Dark
Light

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia Tetapkan “Pagu Biaya” untuk Perlindungan Konsumen

3 mins read
November 7, 2018
Kesepakatan AFPI menyebutkan apabila konsumen mengalami kesulitan pengembalian, maksimal pinjaman total dan biaya-biaya keseluruhan berhenti di hari ke-90
Konferensi pers AFPI / DailySocial

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membuat standar pagu kredit pinjaman untuk melindungi konsumen. Kesepakatan ini dibuat secara mufakat oleh para anggota AFPI dan siap diterapkan. Belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan OJK apakah pagu kredit ini akan dibuat dalam beleid resmi.

Pagu biaya yang dimaksud artinya jika pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 jari dari tenggat waktu pembayaran, biaya pinjaman dan pokok dijamin tidak akan bertambah.

Sebagai contoh apabila konsumen memiliki pinjaman senilai Rp2 juta dan ia mengalami kesulitan dalam pengembalian, maka maksimal pinjaman total beserta biaya-biaya keseluruhan berhenti di hari ke-90. Kewajiban yang harus dibayarkan adalah pokok pinjaman (Rp2 juta) + biaya dan bunga hingga maksimal hari ke-90.

Dengan adanya pagu biaya, AFPI memastikan bahwa visi untuk melakukan edukasi kredit kepada masyarakat dan pada akhirnya meningkatkan inklusi keuangan dapat tercapai.

“AFPI peduli dengan perlindungan nasabah. Untuk itu kami sepakat untuk membuat pagu biaya. Jadi total biaya yang dibayarkan tidak melebihi sampai 3-4 kali lipat dari nominal pinjaman, agar tidak tercekik,” kata Wakil Ketua Eksekutif untuk Pendanaan Multiguna AFPI Aidil Zulkifli, Selasa (6/11).

Mekanisme penerapan pagu biaya ini, sambungnya, diserahkan kepada masing-masing penyelenggara. Berdasarkan data dari AFPI, ada beberapa platform penyelenggara yang sudah lebih dahulu memberhentikan biaya-biaya setelah melewati hari ke 30, di antaranya Uang Teman dan Pendanaan.com.

“Dengan penerapan ini, konsumen jadi terlindungi dari kekhawatiran beban biaya yang memberatkan. Kehadiran kami di pasar adalah untuk memberikan solusi dan akses bagi konsumen yang tidak atau belum terlayani oleh perbankan.”

Menurut Aidil, kesepakatan ini telah dibawa ke OJK untuk dimintai persetujuannya. Regulator pun senang dengan inisiatif seperti ini, meski belum ada regulasi yang secara sah mengatur soal pagu biaya. Belum ada kemungkinan pula potensi apakah regulator akan menurunkannya dalam bentuk beleid agar lebih kuat.

Berdasarkan data OJK per bulan September 2018, data NPL untuk layanan p2p lending dan payday loan mencapai 1,2%.

Selain menetapkan pagu biaya, asosiasi juga mengagendakan agar para anggotanya memperoleh sertifikasi ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi, peraturan Menkominfo No.4/2016. Penerapan sertifikasi ini merupakan bagian dari manajemen risiko dan menjaga keamanan data kepada konsumen.

Tak hanya itu, asosiasi juga akan menerapkan standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan oleh para anggota AFPI kepada konsumen. Di mana proses penagihan harus sesuai dengan kode etik penagihan yang telah disetujui oleh seluruh anggota AFPI. Agen penagihan harus memiliki sertifikasi yang dikeluarkan oleh asosiasi.

Selayaknya pemberian kredit, akan diterapkan pula mekanisme pembayaran dan konsekuensi atas kegagalan pembayaran. Asosiasi menekankan bahwa konsumen juga harus cerdas dan berhati-hati saat akan mengajukan pinjaman. Konsumen wajib mengidentifikasi apakah penyelenggara pinjaman merupakan perusahaan yang terdaftar di OJK dan mengeceknya di situs resmi OJK.

Data nasabah yang dikupulkan asosiasi akan dikumpulkan dan digunakan secara bersama dengan perbankan nasional. Sehingga dapat membantu industri keuangan secara keseluruhan. Visi untuk meningkatkan inklusi keuangan pun dapat tercapai dengan lebih cepat.

