Istilah “Roma tidak dibangun dalam semalam” mungkin tepat disematkan pada perjalanan industri startup teknologi tanah air. Betapa tidak? Di balik besarnya industri yang saat ini telah diisi oleh jajaran startup dengan valuasi raksasa, dalam satu dekade ke belakang, rupanya banyak kisah dan momen menarik nan penting yang bisa kita simak, sekaligus memahami perjalanan satu dekade startup Indonesia yang beragam dan inovatif. Seperti apa?
Perkembangan awal era 2010-an: Pecahnya gelembung dotcom dan lahirnya ekosistem e-commerce
Pasca dotcom bubble, industri digital Indonesia mencoba bermain di ranah konsumer dan juga sosial. Beberapa nama startup yang lahir di era ini masih dapat kita temui saat ini seperti misalnya; Bhinneka (e-commerce fase awal), Kaskus (social commerce), classified ads (Tokobagus, Berniaga, OLX), hingga platform group buying seperti Disdus dan juga Groupon.
Kendati ekonomi digital masih terbilang “belia”, beberapa startup lokal di era ini diketahui mulai berani unjuk gigi di mata pemodal dan entitas teknologi global. Hal itu ditunjukkan lewat beberapa momen penting yang mungkin masih Anda ingat dengan baik. Sebut saja raihan pendanaan signifikan situs komunitas lokal terbesar yakni Kaskus oleh Global Digital Prima (GDP) Ventures. Belum lagi kisah “mesra” antara Koprol dengan Yahoo! (meski dengan usia yang pendek), dan juga gurihnya bisnis Disdus di mata East Ventures, yang juga berujung dengan pengakuisisian Disdus oleh Groupon (pemimpin pasar online shopping deals global pada masanya).
Semua kisah manis itu membawa kita memasuki era yang disebut dengan “the new era of e-commerce”, di mana di tahun-tahun ini para pemain e-commerce baru mulai berlahiran satu per satu. Mulai dari kehadiran jaringan grup Rocket Internet (Zalora dan Lazada), serta berdirinya Tokopedia dan Bukalapak yang mulai membangun reputasi dan traksi yang menjanjikan.
Situasi tersebut akhirnya mendorong beberapa startup yang mendukung ekosistem e-commerce (dan juga pendukung bisnis digital lainnya) seperti halnya layanan payment gateway yang dipelopori oleh Veritrans (sekarang Midtrans), hingga kehadiran layanan pembanding harga (e-commerce aggregator) seperti Telunjuk turut meramaikan ekosistem.
Pertengahan era 2010-an : Keragaman bisnis startup yang semakin kaya inovasi
Memasuki pertengahan era 2010-an, industri startup lokal kian ramai diisi oleh berbagai startup baru yang berfokus menghadirkan berbagai platform layanan, mulai dari layanan on-demand, fintech, OTA, hingga SaaS.
Gojek menjadi salah satu startup pionir di ranah on-demand. Pertumbuhannya yang pesat membuat Gojek meraih status “unicorn” di tahun 2016. Seiring transaksi daring bertumbuh, layanan keuangan berbasis digital juga mulai bermunculan satu per satu dengan bisnis model yang bervariasi, mulai dari e-wallet, micro–lending, sampai financial service aggregator.
Di era ini gaya hidup berplesiran melonjak tajam. Situasi tersebut berhasil menjadi momentum para pemain kunci di platform OTA seperti Traveloka (bervaluasi unicorn di 2017), dan Tiket.com untuk menancapkan kuku di kancah perekonomian digital Indonesia.
Tak ketinggalan, inovasi lain dari platform SaaS juga bermunculan di era ini. Setelah sebelumnya platform SaaS identik dengan pasar enterprise (B2B), startup-startup seperti Moka, Talenta, dan juga MTarget diketahui menyasar sektor UMKM.
