Ketika saya SD, saya sering bermain game Puzzle Bobble. Beberapa waktu lalu, saya melihat adik saya memainkan game serupa, di aplikasi Shopee. Sementara bulan lalu, saya mendapatkan rilis dari Tinder, memperkenalkan fitur barunya, “Swipe Night”, berupa cerita interaktif yang mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games.
Semua hal ini membuat saya berpikir: unsur-unsur game apalagi yang ada dalam aplikasi non-gaming? Kenapa aplikasi e-commerce dan kencan online memasukkan unsur-unsur game padahal aplikasinya tak ada sangkut pautnya dengan game? Bukankah game adalah hal tak berguna yang hanya merusak masa depan?
Dalam usaha saya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, saya menemukan istilah menarik: gamifikasi. Dan kali ini, saya akan membahas segala sesuatu tentang gamifikasi.
Apa sih Gamifikasi Itu?
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gamifikasi, saya menghubungi Eko Nugroho, CEO dari Kummara Group, perusahaan yang fokus pada game serius, pembelajaran via gaming, dan gamifikasi secara umum. Eko menjelaskan, pada dasarnya, gamifikasi adalah penggunaan unsur game di bidang selain game, mulai dari edukasi, tempat bekerja, hingga militer.
Unsur game yang digunakan dalam gamifikasi juga tidak selalu sama. Dalam kasus Shopee, mereka memasukkan game utuh ke dalam aplikasinya. Namun, gamifikasi tidak harus selalu seperti itu. Penerapan gamifikasi bisa sesederhana penggunaan sistem poin atau memasang leaderboard pada aplikasi.
Eko memberikan contoh gamifikasi dalam dunia edukasi. Misalnya, setelah lulus tingkat pendidikan tertentu, maka seseorang akan mendapatkan sertifikasi. Sistem ini serupa dengan penerapan sistem badge pada game. Ketika Anda berhasil mendapatkan pencapaian tertentu, usaha Anda akan dihargai dengan “badge”. Menurut Eko, penggunaan unsur game dalam bidang non-gaming sudah dilakukan sejak lama. Namun, istilah “gamifikasi” baru mulai muncul pada 2000-an.
Sayangnya, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, gamifikasi juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak diterapkan dengan benar. Eko kembali memberikan contoh dalam dunia edukasi. “Dunia pendidikan yang ‘menuhankan’ nilai, hal ini membuat para murid termotivasi untuk berbuat curang dan bukannya belajar lebih baik,” kata Eko.
Optimasi dan Tujuan Gamifikasi
Salah satu alasan mengapa penerapan gamifikasi tidak selalu optimal adalah karena masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang salah tentang gamifikasi. Eko mengungkap, masih banyak orang yang mengira bahwa gamifikasi itu sekadar menggunakan sistem poin atau badge. “Menggunakan sistem poin atau badge memang gamifikasi. Tapi, gamifikasi itu lebih dari itu,” ujar Eko. “Gamifikasi harus bisa didesain dengan baik.”
Alasan lain mengapa penggunaan gamifikasi terkadang tidak optimal adalah karena terkadang. orang-orang yang hendak menerapkan gamifikasi ingin mengimplementasikannya dengan cepat. Padahal, gamifikasi hanya akan bisa optimal jika ia memang diimplementasikan dengan tepat. “Misalnya, pembaca Hybrid adalah orang-orang pada umur 18-30 tahun. Mendadak, Hybrid menambahkan fitur gamifikasi, tapi UI/UX-nya old school. Ya, gamifikasi tidak akan maksimal,” kata Eko.
Lalu, bagaimana cara menentukan apakah penerapan gamifikasi sudah optimal? Menurut Eko, optimal atau tidaknya gamifikasi tergantung pada apakah tujuan dari gamifikasi itu sendiri berhasil dicapai. Tolok ukur lainnya adalah apakah gamifikasi bisa memberikan pengalaman yang lebih baik pada konsumen. “Pada aplikasi, kalau fitur gamifikasi membuat pengguna tertarik menggunakan mencoba, hal itu berarti gamifikasinya berjalan dengan baik,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, fitur gamifikasi yang optimal bisa menumbuhkan loyalitas konsumen. Contoh yang Eko berikan adalah sistem frequent flyers yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam sistem itu, semakin sering seseorang menggunakan layanan maskapai tertentu, maka semakin tinggi kelasnya dan semakin baik pula layanan yang dia dapatkan. Pada awalnya, seseorang mungkin menggunakan satu maskapai karena memang perlu. Namun, lama-kelamaan, dia akan enggan untuk menggunakan maskapai lain karena layanan yang dia dapatkan sudah sangat baik.
