Setelah sibuk membangun hype selama beberapa bulan, WIR Group akhirnya resmi memperkenalkan platform metaverse-nya pada 31 Agustus lalu. Menggunakan nama Nusameta, platform metaverse ini dijadwalkan meluncur tahun depan dengan sejumlah use case yang menarik.
Untuk mengenal Nusameta lebih dekat lagi, saya pun berkesempatan berbicara dengan Joshua Budiman selaku Head of Meta Space di Nusameta. Obrolan kami mencakup banyak topik, dan di artikel ini saya akan merangkum poin-poin paling menarik seputar metaverse dalam pembicaraan kami.
Apa yang membuat Nusameta berbeda?
Menurut Joshua, kebanyakan platform metaverse yang sedang dibangun saat ini mengambil pendekatan “imaginary virtual world“, yang berarti semua yang dijumpai di metaverse sifatnya baru dan tidak langsung berkaitan dengan dunia nyata. Nusameta berbeda karena pendekatan yang diambil adalah digitalisasi dunia nyata.
“Basically Nusameta nanti akan menjadi digital twin dari Indonesia,” ucap Joshua seraya menyederhanakan penjelasannya. Buat yang kurang familier dengan istilahnya, digital twin bisa kita artikan sebagai representasi visual yang sangat akurat dari suatu aset fisik, yang diperbarui secara konstan menggunakan data-data yang ada di lapangan. Dalam konteks Nusameta, digital twin dapat dipahami sebagai representasi visual yang terinspirasi dan menyerupai dunia nyata, contohnya dari segi aset yang mirip dengan dunia nyata, hingga wilayah pembagian daerah di dunia nyata.
Ya, lewat Nusameta, WIR Group pada dasarnya ingin membuat kembaran versi digital dari negara Indonesia. Itulah mengapa prosesnya bakal memakan waktu yang cukup lama, kira-kira sampai lima tahun sebelum ekosistemnya bisa berdiri secara menyeluruh kalau kata Stephen Ng, CEO Nusameta, dalam penjelasannya di acara Nexticorn International Summit bulan Agustus lalu.
Melihat skala proyeknya, wajar kalau pengerjaan Nusameta dilangsungkan secara bertahap. Joshua menjelaskan bahwa di awal nanti yang akan hadir lebih dulu adalah area-area seperti Jakarta, Jawa Barat, Makassar, dan Bali, dan masing-masing kota akan dibuat semirip mungkin dengan aslinya, sampai ke jalanan-jalanannya.
Sebagai contoh, versi Nusameta dari Jalan Legian di Bali nantinya juga akan dipenuhi dengan hotel, agen pariwisata, dan usaha-usaha lainnya. Pengguna pun juga bisa melakukan reservasi hotel atau perjalanan lewat Nusameta. Interaksi semacam ini, dalam kamus WIR Group, dikenal dengan istilah O2O alias online-to-offline (atau sebaliknya).
Di samping pemilik usaha swasta, WIR Group tidak lupa mengajak pihak pemerintah untuk membangun use case di Nusameta. Menurut Joshua, sejauh ini sudah ada tiga pemerintah daerah yang meneken MoU dengan WIR Group — Jakarta, Jawa Barat, Makassar — dan mereka berharap ke depannya Nusameta juga dapat menghadirkan beragam layanan publik dari masing-masing daerah.
Secara garis besar, tujuan yang hendak Nusameta capai adalah mewujudkan experience di dunia nyata lewat metaverse. Namun ketimbang membedakan diri dari metaverse lain, Nusameta justru ingin yang lain juga ikut memberikan use case yang menarik. Fokus WIR Group saat ini adalah memberikan contoh use case yang baik lewat Nusameta.
Ke depannya, setelah selesai dengan Nusameta, WIR Group masih akan mengerjakan proyek metaverse lain. Spesifiknya, kalau menurut penjelasan Joshua, sudah ada 22 negara di kawasan Mediterania yang menunggu untuk dibuatkan digital twin atau metaverse-nya oleh WIR Group.
Membangun metaverse yang sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia
Dengan klien negara sebanyak itu, wajib hukumnya bagi WIR Group untuk memahami kebiasaan masyarakat di setiap negara sebelum mulai membangun. Dalam konteks Nusameta dan Indonesia, Joshua mengaku WIR Group sudah lebih dulu melakukan banyak riset dan menemukan bahwa game adalah pendekatan yang paling mudah. Hal ini berarti aspek game harus terasa kental di Nusameta.
Selain aspek game, WIR Group tidak melupakan aspek komunitas dalam membangun Nusameta. Mereka bahkan sudah berhasil menggandeng beberapa komunitas untuk masuk ke Nusameta, seperti salah satu contohnya komunitas pencinta olahraga lari.
“WIR Group mengambil pendekatan yang mindful dan thoughtful dengan kebutuhan orang Indonesia. Dari awal pun sudah kami pikirkan use case-nya, jadi Nusameta ini bukan sebatas versi digital dari Nusantara saja, tetapi yang benar-benar bisa terintegrasi dengan dunia nyata,” jelas Joshua.
