Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Sebagai seorang pendiri solo, adalah perjuangan menguras darah, peluh dan air mata bagi Andi Taufan Garuda Putra dalam membangun Amartha. Berbagai kisah mewarnai mulai dari satu per satu Co-founder pergi serta dilema antara pendidikan dan perusahaan. Semua itu membawanya pada sebuah peer-to-peer lending yang telah sukses menyalurkan Rp1,25 triliun pinjaman kepada lebih dari 200 juta pengusaha mikro di daerah-daerah terpencil.
Ia memulai perjalanan ini dengan mimpi untuk mewujudkan inklusi finansial di seluruh Indonesia. Memang tidak mudah, mengingat bisnis pinjaman yang penuh celah dan potensi penipuan. Namun dengan dasar ketekunan, ia berhasil mendaki tebing tinggi dimana bisnis mikro bisa berkontribusi lebih pada ekonomi Indonesia saat ini.
Adapun, belum lama ini ia dipercaya menjadi salah satu anggota staf ahli kepresidenan pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua.
Berikut kisah lebih lengkap mengenai perjalanan Andi Taufan Garuda Putra dalam sesi tanya jawab dengan tim DailySocial.
Sebagai permulaan, dengan latar belakang akademis dalam bidang bisnis. Bagaimana bisa Anda berfikiran untuk memulai Amartha? Apa yang menjadi dasar untuk membangun sesuatu yang memiliki dampak sosial?
Pada awalnya, saya mengampu pendidikan tinggi di bidang bisnis tanpa aspirasi untuk menjadi seorang pengusaha. Orangtua sendiri meniti karir sebagai profesional, saya pun berencana untuk mengikuti jejak mereka. Begitu pula dengan gelar master, semata-mata untuk mendukung karir profesional yang mendukung kesejahteraan. Ketika sudah sukses, bisa bersedekah kepada mereka yang membutuhkan. Definisi sukses saya amatlah sederhana, menginjak umur 50 tahun tanpa khawatir akan masa depan suram.
Setelah menyelesaikan strata satu, saya sempat bekerja di IBM selama dua tahun sebagai konsultan bisnis. Pekerjaan ini melibatkan perusahaan-perusahaan minyak untuk mengimplementasi sistem IT di daerah terpencil. Ketika mengelilingi sudut-sudut pedesaan, saya menemukan gap yang cukup lebar antara daerah pinggiran dan perkotaan, seperti di Jakarta. Hal inilah yang mendorong saya untuk mengambil tindakan, bagaimana saya bisa berkontribusi dalam hal ini. Pada masa itu, saya memutuskan untuk membuat sesuatu yang memiliki target. Daripada sekedar membantu konglomerat semakin kaya, lebih baik membuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk bisnis-bisnis kecil agar lebih bertumbuh.
Saat itu masih di awal tahun 2000, belum ada yang berbicara mengenai fintech atau platform aplikasi. Setelah menggali ide, akhirnya saya menetapkan hati pada microfinance. Sektor ini memiliki target yang jelas, ketika menyuntik dana pertama, cashflow akan langsung terlihat, demikian juga nilai keuntungannya. Hal ini juga menimbulkan multiplayer effect dalam keluarga, selain membangun bisnis, anak-anak mereka pun bisa bertumbuh seiring mendapat pendidikan layak.
Pada awalnya, Amartha hanya berbentuk sebuah koperasi. Bisa dijelaskan detail perjalanan membangun bisnis ini menjadi sebuah platform peer-to-peer lending?
Pada suatu hari, saya mengunjungi daerah di kabupaten Bogor bernama Ciseeng. Saat berkeliling desa, saya bertemu banyak orang dan berbincang mengenai masalah-masalah yang kerap muncul di daerah tersebut. Kebanyakan yang tersisa adalah ibu-ibu, suami mereka sedang bekerja di tempat lain, ada juga yang di kota. Sebagaimana kepala keluarga yang memiliki penghasilan pas-pas an, para istri pun harus ikut bekerja paruh waktu demi kesejahteraan keluarga.
Didasari dengan fenomena ini, saya rasa mereka akan sangat membutuhkan bantuan. Saya mulai menawarkan pinjaman kecil-kecilan, mulai dari 500 ribu untuk 100 orang pada tahun pertama. Berbicara tentang produktifitas, mereka menggunakan uang pinjaman tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti membeli mesin jahit dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka cukup bertanggung jawab dan mengembalikan pinjaman tepat waktu. Kami pun bertumbuh dengan menyediakan pinjaman bagi seribu orang di tahun selanjutnya.
Setelah lima tahun melayani lebih dari 7000 orang di pedesaan, kami menemukan tantangan tersendiri pada bisnis ini. Pada akhirnya, pinjaman mikro bukan hanya sekedar uang, namun menciptakan harapan. Mereka mulai membuat rencana untuk bisnis dan keluarga, lalu ingin pinjaman yang lebih banyak. Dengan kredit macet serta isu lainnya, kami pun nyaris kehabisan uang sementara pertanyaan mengenai “Amartha mau bankrut ya?” menyerang dari berbagai sisi. Ini sangat sulit, bahkan untuk saya.
Lalu saya menemukan bahwa microfinance saja tidak cukup dalam era internet ini. Kami pun kembali dengan sebuah inovasi untuk menggalang dana dari masyarakat, bisa dibilang sebagai peer-to-peer lending marketplace. Dengan partner serta oinjaman berkualitas, saya melakukan pitching dengan investor tahap awal kami [BEENEXT dan MidPlaza]. Mereka nampaknya menyukai ide ini dan melalui berbagai macam rintangan, Amartha akhirnya resmi beroperasi sebagia platform online di tahun 2016.
