Jika Anda menggunakan media sosial, apapun platform pilihan Anda, Anda pasti pernah “bertemu” dengan orang-orang yang percaya akan sesuatu yang sudah terbukti salah. Contohnya, kelompok flat-earthers, yang percaya bahwa Bumi itu datar. Padahal, Bumi dan alam semesta adalah topik yang dibahas di SD.
Anehnya, para flat-earthers biasanya sangat kukuh dalam memegang kepercayaan mereka. Jadi, meskipun disodori gambar Bumi dari Bulan yang diambil NASA sekalipun, mereka tidak mau percaya bahwa Bumi itu bulat. Alih-alih, mereka justru menuduh bahwa NASA sebagai lembaga korup yang ingin menyebarkan konspirasi. Contoh lainnya adalah anti-vaxxers alias kelompok anti-vaksin dan orang-orang yang percaya bahwa COVID-19 disebabkan oleh sinyal 5G.
Biasanya, grup flat-earthers atau anti-vaxxers — atau kelompok lain yang memiliki pendapat yang ekstrem — bisa sangat kukuh memegang kepercayaan mereka karena mereka memang dikelilingi oleh orang-orang yang punya kepercayaan yang sama. Alhasil, mereka akan saling memvalidasi kepercayaan satu sama lain. After all, birds of the same feather flock together. Orang-orang yang punya kesamaan cenderung akan berkumpul bersama.
Apalagi di era internet seperti sekarang. Seseorang bisa dengan mudah menemukan grup atau komunitas dari hobinya melalui media sosial. Jadi, tidak sulit bagi seseorang yang percaya bahwa Bumi itu datar untuk menemukan orang-orang yang sepemikiran.
Karena itu, kali ini, saya akan mencoba untuk membahas tentang media sosial dan bagaimana algoritma yang digunakan dapat menciptakan echo chamber.
Cara Kerja Algoritma di Facebook dkk
Sebelum membahas tentang algoritma di media sosial, mari berbicara tentang sumber pemasukan perusahaan media sosial. Kebanyakan — jika tidak semua — platform media sosial bisa digunakan secara gratis, mulai dari Facebook, Twitter, Tumblr, sampai TikTok. Lalu, bagaimana Facebook — yang kini bernama Meta — bisa mendapatkan US$85,96 miliar pada 2020? Iklan.
Popularitas Facebook kini memang sudah mulai memudar. Namun, jumlah pengguna media sosial itu pada April 2022 masih mencapai 2,9 miliar orang, menurut data Statista. Jadi, tidak heran jika ada banyak pihak yang tertarik untuk memasang iklan di sana. Apalagi, karena media sosial memungkinkan pengiklan untuk menargetkan audiens iklan mereka.
Sumber pemasukan Facebook adalah iklan. Dan jumlah pengguna atau tingkat engagement pengguna merupakan salah satu tolok ukur bagi pengiklan untuk memasang iklan di Facebook atau tidak. Karena itu, penting bagi Facebook untuk terus mendapatkan pengguna baru atau mendorong tingkat interaksi pengguna. Dan di sinilah peran algoritma.
Jumlah pengguna aktif bulanan Facebook. | Sumber: Statista
Facebook, atau media sosial lainnya, biasanya menggunakan algoritma untuk menentukan konten yang akan ditampilkan pada pengguna. Algoritma media sosial akan mempelajari kebiasaan serta kesukaan para pengguna. Setelah itu, ia akan menampilkan konten sesuai dengan preferensi pengguna. Sebagai contoh, sebagai pecinta kucing, linimasa dari Facebook, Twitter, sampai Instagram saya penuh dengan foto dan video kucing. Walau prinsip dasar dari algoritma semua media sosial itu sama, cara kerja algoritma dari setiap platform berbeda.
Pada Desember 2021, Anna Stepanov, Head of Facebook App Integrity menjelaskan tentang faktor-faktor yang menentukan peringkat konten dalam linimasa pengguna. Dia menjelaskan, algoritma Facebook akan menerima “ribuan” input unik untuk memahami konten seperti apa yang dianggap penting oleh pengguna. Dan konten itulah yang akan diprioritaskan untuk tampil di linimasa.
“Tujuan kami bukanlah untuk membuat Anda menghabiskan waktu berjam-jam di Facebook, tapi untuk memberikan pengalaman yang membuat Anda ingin kembali ke platform kami,” kata Stepanov, dikutip dari Search Engine Journal.
Sementara itu, Instagram punya algoritma yang berbeda untuk menentukan konten yang tampil di linimasa pengguna. Untuk Feed dan Stories, salah satu faktor yang algoritma Instagram perhitungkan adalah seberapa populer sebuah post. Selain itu, ia juga akan mempertimbangkan popularitas dari orang yang mengunggah post tersebut. Kegiatan pengguna juga menjadi faktor lain yang menentukan peringkat sebuah post. Terakhir, faktor yang dipertimbangkan oleh algoritma Instagram adalah rekam jejak interaksi pengguna dengan kreator konten.
