Microsoft dan LinkedIn merilis laporan Work Trend Index 2024. Di dalamnya ada pula data yang menampilkan para pekerja di Indonesia. Salah satu informasi yang menarik adalah, hampir 100 persen pekerja (knowledge workers) di Indonesia yang disurvei telah menggunakan GenAI (generative artificial intelligence) di tempat kerja.
Laporan tahunan yang dirilis Microsoft dan LinkedIn ini cukup menitikberatkan pada AI, dengan laporan utamanya bertajuk ‘AI at Work is Here. Now Comes the Hard Part’, yang menunjukkan bahwa kini adalah tahunnya applied AI, yaitu bagaimana tools-tools AI digunakan oleh para pekerja dan apa dampaknya atas pekerjaan mereka.
Pekerja Indonesia banyak menggunakan AI
Dari paparan yang dijelaskan oleh Microsoft, diwakili oleh Dharma Simorangkir, Presiden Direktur Microsoft Indonesia, salah satu hal menarik yang saya tangkap adalah data yang menyebutkan 92% knowledge workers di Indonesia sudah menggunakan generative AI di tempat kerja. Dari paparan yang disampaikan, angka ini lebih tinggi dibandingkan angka global (75%) dan Asia Pasifik (83%).
Indonesia memang dikenal sebagai early adopter untuk beragam teknologi, mulai dari media sosial sampai dengan tools terkait teknologi. Dari angka ini bisa terlihat bahwa para pekerja ‘menyambut’ AI dalam urusan pekerjaan atau kreatif mereka.
Informasi yang saya peroleh dari Microsoft, survei dari Work Tren Index 2024 ini dilakukan terhadap 31.000 orang dari 31 negara, termasuk Indonesia dari karyawan dan pemimpin bisnis dari berbagai latar belakang. Untuk industrinya sendiri ada dari industri kesehatan, ritel, manufaktur, pendidikan, perbankan, media, energi, dan lainnya. Keberagaman industri dan nara sumber survei tentunya menjadi penting sebagai bauran hasil data yang diolah oleh Microsoft dan LinkedIn.
Data lain juga menarik adalah para pekerja di Indonesia tidak mau menunggu perusahaan tempat mereka kerja menyediakan AI, artinya para pekerja ini berinisiatif untuk menggunakan tools AI dalam pekerjaan mereka. Sebanyak 76% karyawan di Indonesia berinitiatif untuk membawa perangkat atau solusi AI mereka sendiri ke tempat kerja (Bring Your Own AI/BYOAI).
Kondisi yang down to top ini, jika berhubungan dengan hal strategis atau krusial di perusahaan tentunya menimbulkan peluang resiko. Dibutuhkan penggunaan AI yang memang diatur atau disediakan perusahaan agar bisa terjaga data dan informasi sensitif hanya untuk penggunaan internal. Di sisi lain, kebutuhan AI yang disediakan perusahaan juga akan berhubungan dengan skala adapsi yang lebih besar.
Dari sisi pekerja sendiri kemampuan AI ini sepertinya akan menjadi niscaya. Ini jika berkaca pada data yang dihadirkan Microsoft dan LinkedIn, bahwa, “Sebanyak 69% pemimpin di Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak akan merekrut seseorang tanpa keterampilan AI. Sebanyak 76% bahkan cenderung merekrut kandidat dengan pengalaman kerja yang lebih sedikit namun handal menggunakan AI, dibandingkan kandidat berpengalaman tanpa kemampuan AI.”
Munculnya Power User dan bagaimana beradaptasi
Selain itu hasil survei juga mencatat bahwa karyawan membutuhkan sebuah ‘bantuan’ untuk beradaptasi dengan kecepatan dan volume pekerjaan, ada 68% dari hasil survei yang mengatakan hal tersebut.
Menurut Microsoft dan LinkedIn, ini akan memunculkan AI Power User. Yaitu mereka yang bereksperimen dan bekerja menggunakan AI. Beberapa tujuannya sebenarnya untuk menyelesaikan pekerjaan dan untuk meningkatkan kemampuan diri.
Data dari LinkedIn yang dijelaskan oleh Rohit Kalsy, Indonesia Country Lead, LinkedIn, juga menyebutkan bahwa ada peningkatan mereka yang menggunakan kursus LinkedIn Learning yang berhubungan dengan AI, tujuannya adalah untuk meningkatkan keahlian mereka terutama di bidang AI. LinkedIn menyebutkan data global ada 160% peningkatan tenaga profesional non teknis yang menggunakan layanan belajar LinkedIn tersebut.
