Diluncurkan di Amerika Serikat pada bulan April lalu, Quibi merupakan layanan streaming baru besutan eks bos Disney sekaligus pendiri DreamWorks, Jeffrey Katzenberg. Namun latar belakang pendirinya bukan satu-satunya alasan di balik hype-nya yang cukup besar. Quibi juga menawarkan premis yang unik: semua kontennya orisinal, berdurasi singkat, dan eksklusif untuk platform mobile.
Aspek eksklusivitas ini sempat memicu kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Quibi tidak mampu menggaet banyak konsumen. Kehadiran suatu layanan di banyak platform otomatis membuka peluang untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Kalau hanya tersedia di mobile, Quibi tentu bakal kesulitan memikat perhatian konsumen yang lebih suka menonton di TV.
Kekhawatiran tersebut nampaknya cukup akurat. Berdasarkan laporan dari Sensor Tower, Quibi hanya mampu meyakinkan sekitar 8% dari total konsumennya untuk lanjut berlangganan setelah masa free trial tiga bulannya usai. Jadi dari sekitar 910.000 konsumen yang mendaftarkan akun Quibi selama beberapa hari pasca peluncurannya, cuma sekitar 72.000 yang sekarang lanjut menjadi pelanggan dengan membayar biaya bulanan.
Kalau cuma dilihat persentasenya saja, 8% sebenarnya cukup lumayan. Sebagai perbandingan, Sensor Tower mencatat tingkat konversi Disney+ sebesar 11%. 11 persen dari berapa, itu yang juga harus kita perhatikan, sebab dalam tiga hari pertama peluncurannya di Amerika Serikat dan Kanada, Disney+ berhasil menggaet sebanyak 9,5 juta konsumen. 11 persennya saja sudah mengalahkan jumlah keseluruhan konsumen yang mendaftar di Quibi.
Quibi sejauh ini belum pernah mengumumkan jumlah pelanggan berbayarnya seberapa banyak, namun mereka sempat bilang aplikasinya sudah diunduh lebih dari 5,6 juta kali sejak bulan April. Tentu saja angka ini tidak bisa dijadikan patokan, mengingat kita tidak tahu berapa banyak dari mereka yang sempat mengunduh Quibi yang masih terus menggunakannya sampai sekarang.
Dalam wawancaranya bersama New York Times Mei lalu, Jeffrey Katzenberg sempat berdalih bahwa pandemi COVID-19 merupakan alasan utama mengapa pencapaian awal Quibi tidak sesuai dengan ekspektasinya. Andai Quibi meluncur dengan aplikasi untuk smart TV maupun web player sekaligus (seperti yang sudah menjadi standar buat layanan streaming saat ini), saya kira bosnya tidak akan sekecewa itu.
TikTok saja dengan jutaan konten user-generated-nya bisa diakses lewat browser laptop, masa Quibi tidak? Memang benar format video pendek lebih cocok dikonsumsi lewat smartphone, tapi tentu ada kalanya juga pelanggan ingin menontonnya di laptop atau TV sambil bersantai, apalagi di saat semua orang lebih banyak berdiam di rumah seperti sekarang.
Sumber: The Verge.