Dark
Light

Startup “Food Discovery” Tertatih-tatih Sepanjang Pandemi

4 mins read
November 19, 2020
DailySocial mencatat setidaknya 4 startup "food discovery" gulung tikar tahun ini. Kami mewawancarai Chope Indonesia dan PergiKuliner tentang pengalamannya
DailySocial mencatat setidaknya 4 startup "food discovery" gulung tikar tahun ini. Kami mewawancarai Chope Indonesia dan PergiKuliner tentang pengalamannya

Startup direktori dan review tempat makan (food discovery) ikut menjadi korban efek pandemi karena berkurangnya mobilitas masyarakat di kala waktu senggang untuk makan di luar rumah. Menurut catatan DailySocial, setidaknya tahun ini saja ada empat startup segmen ini yang gulung tikar di Indonesia.

Mereka adalah Eatsy, MariMakan, Club Alacarte, dan terakhir Zomato. Zomato baru saja membubarkan tim operasionalnya di Indonesia, meski aplikasi dan situsnya masih bisa diakses. Pemain yang tersisa, seperti Chope, Qraved, Eatigo, dan Traveloka Eats, mendiversifikasi bisnisnya ke pengiriman makanan demi menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru. Hanya PergiKuliner yang masih bertahan sebagai startup direktori.

Menurut Founder dan Managing Partner AC Ventures Adrian Li, sebenarnya industri F&B di Indonesia bernilai miliaran dolar karena kelas menengah yang tumbuh pesat. Ini merupakan salah satu faktor mengapa industri ini terus menarik startup teknologi yang didukung oleh modal ventura.

Namun, bisnis direktori menjadi salah satu vertikal bisnis yang harus “gigit jari” karena mereka gagal memonetisasi dan mewujudkan visinya sebagai perusahaan berkelanjutan.

“Banyak dari model awal ini fokus sebagai direktori atau listing yang berhasil memperoleh dan mempertahankan traffic yang signifikan, tapi tidak mampu menghasilkan pendapatan iklan yang signifikan. Pada akhirnya bisnis tutup atau perlu pivot,” terang Adrian kepada DailySocial.

Lebih dalam dijelaskan, startup direktori kebanyakan mengandalkan iklan sebagai model bisnis inti. Sayangnya mereka tidak dapat mencapai skala monetisasi. Permasalahan terjadi karena pendapatan iklan yang rendah dari restoran, dominasi bisnis jaringan restoran vs standalone, dan tingginya konsentrasi bisnis restoran berbasis mal.

“Covid-19 hanya mempercepat penutupan perusahaan-perusahaan tersebut pada bisnis yang non sustainable di Indonesia.”

Oleh karena itu, sambungnya, perlu ada perubahan strategi bisnis dengan menjadikan food directory sebagai fitur tambahan, bukan sebagai bisnis yang berdiri sendiri. Bisnis seperti ini dapat menjadi mesin pencetak traffic yang efektif dan berguna untuk konsumen.

“Tapi dengan catatan harus tetap menghasilkan pendapatan langsung untuk restoran. Model ini potensial untuk ini menjual kupon, pengiriman, memesan terlebih dahulu, atau pick up. Kami telah melihat ini sebagai pendorong yang kuat untuk Gojek melalui Go-Food yang pada dasarnya listing + pengiriman.”

Chope masuk ke layanan pengiriman makanan

Formula yang disampaikan Adrian cukup mencerminkan kondisi yang terjadi sekarang ini. Banyak startup foodtech yang berbondong-bondong menyediakan jasa pengiriman makanan.

Chope jadi salah satu yang terjun ke sana, meski tidak langsung. Menurut penjelasan General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty, pandemi ini membawa seluruh industri F&B dan perusahaan ke dalam posisi yang sulit. Chope sendiri fokus sebagai platform reservasi dine-in untuk konsumen yang ingin menikmati suguhan di restoran favorit.

Lockdown merupakan hambatan terbesar bagi Chope karena hal itu membuat bisnis kami benar-benar terhenti,” katanya.

 General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope
General Manager Chope Indonesia Karthik T. Shetty / Chope

Kondisi tersebut tidak serta merta membuat Chope harus memberhentikan karyawan. Karthik memastikan tidak ada pemberhentian siapapun di tim Chope, baik di Indonesia atau di negara lain. “Kami semua mengambil pemotongan gaji dan untungnya model bisnis kami memungkinkan kami memiliki sejumlah cadangan yang tidak mengharuskan kami untuk layoff.”

Ia menceritakan, CEO perusahaan mengatakan “Don’t let a crisis go to waste!”. Jangan biarkan krisis jadi sia-sia (karena tidak melakukan apa-apa) kepada seluruh tim Chope. Oleh karena itu tim bekerja keras mengembangkan layanan baru Chope on Delivery.

Di Singapura, markas Chope, mereka bekerja sama dengan operator taksi lokal sebagai mitra pengirim makanan untuk mitra restoran Chope. Layanan ini hadir karena restoran kelas atas mengeluh karena biaya yang harus dibayarkan kepada kurir operator lokal terlalu mahal.

“Tim produk dan engineer kami bekerja non stop selama 72 jam untuk memodifikasi produk existing agar konsumen dapat memilih menu spesifik, terintegrasi dengan aplikasi taksi, dan kami mulai onboard restoran di Singapura untuk memasukkan menu mereka. Setiap pesanan akan dikirim ke taksi terdekat untuk melakukan pengiriman.”

Orang Singapura memang secara rutin memesan makanan di restoran kelas atas, sehingga cara ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia.