Sistem serupa juga diterapkan oleh perusahaan transportasi online. Tak hanya menumbuhkan kesetiaan, gamifikasi juga bisa digunakan dengan tujuan untuk memperkenalkan produk baru. Misalnya, pada awal kemunculan transportasi online, mereka sering memberikan “reward” berupa voucher atau diskon. Hal ini mendorong konsumen untuk mencoba menggunakan transportasi online. Setelah konsumen terbiasa, diskon atau voucher itu pun perlahan dihilangkan. Namun, konsumen yang sudah terlanjur merasa senang dengan layanan yang ditawarkan tetap menggunakan layanan transportasi online.
Satu hal yang harus diingat, Eko mengingatkan, fitur gamifikasi hanya akan bisa berfungsi optimal jika produk yang diperkenalkan memang berkualitas. “Mengenalkan produk baru kan susah. Jadi, supaya konsumen mau mencoba produk atau layanan baru, perusahaan menggunakan konsep gamifikasi. Namun, gamifikasi tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan harus memang punya produk yang baik,” ujar Eko. Dia juga menekankan, jangan sampai fitur gamifikasi justru membuat pelanggan merasa tertipu.
Tujuan dari gamifikasi, jelas Eko, sebenarnya tak hanya menumbuhkan loyalitas atau memperkenalkan produk baru. “Tergantung pada aplikasi,” jawab Eko ketika ditanya tentang tujuan gamifikasi pada aplikasi non-gaming. “Misalnya pada e-commerce, mereka menggunakan konsep game agar pengguna menggunakan aplikasi lebih lama. Dengan begitu, para pemain bisa diekspos ke banyak hal. Contoh, ketika kita bermain game, kita bakal dapat voucher atau diskon. Contoh lainnya, ketika kita main, kita disajikan iklan.”
Lebih lanjut, dia menjelaskan, fitur gamifikasi dalam aplikasi tak melulu blak-blakan seperti yang sudah dibahas. Dia menjadikan LinkedIn sebagai contoh. “Kalau kamu isi data diri, bar completion-nya akan terisi. Di sini, tujuan gamifikasi adalah mendorong pengguna untuk memberikan data diri mereka,” ujarnya. “Jadi, tujuan dari gamifikasi itu ya tergantung masing-masing aplikasi.”
Contoh Gamifikasi dalam Aplikasi
Tokopedia adalah salah satu aplikasi non-gaming yang menggunakan strategi gamifikasi. Menurut Bety Rosalina, Buyer Engagement Lead, Tokopedia, mereka mulai menampilkan fitur gamifikasi sejak 2017. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman belanja yang interaktif dan lebih menaik.
Salah satu fitur gamifikasi yang Tokopedia gunakan dinamai Lucky Egg. Fitur ini sangat sederhana. Anda cukup “membuka” Lucky Egg di Tokopedia dan Anda akan mendapatkan hadiah berupa kupon atau voucher. Bety mengatakan, kupon yang diberikan telah disesuaikan dengan masing-masing pelanggan. Sekarang, Tokopedia juga menampilkan fitur gamifikasi lain, yaitu TopQuest. Dalam game, ketika Anda mendapatkan quest atau misi, maka Anda harus menyelesaikannya — terkadang dengan batas waktu tertentu — untuk mendapatkan hadiah. Cara kerja TopQuest persis seperti itu. TopQuest mendorong Anda untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hadiah berubah cashback atau voucher.
“Tokopedia juga menghadirkan Tap Tap Kotak sebagai lanjutan dari fitur Lucky Egg,” ujar Bety. Sama seperti Lucky Egg, keuntungan yang didapat pelanggan dari Tap Tap Kotak adalah hadiah. Sementara bagi para mechant, manfaat Tap Tap Kotak adalah mereka bisa membangun engagement yang lebih interaktif dan lebih personal. “Hingga Agustus 2020, jumlah kotak yang dibuka mencapai lebih dari 25 juta kali. Bahkan ada lebih dari 40 ribu kotak Tap Tap Kotak yang dibuka per menit selama malam perayaan festival belanja bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB) pertama Tokopedia yang berlangsung pada 29 Juli 2020,” ujar Bety.
