Teknologi web3 mulai merambah ke industri game. Buktinya, sejumlah perusahaan game telah meluncurkan platform atau game Non-Fungible Token (NFT). Sebagian studio game juga memutuskan untuk fokus ke blockchain game.
Dua hal ini menunjukkan, sebagian pelaku industri game percaya, teknologi web3 punya potensi untuk diintegrasikan ke dalam game. Dan topik tersebut menjadi salah satu pembahasan dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX) 2022 yang diselenggarakan di Bali, Indonesia.
Potensi Game Web3
Arief Widhiyasa, CEO Mythic Protocol dan Chairman Agate International percaya, teknologi web3 berpotensi untuk mengubah industri game dalam beberapa dekade ke depan, sama seperti keberadaan internet dan perangkat mobile. “Teknologi web3 mungkin akan menjadi cara baru untuk mengembangkan industri game,” kata Arief dalam salah satu diskusi di IGDX. Alasannya, karena teknologi web3 akan memungkinkan semua orang — kreator dan konsumen game — untuk ikut serta dalam ekonomi di game.
Meskipun begitu, Arief tidak menyarankan developer game untuk serta-merta menjajaki industri web3. Dia mengatakan, memiliki keinginan untuk membuat game dengan teknologi web3 saja tidak cukup, seseorang yang ingin masuk ke industri game web3 harus memiliki kemampuan dan pendanaan yang memadai.
Arief mengaku, walau Agate menunjukkan ketertarikan dengan game web3, mereka masih menjalankan bisnis game web2 mereka seperti biasa. Sambil bercanda, dia berkata bahwa dia menyebut tim game web3-nya sebagai “suicide squad“, karena mereka mengerjakan proyek yang memiliki risiko tinggi. Walau, proyek dengan risiko tinggi menawarkan rewards yang juga besar.
Sementara itu, CEO Gambir Studio, Shafiq Husein mengatakan, hanya karena Gambir Studio telah bergabung dengan platform blockchain, Kunci Koin, hal itu bukan berarti bahwa mereka akan sepenuhnya fokus pada pasar game web3. “Kami menganggap web3 sebagai extended market dari web2,” ujarnya. Dia mengaku, dia sendiri seorang pengoleksi yang senang mengumpulkan mainan atau sepatu sneakers. Karena itu, dia mengerti daya tarik dari NFT. “Barang bisa rusak atau hancur. Tapi NFT bisa bertahan karena ia punya penyimpanannya sendiri,” katanya.
Baik Agate maupun Gambir tetap membuat game web2, meskipun keduanya juga tertarik dengan game web3. Keputusan keduanya berbeda dengan Mighty Bear Games, studio game asal Singapura yang memutuskan untuk fokus pada web3 sepenuhnya.
“We go all in,” kata Martha Schoppa, Product Manager, Mighty Bear Games. Dia mengaku, tim Mighty Bear sadar bahwa industri game web3 memang punya risiko tersendiri. Namun, mereka juga percaya, game web3 akan menjadi tren di masa depan. “Jika Anda baru bergabung ke industri ini 10 tahun kemudian, Anda akan menghadapi masalah yang sama dengan yang Anda hadapi saat ini. Jika Anda bukan seorang early adopter, Anda akan kesulitan untuk menjadi sangat sukses,” ungkapnya.
Martha bercerita, studio game yang tertarik untuk membuat game web3 harus lebih lincah. Karena, web3 adalah industri yang dapat berubah dengan cepat. “Terkadang, ketika Anda bangun, ada sesuatu yang berubah sama sekali. Dan Anda harus merombak rencana Anda, seperti strategi untuk meluncurkan game Anda,” ujarnya.
Masalah lain yang studio game mungkin hadapi adalah masalah hukum. Mengingat web3 adalah teknologi yang relatif baru, hukum tentangnya juga masih belum matang. Selain itu, belum ada resep pasti tentang cara untuk meraih sukses di industri game web3. “Tidak ada best practice tentang cara membangun komunitas atau melakukan marketing, atau menghindari penipuan,” kata Martha.
Model Bisnis Play-to-Earn (P2E)
Axie Infinity adalah salah satu contoh game web3 yang dianggap sukses. Berkat popularitas game ini, model bisnis Play-to-Earn (P2E) pun menarik perhatian banyak orang. Alhasil, game web3 sering diidentikkan dengan game P2E. Ketika ditanya tentang model bisnis P2E, Shafiq dengan gamblang mengatakan bahwa model bisnis itu tidak menarik untuknya.
“Jika kita membuat game P2E, Kunci Koin akan jadi token yang digunakan dalam game tersebut. Dan hal itu akan mempengaruhi harga dari token kami. Karena itulah, kami tidak tertarik dengan game P2E,” ungkap Shafiq. Lebih lanjut dia mengungkap, melihat banyak gamers dan non-gamers yang tertarik untuk mengoleksi NFT, Gambir mungkin akan mempertimbangkan untuk membuat game yang melibatkan NFT terlebih dulu.
Senada dengan Shafiq, Arief juga merasa tidak cocok dengan model bisnis P2E. Menurutnya, game P2E mengharuskan seseorang untuk memperlakukan game layaknya pekerjaan: sesuatu yang mereka lakukan bukan karena hal itu menyenangkan, tapi demi mendapatkan uang. Dan hal ini akan membuat game menjadi tidak menyenangkan, yang dapat merusak tingkat engagement pemain.
Martha pun memiliki pendapat yang sama dengan Shafiq dan Arief. Dia percaya, elemen paling penting dari game tetaplah gameplay. Teknologi web3 seharusnya berfungsi untuk membuat pengalaman bermain game para gamers menjadi lebih baik. Dia memberikan contoh penggunaan NFT. Menurutnya, NFT bisa menjadi cara bagi studio game untuk menyerahkan kepemilikan dari aset game pada para gamers.
Model bisnis P2E pada Axie Infinity dianggap tidak sustainable karena pemain lama hanya bisa mendapatkan uang dengan menjual axie jika selalu ada pemain baru yang ingin mencoba untuk memainkan Axie Infinity. Mighty Bear tampaknya menyadari hal ini. Karena itulah, Martha bercerita, mereka berusaha untuk menemukan metode untuk membuat game web3 yang bisa bertahan tanpa harus terus mendapatkan pemain baru.
“Kami sangat berhati-hati tentang hal itu,” ungkap Martha. “Kami fokus pada gameplay, fun first. Proses pengenalan mekanisme web3 kami lakukan secara perlahan. Kami mencoba untuk melihat bagaimana pengaruhi dari sebuah metode atau teknologi ketika ia diimplementasikan. Dan kami telah menemukan metode yang sustainable, kami akan menggunakannya.”