Microsoft juga menjelaskan lewat rilis bahwa organisasi di Indonesia pun sudah mengintegrasikan tool generative AI seperti Copilot for Microsoft 365 dalam alur kerja mereka sehari-hari, tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas.
Beberapa di antaranya yaitu Indosat Ooredoo Hutchinson (Indosat atau IOH). Dijelaskan bahwa, Copilot for Microsoft 365 menjadi bagian dari peningkatan produktivitas bagi karyawan Indosat dalam mengelola pekerjaannya.
Integrasi Copilot for Microsoft 365 juga telah dilakukan di berbagai fungsi di Indosat, mulai dari digital, Human Resource, Business-to-Business, hingga Network.
Kehadiran Copilot di Microsoft 365 tentunya ingin mengambil peluang dari kebutuhan AI dalam lingkup pekerjaan. Kita tau tentunya berapa banyak yang menggunakan layanan office dari Microsoft. Dan kini intergasi AI lewat Copilot bisa dinikmati oleh pengguna mereka.
Beberapa fitur yang dijelaskan oleh Ricky Haryadi, Go To Market Lead – AI at Work & AI in Cybersecurity (ASEAN) Microsoft, antara lain seperti fitur auto-complete baru akan hadir di kotak prompt untuk memudahkan dalam menyusun prompt, Fitur rewrite untuk membantu menuliskan prompt yang lebih kaya dengan sekali klik, lalu Catch Up yang merupakan antarmuka chat baru serta Copilot Lab untuk membuat, menerbitkan, dan mengelola prompt yang disesuaikan dengan mereka, atau untuk tim, peran, dan fungsi yang spesifik.
Dalam sesi penjelasan juga disebutkan bahwa untuk kebutuhan data set atau keperluan kerja yang lebih sensitif di lingkungan kerja Copilot for work (Copilot Microsoft 365) berbayar ada tambahan protected untuk menjaga datanya agar tidak dilatih oleh Microsoft. Jadi kemampuan AI bisa berguna untuk membantu pekerjaan dalam lingkup data internal, tanpa data itu ‘keluar’.
AI Enterprise yang disediakan Microsoft memungkinkan untuk data adahal milik pengguna, tidak digunakan untuk melatih model AI, data dan model AI tetap terlindungi dan adanya Customer Copyright Commitmend dari Microsoft.
Perkembangan AI dalam lini kehidupan termasuk pekerjaan sepertinya akan inevitable atau tak terhindarkan. Namun satu hal yang saya tangkap dalam acara penjelasan Work Tren Indes 2024 kemarin, AI bukanlah untuk menggantikan posisi kerja tetapi untuk meningkatkan pekerjaan dan keahlian pekerja.
AI bisa digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan yang repetitif atau membutuhkan waktu olah lama jika dilakukan secara manual. Atau bisa juga digunakan untuk membuatkan lebih tepat sasaran. Dengan adanya AI, pekerja bisa menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat sehingga memiliki waktu untuk hal lain, misalnya pengembangan diri atau mengerjakan pekerjaan yang lebih penting.
Dalam proses penggunaan AI dalam lingkup kerja tetap dibutuhkan pekerja yang menggunakan dan mengontrol hasil keluaran dari AI tersebut. Para pekerja juga dibutuhkan untuk menyelaraskan mana pekerjaan yang membutuhkan AI dan mana yang tidak.
AI bisa pula digunakan untuk pengembangan diri atau upskill dari para karyawan. Beberapa tools bisa digunakan untuk mengasah kemampuan atau bisa juga dengan keterampilan dengan mengikuti kurus terkait AI yang disediakan salah satunya oleh LinkedIn. Untuk topik AI, LinkedIn Learning punya 600 kursus AI yang terjedia gratis sampai 8 Juli 2024.
Saya mengutip bapak Dharma Simorangkir, Presiden Direktur Microsoft Indonesia untuk menutup artikel ini, yang sedikit banyak menyimpulkan bagaimana ekosistem kerja bisa menghadapi geliat AI yang berkembang pesat, berikut kutipannya, “Kuncinya sekarang ada pada bagaimana kita mampu menyalurkan antusiasme tersebut menjadi transformasi AI bisnis yang nyata, dengan melakukan tiga hal. Pertama, identifikasi masalah bisnis dan integrasikan AI ke dalam solusinya. Kedua, ambil pendekatan top-down dan bottom-up. Ketiga, prioritaskan pelatihan keterampilan AI bagi setiap individu.”