Bety menceritakan, fitur-fitur gamifikasi pada Tokopedia merupakan hasil kolaborasi dari tim internal Tokopedia, yang terdiri dari 9 orang, termasuk software engineers dan product manager.
Selain Tokopedia, Tinder menjadi aplikasi non-gaming lain yang memasukkan fitur gamifikasi. Tinder menamai fitur gamifikasi mereka “Swipe Night”. Bagi Anda yang tidak tahu, Swipe Night merupakan cerita interaktif. Di sini, Anda bisa memilih opsi yang berbeda yang akan memengaruhi jalan cerita. Mekanisme ini mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games, seperti The Wolf Among Us. Hanya saja, opsi yang Anda ambil di Swipe Night tidak hanya memengaruhi alur cerita, tapi juga match yang Anda dapatkan.
Di Indonesia, fitur Swipe Night baru hadir pada awal September 2020 lalu. Proses pembuatan Swipe Night sendiri cukup lama. Kegiatan syuting untuk cerita Swipe Night telah dimulai sejak Q3 2019. Memang, pandemi jadi salah satu alasan mengapa fitur baru diluncurkan September 2020. Pada awalnya, Tinder berencana untuk memperkenalkan Swipe Night pada Maret 2020.
Berbeda dengan Tokopedia yang ingin menawarkan pengalaman belanja lebih interaktif, tujuan Tinder menghadirkan fitur gamifikasi adalah untuk memudahkan penggunanya memulai percakapan.
“Kami sadar bahwa orang-orang lebih mudah mengobrol ketika mereka berbagi pengalaman yang sama, seperit ketika menghadiri konser atau saat mereka tengah hangout bersama,” kata perwakilan Tinder pada Hybrid.co.id. “Kami ingin Swipe Night jadi bahan pembuka pembicaraan.” Selain itu, Tinder juga berharap, fitur Swipe Night akan membantu para penggunanya untuk membangun chemistry yang lebih baik.
Pihak Tinder menjelaskan, ide untuk membuat fitur Swipe Night muncul ketika mereka mengamati kebiasaan berkencan para Gen Z. Fortnite menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Memang, satu tahun belakangan, Fortnite juga mulai mengundang musisi ternama untuk melakukan konser digital di game tersebut. Tinder ingin melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka juga ingin memastikan bahwa fitur gamifikasi yang mereka tanamkan sesuai dengan tema Tinder sebagai aplikasi kencan.
“Kami akhirnya memutuskan untuk membuat konten dengan sudut pandang orang pertama. Di sini, para pengguna Tinder akan jadi karakter utama dan mereka bisa melakukan berbagai aksi atau membuat pilihan yang akan menunjukkan kepribadian mereka,” jelas perwakilan Tinder. “Selain itu, penting juga untuk mencantumkan hasil pengalaman mereka di bio.”
Tinder berharap, setelah mencoba Swipe Night, para pengguna akan tertarik untuk membicarakan pengalaman mereka, sama seperti setelah mereka menonton bioskop atau seri TV.
Sebelum diluncurkan secara global, fitur Swipe Night telah tersedia di Amerika Serikat terlebih dulu. Tinder mengungkap, tanggapan yang mereka dapatkan positif. “Sesuai dengan janji awal, Swipe Night dapat meningkatkan jumlah match dan dapat membantu pengguna kami untuk memulai percakapan,” aku Tinder. “Contohnya, total match di AS naik 26% sementara total percakapan naik 12%.”
Proses Pembuatan Gamifikasi
Jika setiap aplikasi dapat menerapkan sistem gamifikasi yang berbeda-beda, serumit apa proses pembuatan gamifikasi? Eko mengungkap, semua developer sebenarnya bisa menanamkan fitur gamifikasi pada aplikasi. Hanya saja, setiap developer memiliki pemahaman akan gamifikasi yang tidak sama. Eko memberikan analogi ketika Anda meminta tukang bangunan untuk membangun rumah. Semua tukang bangunan akan bisa membangun rumah, hanya saja, mereka akan membangunnya berdasarkan apa yang mereka ketahui saja. Lain halnya jika Anda meminta bantuan arsitek.
“Jika Anda ngomong dengan arsitek, dia tidak akan langsung membuatkan rumah yang Anda minta. Dia justru akan memberikan beberapa pertanyaan, seperti apa fungsi rumah, siapa yang akan tinggal di rumah tersebut, dan karakteristik dari orang yang akan tinggal nantinya. Setelah itu, sang arsitek baru akan mendesain rumah dan memanggil tukang bangunan untuk membangun rumah tersebut,” cerita Eko.