Contoh terbaik pemahaman WIR Group akan kebutuhan pasar Indonesia adalah rencana mereka mengimplementasikan mesin Digital Avatar (DAV). Joshua menjelaskan bahwa perusahaannya melihat kebiasaan masyarakat Indonesia yang terbiasa mengunjungi Alfamart untuk berbagai keperluan di samping sekadar berbelanja, dan dari situlah mereka punya rencana untuk menyebar ribuan mesin DAV ini di gerai-gerai Alfamart.
Berkat keberadaan mesin DAV, harapannya adalah masyarakat tanah air bisa lebih dimudahkan dalam mengakses Nusameta. Jadi untuk menciptakan avatar di Nusameta, konsumen akan punya beberapa opsi, salah satunya adalah dengan berkunjung ke gerai Alfamart terdekat dan menggunakan mesin DAV untuk memindai wajahnya, yang kemudian akan diterjemahkan menjadi avatar di metaverse.
Joshua juga membayangkan potensi-potensi lain yang dapat dicapai dengan mesin DAV, salah satunya bagaimana produk-produk yang dijual di Alfamart nantinya juga bisa terintegrasi ke mesin DAV sekaligus terhubung ke metaverse. Jadi ketika konsumen membeli suatu produk dan memindai barcode-nya di mesin DAV, maka versi digital produk tersebut akan muncul di metaverse dan dapat digunakan oleh avatarnya. Ini juga merupakan contoh lain dari interaksi O2O yang WIR Group proyeksikan.
Secara teknis, Nusameta dikembangkan menggunakan engine Unity. Joshua menjelaskan bahwa alasan dipilihnya Unity bukan semata karena kompatibilitasnya yang sangat baik, tetapi juga karena dari sudut pandang SDM, sudah ada banyak sekali developer Indonesia yang familier dengan Unity. Sejak awal, WIR Group memang sengaja ingin membudayakan banyak orang Indonesia dalam pengerjaan Nusameta, dan itulah mengapa yang dipilih akhirnya adalah Unity.
Diversifikasi metaverse dan interoperability
Kalau Anda mengikuti perkembangan tren metaverse di tanah air, Anda pasti tahu bahwa Nusameta bukanlah satu-satunya platform metaverse lokal yang sedang dibangun. Di luar proyek besutan WIR Group itu, masih ada platform metaverse lokal seperti MetaNesia, RansVerse, dan Jagat yang juga sedang dalam tahap pengembangan. Pertanyaannya, apakah nantinya konsumen bakal diharuskan untuk memilih?
Mengenai hal ini, Joshua percaya bahwa masing-masing metaverse bakal memiliki pangsa pasarnya sendiri. “One size doesn’t fit all,” ucap Joshua, tapi ini tidak bisa jadi jaminan bahwa semua metaverse yang dikembangkan bakal berjalan sesuai rencana.
Joshua menyamakan prosesnya seperti mengembangkan aplikasi. “Semua orang yang sudah memahami teknik developing app, pasti bisa bikin aplikasi seperti Instagram atau WhatsApp. Tapi kenapa orang-orang pakainya cuma Instagram dan WhatsApp? Karena mereka sudah menjadi market leader, dan fokus WIR Group saat ini adalah menjadi salah satu top of mind,” jelas Joshua.
Bicara soal ragam metaverse yang tengah dibangun, pembicaraan kami tentu tidak luput dari topik interoperability. Soal ini, Joshua mengatakan bahwa WIR Group sangat terbuka untuk mewujudkan interoperability dengan platform metaverse lain, namun mereka bakal mempelajari dulu situasinya. Dan lagi, sebelum memikirkan interoperability antar metaverse, WIR Group akan lebih dulu memprioritaskan interoperability antar metaverse banyak negara di ekosistemnya terlebih dulu. Selagi menunggu, mereka juga akan menggodok guideline seputar interoperability secara matang.
Relevansi metaverse di tahun 2022 dan ke depan
Seperti yang kita tahu, topik metaverse baru ramai dibicarakan publik ketika Facebook mengubah nama perusahaan induknya menjadi Meta pada akhir Oktober 2021. Kondisi pandemi yang masih gawat kala itu jelas sangat mendukung, dan wacana bahwa metaverse bakal semakin memudahkan aktivitas work-from-home (WFH) pun bisa kita terima dengan mudah jika melihat situasi pada saat itu.
Namun Joshua percaya tren metaverse masih relevan sampai sekarang. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya perusahaan yang memutuskan untuk berpartisipasi. Menurutnya, per September 2022 ini, sudah ada sekitar 500 perusahaan besar yang masuk ke metaverse, dan itu merupakan salah satu pertanda positif.