TikTok juga punya cara sendiri untuk memilih video yang akan dilihat oleh seorang pengguna. Hanya saja, faktor yang menjadi perhitungan algoritma TikTok agak berbeda dengan Instagram. Informasi video — termasuk caption, suara, atau tagar — merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan algoritma. Faktor lainnya adalah jenis smartphone dan settings pada ponsel itu, seperti bahasa yang digunakan dan lokasi. Tapi, TikTok dan Instagram juga punya satu faktor yang sama, yaitu interaksi pengguna.
Setiap media sosial memang punya algoritma tersendiri untuk memilah konten yang disajikan ke pengguna. Namun, pada akhirnya, algoritma dari setiap platform memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk mendorong pengguna menghabiskan waktu lebih lama menjelajah media sosial. Masalahnya, algoritma dibuat sedemikian rupa agar terus menampilkan konten sesuai selera pengguna, juga bisa menyebabkan masalah sendiri, seperti menciptakan echo chamber.
Definisi dan Bahaya dari Echo Chamber
Echo chamber adalah situasi ketika seseorang hanya menemukan opini yang sama dengan pendapatnya atau informasi yang memperkuat kepercayaannya sendiri. Fenomena echo chamber sebenarnya bisa terjadi dimana saja, baik di dunia online maupun offline. Namun, seseorang akan lebih mudah terjebak dalam echo chamber di dunia online daripada dunia nyata.
Salah satu alasannya, karena seseorang bisa bertemu dengan orang-orang yang punya pemikiran yang sama dengan lebih mudah di media sosial. Alasan lainnya, Facebook, Twitter, TikTok, dan lain-lain akan terus mencekoki para penggunanya dengan konten yang mereka sukai. Jadi, jika Anda adalah pendukung pemerintah, kemungkinan besar, kebanyakan konten yang tampil di linimasa Anda merupakan berita yang pro pemerintah.
Masalahnya, ketika seseorang terjebak di echo chamber, hal ini bisa membuatnya memiliki opini yang ekstrem. Sebagai contoh, ketika seseorang yang mendukung pemerintah terjebak dalam echo chamber, dia hanya akan menemukan berita tentang kesuksesan pemerintah dan dia berdiskusi dengan orang-orang yang juga pro pemerintah. Hal ini bisa memunculkan fanatisme buta dalam diri orang tersebut, membuatnya percaya bahwa pemerintah adalah entitas sempurna tanpa cela.
Dua ahli komunikasi, Kathleen Hall Jamieson dan Joseph Cappella membahas tentang fenomena echo chamber pada media konservatif di Amerika Serikat dalam buku berjudul The Echo Chamber. Dalam buku yang dirilis pada 2008 itu, Jamieson dan Cappella menjelaskan, pihak sayap kanan AS menciptakan echo chamber dengan mengisolasi audiens mereka. Isolasi yang dimaksud tidak dilakukan dengan memaksa audiens untuk memutus komunikasi dengan dunia luar sama sekali, tapi dengan mengubah pola pikir audiens mereka, membuat mereka berpikir bahwa mereka hanya bisa mempercayai sumber berita dan orang-orang yang juga merupakan konservatif.
Dengan kata lain, media sayap kanan di AS menciptakan narasi “kita vs. mereka”, seolah-olah dunia bisa dibagi ke dalam dua kelompok begitu saja. Jadi, walaupun pendukung sayap kanan terekspos pada argumen kelompok sayap kiri, mereka akan kukuh pada pendirian mereka karena mereka menganggap informasi atau berita dari sayap kiri itu tidak bisa dipercaya.
Di dunia politik, echo chamber bisa menciptakan polarisasi dan memunculkan dua kubu yang saling bertolak belakang. Seolah masalah tidak cukup pelik, kedua kubu itu biasanya akan memegang teguh opininya dan tidak akan mau mendengar argumen satu sama lain. Hal ini juga pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kabar baiknya, di media sosial sekalipun, sebenarnya, seseorang tetap akan bisa “bertemu” dengan orang-orang yang punya pandangan yang berbeda dengannya, menurut studi berjudul Filter Bubbles, Echo Chambers, and Online News Consumption. Hanya saja, manusia cenderung punya confirmation bias. Artinya, mereka akan menerima informasi yang mendukung pendapat atau kepercayaan mereka dengan lebih mudah. Sebaliknya, mereka cenderung sulit untuk mempercayai informasi yang menyanggah opini mereka.
Sebagai contoh, ketika dihadapkan dengan bukti bahwa Bumi itu bulat, kelompok flat-earthers biasanya akan menyangkal bukti tersebut. Tidak jarang, mereka justru menganggap media massa atau institusi internasional — seperti NASA — telah disusupi oknum atau malah dianggap sebagai lembaga korup. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang anti-vaksin. Biasanya, mereka tidak akan percaya pada informasi yang menunjukkan bagaimana vaksin bisa mencegah penyakit-penyakit tertentu. Acap kali, mereka lebih percaya pada teori konspirasi atau rumor yang justru validitasnya diragukan.