Eko menjelaskan, jika perusahaan sekadar ingin memasang sistem poin atau badge pada aplikasinya, maka developer manapun bisa melakukan itu. Namun, jika perusahaan ingin mengoptimalkan fitur gamifikasi agar ia tepat sasaran, maka tidak ada salahnya mereka meminta bantuan “arsitek” gamifikasi.
“Sama seperti konsultan di bidang lain, biasanya kita akan mempelajari terlebih dahulu keadaan klien, seperti target mereka siapa, objektif mereka melakukan gamifikasi apa, dan bagaimana infrastruktrur aplikasi/situs yang telah mereka miliki,” ungkap Eko. Setelah itu, baru mereka akan membuat strategi yang sesuai. Sayangnya, tidak semua klien memahami hal ini. “Ada juga yang pola pikirnya, ‘pokoknya mau seperti Candy Crush, biar pelanggan main terus’,” ujarnya. “Namun, hal ini memang bukan sepenuhnya salah mereka, karena konsep tentang gamifikasi itu memang masih terbatas. Sebagian orang masih merasa, gamifikasi akan bisa mengubah segala sesuatu secara instan.”
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pembuatan fitur gamifikasi, saya mengobrol dengan Garibaldy Wibowo Mukti, Co-founder dan CEO dari Nightspade Studio, yang bertanggung jawab dalam membuat fitur gamifikasi untuk Tokopedia. Seperti apa game yang mereka buat untuk aplikasi e-commerce tersebut? Anda bisa melihat contohnya pada video di bawah.
https://www.youtube.com/watch?v=8YXhE4yORus&feature=youtu.be
“Tokopedia memang memberikan gambaran akan game yang mereka mau, maunya kira-kira seperti apa,” jawab pria yang akrab dengan panggilan Gerry ini ketika ditanya tentang proses pembuatan game untuk Tokopedia. “Tapi yang flesh out dari kita. Kita mengusulkan beberapa ide dan mereka pilih mana ide yang mau kita buat secara detail.” Secara sederhananya, proses dimulai dari briefing oleh klien — dalam hal ini Tokopedia — lalu diikuti oleh high level pitch dan terakhir, proses fleshing out. Sejak awal, Gerry mengungkap, Tokopedia juga telah menjelaskan tujuan mereka membuat gamifikasi.
“Secara umum, mereka ingin bisa menggaet lebih banyak user dan membuat mereka menggunakan aplikasi lebih lama,” jelas Gerry tentang alasan Tokopedia membuat fitur gamifikasi. “Dan gamifikasi memang bisa mendorong pelanggan stay lebih lama. Sama seperti WiFi di cafe-lah. Dengan adanya WiFi, orang-orang bakal stay lebih lama, mungkin akan pesan minuman lain.” Sambil bercanda dia menambahkan, “Bahkan ada orang-orang yang ke cafe hanya untuk mendapatkan WiFi.”
Game Mandiri vs Game di Aplikasi Non-Gaming
Kriteria dari game yang akan dimasukkan dalam aplikasi non-gaming berbeda dengan game yang developer buat untuk berdiri sendiri. Daripada fokus pada gameplay yang kompleks, pertimbangan utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming justru kesederhanaan gameplay. “Game-nya harus yang mudah dimengerti oleh user, tidak bisa game yang hardcore gitu,” kata Gerry.
Kriteria lainnya adalah waktu bermain yang singkat. “Karena tujuan utama orang buka Tokopedia bukan untuk bermain game,” ujar Gerry. “Game juga harus bisa dimainkan dengan lancar di perangkat low-end. Jangan sampai game-nya menggunakan fitur-fitur tertentu yang hanya ada di perangkat-perangkat khusus. Selain itu, aset visual dan audio harus sekecil mungkin agar waktu download jadi singkat.” Dia mengaku, biasanya, limitasi utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming adalah dari segi teknis. “Sisanya, gameplay harus user-friendly dan engaging. Dan walau waktu bermainnya sinngat, tapi punya depth atau konten yang membuat orang untuk bermain lagi dalam waktu lama.”
