Artificial Intelligence kini menjadi topik pembicaraan banyak orang berkat popularitas Generative AI (GAI) seperti Midjourney dan ChatGPT. Namun, sebenarnya, AI sudah digunakan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Selain itu, AI juga digunakan di berbagai bidang, dengan fungsi yang berbeda-beda pula.
Di game, AI biasanya digunakan untuk menampilkan perilaku manusiawi dan responsif pada Non-Player Characters alias NPCs. Tak berhenti sampai di situ, AI kini juga bisa bermain game, layaknya manusia.
Di 2017, AlphaGo buatan DeepMind berhasil mengalahkan pemain Go nomor satu di dunia, Ke Jie. Sementara di 2019, OpenAI Five berhasil mengalahkan para pemain Dota 2 yang pernah menjadi juara dunia.
Untuk mengetahui tren penggunaan AI di Indonesia, saya mengobrol dengan Adhiguna Mahendra, Chief of Business, Product, and AI Strategy, Nodeflux.
Awal Penggunaan AI di Indonesia
Sebenarnya, AI sudah mulai digunakan di Indonesia sejak era 1980-an, ungkap Adhi. Namun, ketika itu, AI memang hanya digunakan oleh perusahaan dari industri tertentu saja, seperti minyak dan gas, penerbangan, dan logistik. Di perusahaan minyak dan gas, AI biasanya digunakan untuk mencari sumur minyak. Sementara di perusahaan penerbangan dan logistik, AI dimanfaatkan untuk menentukan rute armada.
Adhi menjelaskan, alasan mengapa dulu, tidak banyak perusahaan yang menggunakan AI adalah karena keterbatasan teknologi yang ada. “Kenapa dulu yang bisa pakai AI cuma airline atau perusahaan minyak dan gas? Karena memang cuma mereka yang bisa membeli supercomputer, yang ketika itu, harganya bisa mencapai miliaran,” katanya, dalam wawancara dengan Hybrid.co.id. “Sekarang, kita sudah punya supercomputer di tangan kita, yaitu smartphone.”
Lebih lanjut Adhi mengatakan, keberadaan cloud juga memudahkan startup dan perusahaan kecil untuk mengadopsi teknologi AI. Pasalnya, dengan adanya cloud, perusahaan tidak lagi harus menghabiskan modal dalam jumlah besar di depan demi membeli server. “Kini, perusahaan cukup membayar biaya langganan per bulan, dan mereka bisa mendapatkan akses ke supercomputer,” ungkapnya.
Selain kemudahan akses ke supercomputer, internet juga memudahkan banyak orang dalam mencari tahu segala sesuatu tentang AI, termasuk tools untuk membuat aplikasi AI.
Adhi bercerita, dulu, untuk mempelajari AI, seseorang harus membeli atau meminjam buku dari perpustakaan. Dan hanya orang-orang yang sudah mengambil pendidikan S2 saja yang bisa membuat aplikasi terkait AI. Keadaan itu jauh berbeda dari situasi saat ini.
Sekarang, sudah ada banyak tools open source yang bisa digunakan oleh orang-orang yang tertarik dengan AI. Untuk bereksperimen dengan tools yang ada dan mencoba membuat aplikasi, seseorang bisa dengan mudah mencari tutorial di YouTube.
Penggunaan AI di Perusahaan Swasta dan Pemerintah
Adhi menjelaskan, seiring dengan semakin populernya AI, semakin tinggi pula tingkat adopsi AI. Di Indonesia, AI biasanya digunakan di sektor keuangan, retail, dan telekomunikasi. Selain itu, industri perbankan dan manufaktur juga telah menggunakan AI. Tak terbatas pada perusahaan swasta, pemerintah pun menggunakan AI, seperti Aparat Penegak Hukum.
“Untuk urusan adopsi, pemerintah Indonesia itu sebenarnya lebih cepat dibandingkan pihak swasta,” kata Adhi, dalam pernyataan resmi. “Apalagi di sektor Penegak Hukum. Teknologi Face Recognition yang kami miliki banyak dipakai untuk solusi pengawasan dan identifikasi. Teknologi itu bahkan digunakan sebagai sistem pengawasan dan monitoring di salah satu event internasional. Dan saat ini, ia dipakai oleh Direktorat Jenderal Imigrasi untuk pengawasan bandara, pelabuhan, dan area perbatasan.”
Walau sama-sama menggunakan AI, perusahaan swasta dan pemerintah punya tujuan yang berbeda. “Kalau perusahaan, mereka cuma punya satu tujuan, yaitu meningkatkan untung,” kata Adhi.
“Untuk mencapai itu, cuma ada dua cara: menaikkan pemasukan atau menurunkan biaya operasi.” Dia menambahkan, AI juga bisa digunakan untuk mengurangi risiko operasi perusahaan. Misalnya, dalam menentukan lokasi sumur minyak bagi perusahaan minyak dan gas.
Sama seperti perusahaan swasta, pemerintah juga bisa menggunakan AI untuk meningkatkan pemasukan atau menekan biaya operasi. Contohnya, Dinas Pendapatan Daerah bisa menggunakan computer vision yang dapat membaca plat kendaraan. Tujuannya, untuk mengetahui apakah pajak kendaraan sudah dibayar atau belum. Contoh penggunaan AI oleh pemerintah untuk meningkatkan efisiensi adalah dengan menggunakan CCTV untuk memantau kemacetan di suatu daerah.
