog

Don't Miss

Aset kripto kini ditangani OJK, bukan lagi Bappebti

Aset Kripto Diawasi OJK, Inilah Semua yang Perlu Diketahui

Setelah sekian lama ditangani oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Lebih Parah dari Kasus Doni Salmanan, Inilah 7 Kasus Penipuan Terbesar di Industri Teknologi

Startup selalu berusaha mencari cara untuk mendisrupsi status quo menggunakan