Di sisi lain, teknologi internet saat ini sudah masuk tahap mature jika dilihat dari banyaknya jumlah pengguna. Menurut Joshua, ketika suatu teknologi sudah mencapai tahap mature, sebagian besar pengguna bakal mulai mencari sesuatu yang baru. WIR Group sendiri percaya bahwa sesuatu yang baru tersebut adalah Web3 (blockchain, NFT, dan metaverse).
Namun terlepas dari popularitas tren metaverse, hingga sekarang belum ada satu pakem standar yang bisa kita pakai untuk mendefinisikan metaverse. Menanggapi hal tersebut, WIR Group sendiri mencoba merumuskan definisi yang mudah untuk membantu masyarakat memahami metaverse.
Berdasarkan penjelasan Joshua, metaverse harus punya setidaknya 4 aspek berikut:
- Dunia yang seperti MMORPG, dan masing-masing pengguna diwakili oleh sebuah karakter
- Elemen O2O — online-to-offline, atau sebaliknya
- Unsur Web3 atau utilisasi blockchain
- Unsur komunitas
Terkait aspek yang terakhir ini, WIR Group pada dasarnya percaya bahwa community economy bakal menjadi the next big thing setelah creator economy. Menurut Joshua, metaverse bakal membantu mempermudah pembentukan komunitas karena interaksi kita tidak akan dibatasi oleh perbedaan-perbedaan fisik maupun stereotip-stereotip tertentu.
Metaverse dan stigma-stigma negatifnya
Seperti halnya kebanyakan inovasi teknologi lain, metaverse juga memicu perdebatan pro dan kontra. Di kubu kontra, banyak pihak yang sering mengaitkan metaverse dengan konsep kepemilikan yang digarisbawahinya.
Sederhananya, metaverse berpeluang membawa konsep “yang punya” dan “yang tidak punya” dari dunia nyata ke dunia virtual. Bagi yang sudah sering merasa tidak nyaman dengan segala perbedaan di dunia nyata, mereka mungkin akan takut melihat hal yang sama terjadi di metaverse.
Lebih lanjut, metaverse juga berpeluang untuk semakin memperkuat stigma buruk yang kerap dicapkan ke kalangan Gen Z — bahwa mereka adalah generasi yang kecanduan gadget, kecanduan internet, kecanduan media sosial, dan nantinya, kecanduan interaksi via metaverse.
Menanggapi kekhawatiran-kekhawatiran seperti ini, Joshua bukannya membantah atau menyangkal. Menurutnya, seperti semua hal yang ada di dunia ini, selalu ada dua sisi koin, dan metaverse pun juga seperti itu. Seperti halnya media sosial, metaverse hanyalah sebatas tool atau platform, sehingga hal-hal buruk pun mungkin saja terjadi di samping hal-hal baik.
Perihal ownership atau kepemilikan, Joshua berargumen bahwa metaverse memungkinkan siapapun tanpa terkecuali untuk memiliki sesuatu di dunia virtual. Di Nusameta misalnya, pengguna bisa mendaftarkan akun dan masuk secara gratis, lalu mengakses deretan creator tools untuk menciptakan berbagai macam karya tanpa harus membeli apa-apa terlebih dulu.
Ke depannya, Nusameta juga bakal menghadirkan program bernama Creator’s Lab, yang sejatinya berfungsi untuk menjadi wadah edukasi terkait pembuatan karya yang baik di metaverse. Menurut Joshua, harapannya adalah jangan seperti ketika Ghozali Everyday mendadak viral dan orang-orang langsung menyerbu OpenSea dengan beraneka ragam karya tidak jelas.
“Indikator keberhasilannya bukan seberapa kaya mereka, tetapi bagaimana mereka bisa menyalurkan aspirasi dengan lebih terkonsep dan bermanfaat bagi orang banyak,” ujar Joshua. Itulah mengapa edukasi memegang peranan yang sangat penting.
Lalu terkait kekhawatiran kecanduan interaksi via metaverse yang bisa terjadi pada Gen Z, lagi-lagi Joshua menawarkan edukasi sebagai solusi utamanya. Spesifiknya, Joshua menyinggung soal edukasi manajemen waktu, dan ini berlaku bukan hanya untuk kalangan Gen Z saja, sebab nyatanya kalangan Millennial maupun Gen X pun juga sudah bisa dibilang sangat ketergantungan dengan gadget ataupun internet.
“Kita harus selalu mengingatkan bahwa metaverse ini bukan untuk menggantikan dunia nyata, tetapi untuk menambahkan nilai,” tegas Joshua.
Kapan Nusameta tersedia untuk publik?
Berdasarkan bocoran yang saya dapat dari Joshua, versi beta Nusameta rencananya akan dirilis secara resmi pada kuartal kedua 2023, dan kemungkinan hanya akan mencakup beberapa kota di Indonesia terlebih dulu. Namun sebelumnya, WIR Group akan lebih dulu mendemonstrasikan versi pre-alpha dengan bekerja sama dengan Jakarta Fashion Week di bulan Oktober, dan memamerkan prototipe Pulau Nusatopia di acara G20 pada bulan November.