Pada awalnya, Fallout dikenal sebagai game single-player yang fokus pada cerita. Dunia yang unik dan karakter yang menarik jadi daya tarik dari franchise tersebut. Pada 2015, Bethesda Softworks mencoba strategi baru dan merilis Fallout Shelter. Game itu tersedia untuk iOS dan Android terlebih dulu sebelum dibawa ke PC dan konsol.
Salah satu hal yang membuat Fallout Shelter berbeda dari game-game Fallout sebelumnya adalah model bisnis yang digunakan. Fallout Shelter bisa dimainkan dengan gratis. Karena microtransactions jadi sumber pemasukan utama game itu. Strategi Bethesda terbukti sukses. Per Juni 2019, total pemasukan Fallout Shelter mencapai US$100 juta, menjadikannya sebagai salah game Bethesda yang paling sukses. Dan hal ini membuka mata para eksekutif Bethesda akan potensi dari microtransactions dan model game-as-a-service atau live-game.
Masalah Pada Fallout 76
Pada 2018, Fallout 76, sebuah online multiplayer RPG, diumumkan. Di E3 2018, Todd Howard, Executive Producer dan Game Director, Bethesda Softworks, berjanji bahwa game tersebut akan memberikan kebebasan lebih pada para gamers: pemain bisa menentukan apa yang akan terjadi, memutuskan siapa yang akan menjadi pahlawan dan siapa yang menjadi penjahat. Dan pada November 2018, Fallout 76 diluncurkan. Sayangnya, fans harus kecewa. Karena, Fallout 76 jauh berbeda dari visi yang digambarkan oleh Howard.
Untuk mencari tahu akar permasalahan dari Fallout 76, Kotaku menghubungi 10 orang yang pernah bekerja di Bethesda dan perusahaan induk ZeniMax Media. Sepuluh orang tersebut bersedia diwawancara dengan syarat, nama mereka tidak disebutkan. Pasalnya, saat keluar dari perusahaan, mereka telah menandatangani Non-Disparagement Agreements, mengharuskan mereka untuk tidak membeberkan masalah yang ada dalam perusahaan.
Para narasumber Kotaku mengatakan, bahkan sebelum Fallout 76 diluncurkan dan dihujani kritik pedas dari para gamers, mereka sudah sadar bahwa game itu memang punya masalah. Salah satu masalah yang ada di game itu adalah banyaknya bugs saat peluncuran. Selain itu, ketika diluncurkan, Fallout 76 juga tidak punya NPC. Padahal, franchise Fallout dikenal berkat cerita yang dituturkan melalui karakter-karakter yang tampil di dunianya.
Dua narasumber juga merasa, mereka tidak mendapatkan arahan yang jelas selama tiga tahun Fallout 76 dikembangkan. Salah satu narasumber menyebutkan, Howard seharusnya memimpin tim pengembangan Fallout 76. Tapi, dia justru menghabiskan waktunya untuk membuat Starfield, yang pengembangannya dimulai setelah Fallout 4 dirilis pada 2015.
Menurut para narasumber, jajaran eksekutif Bethesda gagal mengantisipasi tantangan yang harus mereka hadapi dalam membuat live-game. Perusahaan tampaknya berasumsi, masalah dalam membuat live-game akan bisa diatasi selama mereka memasukkan staf senior — orang-orang yang pernah ikut membuat Elder Scrolls dan game Fallout lain — ke dalam tim pengembangan Fallout 76. Asumsi itu salah.
Waktu Lembur Gila-Gilaan
Departemen Quality Assurance (QA) testers jadi salah satu departemen yang harus menghadapi konsekuensi dari kegagalan pihak eksekutif Bethesda untuk mengantisipasi masalah yang muncul dalam membuat live-game. Para testers Fallout 76 mengatakan, beberapa bulan sebelum peluncuran game tersebut, mereka bisa bekerja selama 10 jam per hari, 6 hari per minggu. Sebagian testers bahkan merasa, mereka baru bisa beristirahat setelah mereka keluar dari tim pengembangan Fallout 76.