Tanggapi kabar negatif dari LBH

Inisiatif asosiasi dalam mengeluarkan beberapa pernyataan ini, menanggapi terkait isu negatif yang menimpa industri fintech p2p lending terkait aduan konsumen ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Disebutkan ada 283 korban pinjaman online sejak 2016. Untuk mengkomodasi seluruh keluhan, LBH pun membuka posko pengaduan korban.

Konsumen komplain dengan cara penagihan dari penyelenggara yang tidak etis dan melanggar ketentuan, menghubungi seluruh kontak yang tersimpan di ponsel konsumen, bunga tinggi, dan sebagainya. Buntut persoalan ini dianggap merugikan AFPI karena seluruh tindakan tersebut bukan dilakukan oleh anggota asosiasi. Pemain p2p lending yang bandel dan ilegal tersebut berinisial UC, DR, KP, VL dan RN.

“Asosiasi belum menerima komplain ada pelanggaran terkait penagihan yang dilakukan oleh anggota kami, baik dari AFPI maupun AFTECH,” ujar Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widiatmoko.

Sunu menganggap isu ini merugikan karena merusak nama baik p2p lending yang susah-susah dirintis sejak awal oleh para pemain industri. Oleh karena itu, asosiasi akan melaporkan hal ini ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti. Tak hanya itu, berkunjung ke LBH untuk edukasi lebih lanjut terkait perbedaan fintech legal dan ilegal.

Dia menegaskan seluruh praktik yang dilakukan di lapangan oleh anggota diawasi penuh oleh OJK dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“AFPI keberatan dan merasa dirugikan. Padahal dari awal kami mau membangun tata kelola yang baik untuk industri p2p lending yang sesuai ketentuan.”

AFPI pun sudah memeriksa barang bukti dari kedua belah pihak. Disimpulkan penyelenggara yang bukan anggota dan ilegal ini tidak memiliki itikad baik untuk berbisnis secara jangka panjang di Indonesia. Bahkan AFPI menuding pemain tersebut sengaja untuk bawa kabur dana nasabah dan keluar dari Indonesia.

“Saya sudah dengar bukti rekamannya. Kata-kata yang dilontarkan benar-benar tidak etis dan tidak pantas diucapkan.”

Sunu menyebut, asosiasi menutup diri dan tidak bersedia untuk menerima pemain ilegal tersebut sebagai anggota resmi. Dia bilang, kalau pemain tersebut memiliki itikad baik, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah mendaftarkan diri secara resmi ke OJK baru ke asosiasi.

“Semua pemain bisa mendaftar ke OJK, sekarang tinggal dari niat mereka apakah baik atau tidak karena ini hanya soal administrasi saja. Kenapa harus merangkul [sebagai anggota] kalau niat mereka mau hit and run uang nasabah dan melanggar aturan hukum.”

Sunu juga menegaskan asosiasi ini bukan sesuatu yang ekslusif, sehingga siap merangkul siapapun yang beritikad baik.

Asosiasi siap bekerja sama dan membantu pihak LBH dan berwajib dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami konsumen. Saat ini anggota AFPI ada 73 penyelenggara dan seluruhnya telah terdaftar di OJK.

Layanan e-commerce perhiasan Orori menjadi reseller resmi emas batangan Antam. Menargetkan GMV tahunan dapat tembus US$25 juta atau sekitar Rp375 miliar
Previous Story

Orori Kini Jual Emas Batangan Resmi Antam, Bidik Penjualan Rp375 Miliar Per Tahun

Akulaku akan merambah Kalimantan dan Sumatera tahun depan. Juga meresmikan kehadiran Akulaku Kredit Offline yang menggandeng 20 ribu merchant di Jabodetabek
Next Story

Akulaku Segera Ekspansi ke Kalimantan dan Sumatera di Tahun 2019

Latest from Blog

Don't Miss

Lebih Parah dari Kasus Doni Salmanan, Inilah 7 Kasus Penipuan Terbesar di Industri Teknologi

Startup selalu berusaha mencari cara untuk mendisrupsi status quo menggunakan
Startup fintech payment gateway Xendit merambah sektor perbankan dengan mendirikan PT Bank Perkreditan Rakyat Xen (BPR Xen) yang berlokasi di Depok

Xendit Rambah Perbankan, Dirikan Bank Perkreditan Rakyat Xen

Ekspansi bisnis startup unicorn di sektor fintech, Xendit, kini sudah