Cara Meminimalisir Efek Echo Chamber
Dalam kehidupan sehari-hari, salah satu bahaya dari echo chamber adalah karena ia dapat memecah belah masyarakat. Pasalnya, orang-orang yang sudah terperangkat di echo chamber biasanya tidak akan mau mendengar argumen yang berbeda dengan mereka, apalagi, opini yang bertentangan dengan pendapat mereka. Karena itu, tidak ada salahnya jika kita mencoba untuk mengenali echo chamber dan menghindarinya.
Mengenali echo chamber tidak udah, apalagi ketika seseorang sudah terjebak di dalamnya. Namun, situs atau komunitas yang menjadi echo chamber biasanya memiliki beberapa karakteristik tertentu. Salah satunya, komunitas hanya akan membahas sebuah topik dari satu perspektif. Karakteristik lainnya adalah argumen utama yang digunakan oleh komunitas biasanya didasarkan pada rumor atau bukti yang tidak lengkap. Terakhir, komunitas akan membantah fakta yang bertentangan dengan anggapan mereka.
Setelah mengenali ciri khas dari komunitas yang menjadi echo chamber, ada beberapa hal lain yang bisa Anda lakukan untuk meminimalisir risiko terjebak dalam echo chamber. Salah satunya, Anda bisa membiasakan diri untuk membaca berita dari beberapa sumber berita. Dengan begitu, Anda akan bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan sudut pandang yang lebih beragam. Sebagai contoh, jika Anda ingin mengetahui keadaan sosial dan politik di Tiongkok, Anda bisa mencoba mencari berita dari media massa yang memang bermarkas dari Tiongkok dan tidak hanya membaca atau menonton berita dari media asal Amerika Serikat dan Eropa.
Hal lain yang bisa Anda lakukan untuk menghindari echo chamber adalah dengan mengadakan diskusi terbuka dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan Anda. Hanya saja, selama diskusi, Anda tidak hanya harus siap dengan argumen dan bukti pendukung dari opini Anda, tapi juga memiliki pemikiran yang terbuka. Selain itu, Anda juga harus bisa membedakan antara fakta dan opini.
Untuk meminimalisir risiko terjebak dalam echo chamber, wartawa sains, David McRaney, mendorong masyarakat untuk melakukan diskonfirmasi. Jadi, Anda secara sengaja mencari informasi yang bertentangan dengan opini dan pendapat Anda. Namun, dia mengakui, melakukan hal ini adalah sesuatu yang sangat sulit, apalagi karena manusia memiliki confirmation bias.
“Ketika kita punya sebuah ide, otak kita akan secara otomatis akan mencari konfirmasi atau validasi dari ide tersebut,” kata McRaney, dikutip dari WIRED. “Dan walaupun ide kita adalah ide yang sama sekali baru, otak akan tetap ingin mempertahankan validitas ide itu sama seperti kita mempertahankan kepercayaan yang telah lama kita pegang. Mekanisme otak kita memang agak menyebalkan, tapi otak inilah yang kita punya.”
Jadi, menurut McRaney, sudah menjadi tugas kita sebagai manusia untuk melawan confirmation bias dan mempertimbangkan informasi dari berbagai sudut pandang.
Sementara itu, jika Anda khawatir linimasa media sosial Anda merupakan echo chamber, ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah dengan mengubah prioritas konten yang tampil di linimasa Anda. Beberapa platform, seperti Facebook dan Twitter, memberikan opsi pada pengguna untuk menyortir konten yang tampil di linimasa berdasarkan waktu post dibuat dan bukannya preferensi. Dengan begitu, Anda akan melihat konten secara lebih acak dari akun-akun yang aktif membuat unggahan di media sosial.
Hal lain yang bisa Anda lakukan adalah dengan memberikan “Like” atau reaksi pada semua konten. Alasannya, interaksi pengguna — baik dengan memberikan Like, komentar, atau dengan membagikan sebuah post — merupakan tolok ukur bagi algoritma untuk menentukan preferensi pengguna. Jadi, jika Anda ringan tangan dalam memberikan Like, Anda bisa mendapatkan konten yang lebih beragam di linimasa Anda.
Terakhir, hal yang bisa Anda lakukan adalah dengan menyukai berita atau informasi dari beberapa media massa. Media sosial mengubah cara orang-orang mengonsumsi informasi. Alhasil, semua media massa pun mulai menampilkan konten mereka di sana. Walau media massa seharusnya netral, pada kenyataannya, banyak media massa yang berpihak pada satu sisi. Karena itu, jika Anda ingin tetap mendapatkan berita yang berimbang, tidak ada salahnya jika Anda mengikuti lebih dari satu channel atau Page media massa di media sosial.
Penutup
Keberadaan internet dan media sosial memudahkan proses penyebaran informasi. Namun, keduanya juga memunculkan masalah baru. Salah satunya, penyebaran informasi yang tidak terkendali. Alhasil, sekarang, semakin sulit untuk membedakan berita asli dan berita hoaks. Cara kerja otak manusia — yang memiliki confirmation bias — dan algoritma media sosial — yang akan terus menampilkan konten yang disukai pengguna — justru memperparah masalah ini. Karena itu, penting bagi kita untuk memiliki pemikiran terbuka dan bersedia untuk mendengar pendapat dari orang-orang yang punya opini berbeda.
Sumber header: CalMatters