Memang, tim QA bukan satu-satunya tim yang harus lembur. Namun, para testers ada di posisi yang lebih rentan dari programmers atau artists. Karena, di industri game, testers sering dianggap memiliki status yang lebih rendah. Tanggung jawab testers pun sering diremehkan. Selain itu, banyak konsumen yang menganggap, tugas testers hanyalah “bermain game“. Padahal, testers sering harus bekerja lembur dan mendapatkan gaji rendah. Para testers juga biasanya diperlakukan dengan kurang baik oleh manajer mereka. Semua hal inilah yang mendorong QA testers di Raven Software — salah satu studio di bawah Activision — untuk membuat serikat.
Sementara itu, para testers di ZeniMax bercerita, mereka harus sering lembur. Walaupun, jika mereka lembur bukanlah jaminan bahwa bugs dan masalah dalam game akan diselesaikan. Seorang mantan tester mengatakan, dia pernah diminta untuk bekerja di akhir pekan karena versi terbaru dari DLC Fallout 76 perlu diperbaiki. Namun, dia kemudian tahu bahwa tim development tidak memperbaiki masalah yang ada di versi game tersebut. Jadi, para testers menguji versi game yang memang masih bermasalah. Dan hal itu berarti, semua usaha para testers terbuang sia-sia begitu saja.
Selain masalah lembur, tim testers juga menghadapi masalah gaji yang rendah. QA yang berstatus sebagai kontraktor akan mendapatkan gaji per jam, sementara testers yang sudah menjadi pegawai tetap akan mendapatkan gaji yang sedikit lebih besar dari para kontraktor. Meskipun begitu, dua narasumber mengungkap, walaupun gaji testers rendah, mereka merasa bahwa mereka tidak punya opsi lain selain bekerja di ZeniMax jika mereka tidak mau pindah ke kawasan lain. Karena, ZeniMax adlaah perusahaan game terbesar di Rockville, Maryland.
Ketika para QA testers harus lembur di akhir pekan, perusahaan mencoba untuk memotivasi mereka dengan mengiming-imingi bonus sebesar US$200 per minggu. Selain itu, para testers juga bisa mendapatkan pizza gratis. Hanya saja, dua narasumber merasa, tidak peduli berapa besar bonus yang ditawarkan perusahaan, hal itu tidak akan menghilangkan rasa lelah fisik dan mental yang para testers rasakan karena mereka harus lembur terus-terusan.
Dua narasumber mengungkap, mereka mencoba untuk membawa masalah ini ke Rob Gray, Director of QA di ZeniMax. Hanya saja, dia selalu mengalihkan pembicaraan atau membantah fakta bahwa tim QA harus lembur terus-menerus.
Selain itu, selama bekerja, para testers juga terus diawasi. Dua narasumber mengungkap, durasi istirahat para testers dibatasi. Terkadang, ketika testers ke kamar mandi pun, akan ada karyawan non-manajemen yang mengikuti mereka. Pegawai itu disebut sebagai “koordinator”. Sebenarnya, para koordinator ini juga bertugas sebagai testers. Gaji mereka pun sama dengan testers biasa. Hanya saja, mereka percaya, jika mereka membantu pihak manajemen untuk mengawasi rekan testers yang lain, hal ini akan memperlancar karir mereka.
Komplain dari Netizens
Masalah para testers tidak selesai begitu saja setelah Fallout 76 diluncurkan. Sebaliknya, para testers justru harus mengahadapi masalah baru: protes dari para gamers. Tak berhenti sampai di situ, sebagian testers bahkan mendapatkan ancaman dari para pemain karena banyaknya masalah di Fallout 76. Seorang tester ingat, dalam salah satu ancaman yang dia terima, sang pengirim mengatakan bahwa dia akan datang ke kantor Bethesda untuk menembak mati semua QA testers dari Fallout 76.
Memang, bukan hal yang aneh bagi perusahaan game untuk meminta QA testers menjadi moderator di forum game. Namun, para testers Fallout 76 harus bekerja sehari penuh dalam shift demi menerima laporan dari para gamers akan bugs dan masalah yang mereka temui. Keadaan kerja yang buruk ini membuat banyak anggota departemen QA testers keluar. Dan masalah ini juga terjadi di departemen lain.
