Investree mengungkapkan pada tahun kelima operasionalnya telah bertransformasi menjadi perusahaan penyedia ekosistem fintech untuk UKM, tak lagi sekedar perusahaan p2p lending saja. Transformasi telah dilakukan sejak tahun lalu dengan membentuk satu persatu produk yang dibangun sendiri atau melalui investasi.
Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada hari ini (3/2), Co-Founder & CEO Investree Adrian A. Gunadi menjelaskan, tahun lalu terjadi banyak tantangan yang mengubah strategi akibat dari pandemi yang tidak diantisipasi sejak awal tahun. Usia perusahaan yang sudah memasuki tahun ke-5 ini membuka kesempatan untuk memberikan solusi yang lebih relevan kepada usaha mikro, tak hanya UKM dalam kemudahan mencari pendanaan.
“Kami mulai diversifikasi produk untuk meningkatkan penetrasi, mulai masuk ke segmen mikro bersama para mitra yang sudah membangun ekosistem dan kami yang memberikan produk lending-nya,” terang Adrian.
Beberapa kemitraan Investree dengan perusahaan yang menaungi usaha mikro, di antaranya adalah Gramindo dan eFishery. Dengan Gramindo, Investree terjun membiayai usaha mikro para perempuan di Yogyakarta dengan pola tanggung renteng. Sebanyak Rp3 miliar pinjaman telah tersalurkan untuk 550 peminjam. Mereka dapat mengajukan pinjaman mulai dari Rp2 juta sampai Rp20 juta.
Selain lending, sejumlah solusi fintech untuk UKM yang dibangun perusahaan adalah skoring kredit alternatif buat UKM (ai.foresee); e-procurement (Mbiz, Garuda Financial, dan Pengadaan.com); e-invoicing (billtree); payment (OY!), dan solusi SaaS yang masih dipersiapkan.
Seluruh solusi ini ada yang dibangun sendiri oleh perusahaan, berinvestasi langsung, atau membuat perusahaan patungan bersama mitra yang ahli dibidangnya. Adrian merinci hanya ai.foresee yang dibangun sendiri oleh perusahaan pada tahun lalu, berbekal pengalaman Investree selama lima tahun membaca rekam jejak merchant UKM.
Selama ini, data historis dan profil UKM masih terbatas ketersediaannya. Dengan konektivitas dan menggabungkan alternatif sumber data lainnya, menjadi padanan yang bagus untuk pemain jasa keuangan atau institusi lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam profil UKM yang mereka sasar. “Saat ini ai.foresee sudah dalam proses pendaftaran di OJK sebagai IKD.”
Layanan lainnya yang dibangun secara patungan adalah Garuda Financial bersama Ideosource Venture Capital dan billtree bersama Billte Swiss. Billtree menargetkan pemrosesan pinjaman yang lebih ringkas dengan memaksimalkan fitur e-invoicing.
Terakhir, adalah berinvestasi untuk OY!, melalui perusahaan induk Investree Singapore Pte. Ltd., untuk permudah proses repayment dan disbursement untuk merchant di Investree. Tidak disebutkan lebih lanjut mengenai transaksi ini dilakukan.
“Seluruh anak usaha ini di bawah holding karena POJK tidak memperbolehkan p2p lending memiliki anak usaha di luar kegiatan p2p lending. Jadi perusahaan patungan, termasuk Investree Philippines melalui holding, holding itulah yang melakukan berbagai strategic partnership termasuk investasi ke OY!.”
Perkembangan bisnis Investree Group
Pada tahun lalu secara kumulatif, Investree menyalurkan pinjaman sebesar Rp5,73 triliun, berkontribusi sebesar 10,5% terhadap industri p2p lending yang mencapai Rp54,52 triliun. Adapun TKB90 berada di angka 98,5%, lebih tinggi dari rata-rata industri sebesar 95,22%.
Dari total penyaluran pinjaman, 87% di antaranya datang dari produk invoice financing. Lalu, ada lebih dari 31 ribu pemberi pinjaman yang terdaftar di perusahaan, sebanyak 70% adalah generasi milenial.
Selain Indonesia, saat ini Investree sudah beroperasi di dua negara, yakni Thailand dan Filipina. Baru di Filipina, Investree dapat beroperasi penuh pasca mengantongi izin dari regulator setempat, sementara Thailand diharapkan segera menyusul karena dari pantauan yang Adrian dapatkan sudah mencapai tahap akhir.
“Mudah-mudahan bisa segera dapat [izin operasional di Thailand]. Bila digabung, ini sudah 2/3 ekonomi dari Asia Tenggara. Kami bekerja sama dengan mitra strategis lokal untuk masuk ke sana, dengan mengacu pada playbook yang sudah kami lakukan di Indonesia.”
Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Co-Founder dan CEO Investree Philippines Kok Chuan Lim. Ia menyampaikan di sana perusahaan beroperasi seperti Investree pada empat tahun lalu, sebab kondisi ekosistemnya belum sematang Indonesia.
Menyesuaikan dengan kondisi tersebut, maka perusahaan baru menyediakan produk invoice financing dan purchase order financing. Dari segi monetisasi juga mengandalkan sistem komisi dan mencari pemberi pinjaman dari kalangan institusi, belum ke ritel.
“Tantangannya adalah bagaimana kita bisa bangun kepercayaan, bisa menjadi alternatif selain perbankan dan kami bisa kompetitif. Selain itu dari membangun infrastruktur digital, seperti terhubung dengan biro kredit dan asuransi, juga masih menjadi tantangan untuk bantu kami menyalurkan pembiayaan.”
Di Filipina, lanskap industri keuangan masih dikuasai oleh pemain tradisional. Dengan rincian, jumlah pemain kredit konsumtif mencapai 19 perusahaan dan 17 perbankan yang mengincar penyaluran untuk bisnis skala besar. Sementara, baru ada dua lembaga keuangan tradisional yang menyasar kredit UMKM.
“Sama seperti di Indonesia, kami akan menyasar gap kredit sebesar $221,79 miliar kredit UMKM Filipina yang masih didominasi unbankable, tidak terlayani oleh lembaga keuangan konvensional,” tutup Lim.