Memasuki era 2020-an: Ekosistem yang semakin matang dan “kebutuhan” transformasi digital
Di penghujung era 2010-an, ekosistem startup lokal kian kokoh dan mulai berperan menjadi fasilitator bagi kepentingan transformasi digital. Seperti misalnya, mulai banyak startup yang hadir mendukung O2O (offline to online) yang diyakini memberi peluang bagi para pelaku bisnis untuk menjangkau pasar yang lebih luas, seperti yang dilakukan oleh Moka, WarungPintar dan juga Wahyoo.
Belum lagi mulai munculnya startup di kelas “new economy” yang lekat dengan pendekatan teknologi seperti Fore Coffee, Kopi Kenangan, HAUS!, dan sejenisnya. Beberapa bahkan berhasil menarik perhatian pemodal kapital dengan nilai pendanaan yang tidak sedikit.
Pergeseran ranah konvensional ke arah digital juga diwakili oleh startup-startup yang mengusung layanan EdTech. Di era ini banyak startup yang muncul mengusung solusi dunia pendidikan melalui teknologi seperti RuangGuru, Zenius, HarukaEdu, dll. Kehadiran startup yang bervariasi juga seiring mewarnai tatkala di era 2020-an, industri startup tanah air telah memiliki 1 startup bervaluasi “decacorn”, 5 “unicorn”, dan 27 startup berlabel “centaur”.
Di awal 2020, ekosistem startup Indonesia turut terkena dampak pandemi Covid-19. Tantangan yang dihadapi beragam. Tak sedikit beberapa startup menutup layanan atau pivot. Namun banyak pula startup yang berhasil beradaptasi menemukan peluang baru atau bahkan memperoleh kemajuan di tengah situasi ekonomi yang serba tidak pasti.
Keperluan langkah transformasi digital kian esensial sejak pandemi bergulir. Sebagai inovator di bidang teknologi, startup lokal mampu membawa langkah digitalisasi kepada berbagai jenis usaha di berbagai sektor ekonomi. Seperti kolaborasi yang dilakukan oleh Gojek dan Tokopedia yang menghasilkan GoTo, dengan salah satu entitas grupnya yakni, GoTo Financial yang membantu para pelaku bisnis UMKM beradaptasi dan bertumbuh melalui layanan pembayaran dan solusi bisnis digital.
Seperti apa satu dekade berikutnya?
Selain industri e-commerce, on-demand services, dan juga fintech yang bakal terus melejit, solusi teknologi untuk beberapa bidang lain memiliki potensi menarik yang patut diperhitungkan.
Education Technology (EdTech) memiliki potensi pertumbuhan yang menjanjikan, tatkala pandemi menjadi momentum akselerasi bisnis EdTech. DSResearch melaporkan, ekosistem EdTech di Indonesia sudah dilengkapi oleh puluhan lebih startup yang menawarkan berbagai layanan mulai dari platform e-learning, direktori, SaaS, sampai fintech dengan spesialisasi pendanaan pendidikan. Di samping itu, PropTech (property technology) juga memiliki kesempatan yang sama yang kini telah diisi oleh berbagai startup yang fokus melayani solusi properti mulai dari jual-beli, sampai investasi.
InsurTech (Insurance Technology) turut memiliki kans yang besar di dekade mendatang. Laporan DSInnovate sempat mengemukakan, ukuran pasar bisnis asuransi tanah air yang masif dengan nilai total premi tertulis secara kasar bernilai lebih dari US$ 20 miliar (tahun 2020) membuktikan lahan potensi yang bisa digarap para pemain InsurTech terbuka lebar. Hingga tulisan ini dibuat, sudah ada 14 startup InsurTech dengan model bisnis yang bervariasi.
Dengan demikian, selama satu dekade terakhir, perkembangan startup Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pun dengan adanya pandemi Covid-19 turut memacu laju startup untuk terus berinovasi dan memberikan solusi. Perjalanan sejauh ini menjadi pembuktian startup lokal mampu bertahan dan bahkan mampu menarik perhatian dunia global.
Artikel ini didukung oleh Midtrans.