Banyak staf di luar departemen QA yang secara gamblang mengaku tidak mau untuk ditugaskan di tim Fallout 76. Meskipun begitu, Bethesda tidak segan-segan untuk “meminjam” staf dari studio lain di bawah ZeniMax. Walaupun, hal itu menimbulkan masalah dalam proses pengembangan game lain. Salah satu studio yang stafnya pernah “dipinjam” untuk mengembangkan Fallout 76 adalah Arkane Studio, khususnya, tim pengembang Redfall. Tim pengembang Starfield pun pernah dipindahkan untuk mengembangkan Fallout 76.
Kondisi kerja dari tim yang mengembbangkan Fallout 76 begitu buruk sehingga banyak staf senior memutuskan untuk keluar. Padahal, banyak dari mereka ikut turun tangan dalam pengembangan beberapa game terpopuler Bethesda. Sebagian dari mereka juga sudah bekerja di Bethesda selama 20 tahun dan sebagian yang lain sudah menjadi bagian dari Bethesda sejak pengembangan Fallout 3 dan Skyrim.
Para pegawai yang bertahan di Bethesda, banyak dari mereka yang mengalami kesehatan karena kondisi kerja yang tidak ideal. Banyak staf yang mengalami rasa sakit di punggug atau menderita tinnitus. Dan banyak para artists yang harus menggunakan wrist brace.
Rendahnya Semangat Staf
Pada Juni 2019, dalam wawancara dengan IGN, Howard mengatakan bahwa Fallout 76 dibuat sebagai dengan visi tim developers. Namun, para narasumber mengungkap, pernyataan Howard itu tidak sesuai kenyataan.
Faktanya, tim pengembang Fallout 76 memiliki semangat yang rendah. Pasalnya, banyak anggota yang tertarik untuk bekerja di studio Rockville dari Bethesda karena mereka adalah fans dari game-game single-player buatan studio itu. Namun, sekarang, mereka justru harus membuat game multiplayer, yang tidak mereka sukai.
Dua narasumber mengatakan, banyak mantan developer Fallout 4 yang kesal karena mereka harus membuat live-game. Hal ini tidak aneh, mengingat para staf senior itu telah menghabiskan bertahun-tahun untuk bekerja di studio yang dikenal sebagai kreator dari single-player RPG. Seorang narasumber mengungkap, sebagian staf yang bekerjad di kantor utama bahkan tidak senang melihat Fallout Shelter, sebuah live-game, sukses. Karena, mereka tidak ingin Fallout menjadi franchise dari game online.
Bethesda pun sebenarnya sadar, staf senior dalam tim pengembangan Fallout 76 punya pengalaman lebih banyak dalam membuat game single-player. Karena itu, Bethesda Austin dan ZeniMax Online pun ditugaskan untuk ikut membantu pembuatan Fallout 76. Bethesda Austin diberi kepercayan itu karena mereka dikenal sebagai kreator dari game multiplayer, sementara ZeniMax Online berhasil membuat Elder Scroll Online. Meskipun begitu, dua narasumber mengatakan, keahlian dari kedua studio itu dalam membuat game online tidak dimanfaatkan secara maksimal.
Selama proses pengembangan Fallout 76, saran dari para staf yang punya pengalaman dalam membuat game multiplayer sering diacuhkan. Mereka mengungkap, ketika mereka memberitahu akan adanya masalah besar dalam game, masalah itu dibiarkan begitu saja.
Seorang narasumber yang pernah bekerja di Bethesda Games Studios Rockville menjelaskan, “Kami memang punya multiplayer designers yang berpengalaman. Tapi, mereka sering tidak didengarkan. Selama proses pengembangan, Design Director kami, Emil Pagliarulo tampaknya sama sekali tidak mau dilibatkan. Dia bahkan tidak mau membaca apapun yang kami berikan padanya.”
Sumber header: Eurogamers