Dengan menggunakan CCTV, pemerintah tidak perlu menurunkan petugas secara langsung ke lokasi demi mengawasi keadaan lalu lintas. Sebagai gantinya, petugas hanya ditugaskan ke lokasi saat kemacetan terjadi.
Penggunaan AI oleh pemerintah juga biasanya memiliki dampak sosial. Misalnya, menurunkan angka kemacetan. Contoh lainnya, penggunaan AI di sistem pengawasan banjir dapat membuat kawasan rawan banjir terhindar dari bencana.
Faktor Penghambat Adopsi AI di Indonesia
Tren penggunaan AI di Indonesia memang cenderung naik. Namun, tetap ada faktor yang menghambat tingkat adopsi AI. Salah satunya, bandwidth internet. Kabar baiknya, Adhi menjelaskan, Nodeflux punya solusi untuk mengatasi masalah bandwidth, baik di sisi kamera maupun server.
Di sisi kamera, Nodeflux memiliki hybrid cam, yang memiliki daya komputasi sehingga ia bisa memproses sebagian data, agar data yang dikirim ke server tidak membutuhkan bandwidth terlalu besar. Solusi lain untuk mengatasi masalah bandwidth adalah dengan melakukan kompresi gambar.
Menurut Adhi, dua masalah besar yang harus dihadapi oleh perusahaan AI, seperti Nodeflux, adalah sulitnya mencari talenta di bidang AI dan memberikan edukasi pada para pelanggan terkait AI.
“Berbeda dengan program biasa, seperti Excel misalnya, AI tidak bisa memberikan performa terbaik di semua kondisi,” ujar Adhi. Dia memberikan AI pengenalan wajah sebagai contoh. “Suatu hari, AI bisa mendeteksi wajah, tapi ketika pencahayaan kurang baik atau seseorang menggunakan kacamata hitam, AI tidak bisa mendeteksi wajah yang muncul.”
“Hal itu bukan berarti AI-nya gagal. Tapi, memang ada banyak hal yang mempengaruhi performa face recognition AI, mulai dari pencahayaan, sudut pengambilan gambar, dan kamera yang digunakan,” jelas Adhi. “Ada berapa ribu jenis kamera di dunia? Ketinggian kamera, resolusi gambar kamera juga berbeda-beda. Kondisi pencahayaan dan cuaca juga mempengaruhi kemampuan AI.”
Sementara itu, untuk masalah pengembangan talenta, Adhi mengakui, saat ini, memang ada banyak pelatihan dan bootcamp terkait pembelajaran AI. Hanya saja, dia merasa, pelatihan tersebut baru menyentuh “kulit luar” dari pembelajaran AI.
“Bikin demo itu sebenarnya gampang,” katanya. “Tapi, bikin AI yang benar-benar bisa jalan di berbagai macam kondisi yang kita sendiri tidak bisa tebak, hal itu membutuhkan pengalaman, pengetahuan yang kuat di bidang matematika, programming, dan algoritma.”
Regulasi AI di Indonesia
Teknologi AI memang sudah digunakan di Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Meskipun begitu, Adhi mengatakan, pemerintah Indonesia belum punya regulasi khusus terkait AI.
Salah satu regulasi yang relevan pada penggunaan AI adalah Perlindungan Data Pribadi (PDP). Regulasi itu relevan karena AI biasanya mengumpulkan data dalam jumlah banyak. Sebagai contoh, agar face recognition AI bisa bekerja dengan baik, ia harus dilatih menggunakan banyak foto manusia, yang diambil dari berbagai sudut.
Menurut Adhi, memiliki data dalam jumlah banyak — dalam kasus ini data wajah manusia — seharusnya tidak menjadi masalah. Namun, hal yang tidak boleh perusahaan lakukan adalah menyimpan informasi terkait data wajah yang mereka punya. Dan masalah ini sudah diatur oleh pemerintah.
Selain itu, perusahaan AI sendiri harus sudah bisa memenuhi ISO 27001, yang merupakan standar internasional tentang pengamanan informasi.
Walau belum ada peraturan khusus tentang AI, Adhi merasa, di masa depan, pemerintah harus mulai membuatnya. Dia menyebutkan, di negara-negara seperti Amerika Serikat, regulasi terkait AI kini sedang menjadi pembicaraan hangat, khususnya regulasi terkait Generative AI (GAI), seperti Midjourney dan ChatGPT.
Banyak orang yang memperhatikan regulasi terkait GAI karena GAI dilatih menggunakan banyak data yang diambil dari internet. Masalahnya, konten yang digunakan untuk melatih AI biasanya diambil tanpa izin sang kreator. Alhasil, kreator konten merasa dirugikan karena karyanya digunakan tanpa izin dan tanpa kompensasi.
“Pemerintah seharusnya membuat regulasi tentang ketentuan pelatihan AI,” kata Adhi. Walau, dia mengingatkan, ketika kita mengunggah konten ke media sosial atau platform di internet, bisa jadi, ada syarat dan ketentuan yang menyatakan bahwa konten yang kita unggah itu sudah masuk dalam ranah publik,. “Kalau kita setuju, secara teori, konten yang kita buat sah saja untuk digunakan. Masalahnya, apakah masalah ini sudah diregulasi? Karena sekarang, ranah itu masih abu-abu.”
Sumber header: Nodeflux