Untuk itu, Chope on Delivery di Indonesia dimodifikasi. Disebutkan Chope sulit menemukan mitra dalam waktu cepat dan proses integrasi yang memakan waktu. Karthik juga tidak ingin berkompetisi langsung dengan GoFood atau GrabFood.

Chope memiliki layanan e-commerce di dalam platform-nya. Akhirnya mereka menjual voucher dari berbagai paket menu, katering, maupun reguler, yang dijual mitra restoran. Pembeli dapat mengklaim voucher tersebut dengan mengontak restoran melalui WhatsApp. Pengiriman akan dilakukan melalui GoSend atau GrabExpress.

“Chope memberikan opsi untuk memilih dan memesan, tapi kami tidak melakukan pengiriman sendiri. Metode dengan WhatsApp ini banyak diapresiasi mitra restoran karena dianggap lebih mudah buat stafnya.”

Respons konsumen terhadap layanan ini, klaim Karthik, tidak buruk dari kacamata bisnis — meski belum signifikan jika dibandingkan sebelum pandemi.

“Namun yang terpenting adalah mitra restoran kami melihat bahwa kami masih berusaha melakukan berbagai hal untuk mendukung mereka dan mereka sangat menghargai hal ini. Melalui fitur ini, kami berusaha terus relevan dengan pengguna kami, sehingga mereka tidak perlu melupakan Chope sepenuhnya selama berbulan-bulan lockdown di Indonesia.”

Di luar layanan Chope on Delivery, perusahaan juga membuat diversifikasi bisnis lainnya dengan menjual tiket hotel karena banyak mitra restoran yang berlokasi di dalam hotel. Layanan “Save now, stay & dine later” memungkinkan konsumen untuk staycation di hotel dengan harga murah kapan saja dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan hotel.

Perusahaan membuat program dining voucher yang lebih fleksibel untuk membantu mitra restoran terhindar dari pembatalan dan konsumen yang tidak jadi datang (no-show). “Cara ini efektif menurunkan angka pembatalan karena konsumen dapat mengganti tanggal kedatangan. Tidak perlu membatalkan jika ada hal darurat.”

Ke depannya, Chope ingin memperkuat teknologinya untuk membantu lebih banyak restoran yang terdampak pandemi. Mitra dapat memaksimalkan pendapatannya dengan memanfaatkan sistem manajemen reservasi meja, membangun database yang dipersonalisasi dengan sistem CRM, dan mengantarkan lebih banyak pelanggan ke restoran. Tidak hanya berbentuk visibilitas pemasaran, tetapi juga melacak dan mengirim pelanggan ke restoran.

“Dalam jangka panjang, kami akan perluas layanan ke semua kota tier 1 dan 2 di Indonesia serta dengan perkembangan pesat di industri F&B di negara lainnya.”

PergiKuliner tetap bertahan sebagai direktori

Tim PergiKuliner / PergiKuliner
Tim PergiKuliner / PergiKuliner

DailySocial juga berkesempatan untuk mewawancarai CEO PergiKuliner Oswin Liandow. Ia menceritakan saat PSBB ketat diberlakukan pada Maret kemarin, traffic PergiKuliner terus berkurang. Sebulan setelah pandemi, traffic turun hingga minus 65% atau tersisa hanya sepertiga.

Buruknya kinerja ini harus diantisipasi secara cepat dengan berinovasi. “Kami memperkirakan kapan pandemi berakhir, bagaimana perubahan behavior user saat dan setelah pandemi, apa yang bisa kami lakukan, dan akhirnya ada banyak keputusan yang kami ambil,” tuturnya.

Keputusan terberat akhirnya harus diambil pada awal April dengan efisiensi karyawan. Oswin tidak menyebut berapa banyak karyawan yang terkena dampak. “Ini adalah keputusan terberat yang pernah saya ambil selama membangun PergiKuliner. Namun dengan semua pertimbangan yang ada, kami harus mengambil langkah ini.”

Berikutnya adalah memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk mitra restoran. Akhirnya PergiKuliner memutuskan membantu mereka yang membuka jasa pengiriman gratis dengan membuat laman direktori khusus dengan tagar BebasOngkir. Program ini diklaim sukses. Ada ribuan restoran ikut berpartisipasi.

Setelah PSBB mulai dilonggarkan, perusahaan membuat QR Code untuk melihat menu restoran secara online melalui situs atau aplikasi PergiKuiliner. Diklaim ada ribuan restoran yang sudah menggunakan QR Code dan jumlahnya terus bertambah setiap harinya.

Logo PergiKuliner

Saat PSBB transisi dan mulai dibukanya makan di restoran secara terbatas, traffic PergiKuliner diklaim hampir kembali normal atau 90% dari sebelum pandemi. Oswin meyakini strateginya untuk tetap berada di direktori dan review tempat makan adalah benar karena selalu dibutuhkan.

“Ke depannya kami menyiapkan beberapa proyek baru untuk meningkatkan excitement user. Salah satunya PergiKuliner Berburu Kopi yang akan launch awal Desember. Pengguna bisa mendapatkan gratis satu kopi setelah pergi ke lima coffee shop berbeda. Mereka bisa memilih dari ratusan tenant yang berpartisipasi,” tutupnya.

Previous Story

Understanding Fintech Challenges and Opportunities amid Recession

Next Story

Olive Pro Adalah Alat Bantu Dengar Sekaligus TWS dengan Active Noise Cancellation

Latest from Blog

Don't Miss

Otoklix Bags 143.5 Billion Rupiah Series A Funding

After receiving $2 million seed funding or equivalent to 28 billion
Pendanaan seri A Otoklix

Otoklix Kantongi Pendanaan Seri A Senilai 143,5 Miliar Rupiah

Setelah menerima pendanaan awal bernilai $2 juta atau setara 28