Dalam proses pembuatan, membuat fitur gamifikasi di aplikasi non-gaming tak melulu lebih sulit atau lebih mudah. “Sebenarnya tergantung klien,” aku Gerry. “Kalau klien memang sudah tahu tentang game development, atau setidaknya tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari game, itu lebih gampang. Untuk klien yang belum tahu apa-apa tentang game dan tiba-tiba mau buat game… Nah, klien kayak gini yang biasanya lebih susah untuk di-handle.”
Gamifikasi Tanpa Aplikasi
Anda mungkin akan berpikir, gamifikasi hanya bisa diterapkan dalam aplikasi. Namun, Eko dari Kummara berpendapat lain. Menurutnya, unsur dalam game juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi. Dalam situsnya, Eko menjelaskan, selama kita memahami fungsi dari unsur-unsur gamifikasi — seperti sistem poin, badge, atau leaderboard — maka hal-hal itu bisa diaplikasikan dalam media/format lain selain aplikasi. Lalu, sebenarnya, apa fungsi dari sistem poin, badge, dan leaderboard?
Pada dasarnya, sistem poin dalam game berfungsi sebagai cara untuk memberikan feedback langsung pada pemain, untuk menunjukkan bahwa setiap aksi akan memiliki konsekuensi. Kenapa ini penting? “Ketika kita bisa melihat dampak dari aksi atau pilihan kita dalam waktu singkat atau bahkan secara instan, kita umumnya lebih serius,” tulis Eko. Misalnya, dalam game, jika Anda berhasil melakukan sesuatu — membalap pemain lain di balapan sebagai contoh — Anda akan langsung mendapatkan poin. Sayangnya, hal ini tidak Anda temukan dalam dunia nyata. Jika Anda belajar dengan rajin, Anda tidak dapat melihat status INT Anda naik. Karena itulah digunakan sistem poin/nilai di dunia pendidikan.
Sementara itu, leaderboard berfungsi untuk mengasah sifat kompetitif manusia. Ketika Anda memiliki pembanding, Anda biasanya akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Contohnya, ketika saya SD, saya selalu didorong untuk mendapatkan peringkat pertama di kelas. Namun, hal ini merupakan pisau bermata dua. Bagi sebagian orang, memiliki pesaing akan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Tapi, bagi sebagian orang lainnya, hal ini justru bisa menjadi pematah semangat.
Dalam tulisannya, Eko juga memberikan contoh bagaimana gamifikasi bisa diterapkan untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya adalah dengan memasang stiker pada restoran, pedagang kaki lima, atau angkutan umum bahwa harga naik dua kali lipat bagi orang-orang yang tidak menggunakan masker.
Dalam game, Anda tidak melulu mendapatkan reward ketika sukses melakukan sesuatu. Ketika Anda gagal, Anda juga akan mendapatkan hukuman. Misalnya, gagal menghindari serangan musuh akan membuat HP Anda berkurang. Dengan menaikkan harga untuk orang-orang yang tidak menggunakan masker, maka mereka akan langsung dapat merasakan dampak dari keputusan mereka.
Sebaliknya, masyarakat juga bisa didorong untuk lebih patuh pada protokol kesehatan dengan pemberian hadiah atau reward. Contoh yang Eko berikan adalah pemberian voucher bagi orang-orang yang mau melakukan rapid test mandiri.
Naratif serta random check juga bisa digunakan untuk mendorong masyarakat untuk melakukan karantina mandiri. Pemerintah Kabupaten Sragen pernah melakukan ini pada April 2020 lalu. Mereka menyebarkan naratif bahwa orang-orang yang tidak melakukan karantina mandiri akan diberi hukuman berupa isolasi di rumah yang dianggap angker. Jika pemerintah melakukan random check secara rutin, hal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa mereka akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi untuk disiplin.
Penutup
Beberapa tahun lalu, ketika saya masih menjadi jurnalis teknologi, perusahaan vendor smartphone berlomba-lomba untuk menyediakan fitur dua kamera belakang, bahkan pada smartphone kelas entry-level sekalipun. Dan memang, smartphone harga Rp1 jutaan pun bisa punya dua kamera belakang. Hanya saja, performanya tentu tidak sebaik smartphone flagship dengan harga belasan juta.
Saya rasa, gamifikasi juga seperti itu. Perusahaan bisa saja sekadar “menempelkan” fitur-fitur gamifikasi, seperti sistem poin atau leaderboard, pada aplikasinya. Namun, apakah fitur itu hanya menjadi gimmick atau memang punya fungsi tersendiri, hal itu tergantung pada seberapa serius menggarap gamifikasi pada aplikasi atau perusahaan mereka.