Momentumnya ada, kemudian beberapa platform p2p ikut meramaikan pasar Indonesia. Industri fintech mulai masuk masa kejayaannya. Dalam hal ini, kamu turut mendorong OJK untuk membentuk regulasi mengenai industri p2p yang masih seumur jagung ini. Amartha pun masuk menjadi salah satu punggawa awal dalam industri p2p ini yang mendapatkan izin resmi dari OJK di awal tahun 2019.
Berbicara mengenai masa-masa krusial, bagaimana Anda menyikapi situasi ini dan bisa bangkit kembali?
Saya rasa sekitar tahun 2014-2015. Masyarakat mulai krisis kepercayaan pada Amartha, saya sendiri juga ragu bisa melanjutkan bisnis ini. Saya pun berfikir untuk menciptakan inovasi baru, lalu datanglah kabar baik dari Harvard. Di tahun yang sama, para investor mulai berdatangan ketika masa-masa sulit menghampiri Amartha.
Hal ini menjadi dilema, ketika harus memilih antara pendidikan atau perusahaan. Lalu saya berinisiatif untuk berbicara dengan investor dan mereka memperkenankan saya untuk melanjutkan studi dengan syarat platform ini harus segera rilis. Terjadilah di tahun 2016, ketika itu saya bekerja secara remote di US dengan bantuan Aria serta tim developer. Adalah sebuah anugrah memiliki tim yang selalu mendukung serta lingkungan yang positif.
Menjadi pendiri solo menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Di tahun 2009, saya pernah memiliki partner, hinga satu per satu pergi menyusul keadaan saat itu. Saya pun mencoba lagi di tahun 2014 dengan beberapa partner baru sampai akhirnya dua orang gugur dan satu lainnya memiliki prioritas lain. Saya menyadari bahwa selalu ada Co-founder di setiap tahapan bisnis Amartha, ini menjadi poin penting. Sementara itu, para C-level yang ada sekarang menjadi sangat penting dalam menopang bisnis ini ke jenjang yang lebih tinggi.
Apa yang menjadi target Amartha di jenjang yang lebih lanjut?
Hal itu adalah ketika kami bisa melampaui batas pinjaman peer-to-peer. Kami sangat baik dalam memberikan pinjaman mikro untuk perempuan di daerah pedesaan. Tetap setia pada misi kami untuk memberikan kesejahteraan yang setara bagi orang-orang pada piramida terbawah. Jika harus menentukan definisi kesejahteraan, hal itu adalah mengurangi biaya hidup mereka, menyediakan produk-produk yang terjangkau, sehingga mereka dapat menyisihkan uang untuk ditabung, dan mulai berinvestasi. Bagaimana Amartha dapat berkembang melampaui pinjaman p2p? Ini tidak hanya tentang dukungan modal awal tetapi juga demi menyediakan produk lain yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa perusahaan bisa tetap setia pada komitmen saat ini?
Kuncinya adalah memahami ragam masalah yang terjadi. Sebagai bisnis pinjaman, pasti akan ada permasalahan mengenai pembayaran melewati tanggal jatuh tempo, celah dalam peraturan, serta potensi penipuan. Jika kita tidak mencoba memahami, kita tidak akan pernah menjadi lebih baik. Apa yang saya pelajari sampai saat ini karyawan kami mencapai 2.500, adalah bagaimana membangun tim dengan misi. Semangat mereka harus diselaraskan dengan misi keseluruhan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada setiap karyawan. Setelah itu terpenuhi, mereka dapat mulai mengeksplorasi dan bergerak pada satu tujuan. Hal ini cukup menantang tetapi layak diperjuangkan.
Sebagai salah satu pelopor platform peer-to-peer lending di Indonesia, siapa/apa yang menjadi role model bagi Amartha?
Saya mengacu pada pasar AS dan Eropa. Mereka sudah terlebih dahulu memiliki unicorn LendingClub di AS, dan pasar Eropa dengan Funding Circle dan Prosper. Belum pernah ada yang seperti ini di Asia. Karena itu, dengan basis pelanggan yang berbeda, saya mulai bekerja dengan apa yang kita punya. Dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berada di piramida kelas bawah, Amartha menciptakan model bisnis yang menargetkan pasar massal dan peminjam berkualitas tinggi.
Dalam lanskap p2p lending ini, apakah pernah ada isu dengan perbankan atau departemen lain terkait inklusi finansial?
Sejak awal, kita memiliki tanggung jawab yang jelas untuk masing-masing divisi. Semua yang dilakukan perusahaan pun tak luput dari infrastruktur perbankan. Di sisi lain, untuk perbankan bisa masuk ke segmen ini, akan sangat menguras tenaga. Amartha punya kapasitas untuk memberi pelayanan dan sebaliknya. Semua ini kembali lagi pada kepercayaan dan kami pun akan lebih menjunjung tinggi kolaborasi dibandingkan kompetisi.
Sejak tren ini mulai berkembang di tahun 2016 dan semakin banyak pemain bermunculan di tahun 2017. Pada tahun 2018, masalah ilegal muncul, meskipun bukan kami, tetap hal ini berpengaruh. OJK disebut akan mengatasi semua masalah di tahun ini dan asosiasi pun punya tanggung jawab sendiri. Saya melihat kedepannya akan penuh dengan kolaborasi, tidak hanya pendanaan dengan perbankan tetapi sesuatu yang lebih solid dan intens. Lalu, akan ada perusahaan-perusahaan baru menawarkan produk yang lebih canggih untuk menjalankan inklusi keuangan. Bagaimanapun, saya selalu melihat semua pendiri baru dengan sudut pandang positif, karena itulah yang kami butuhkan, orang-orang yang lebih agresif dan positif.
Selama lebih dari 10 tahun Anda bekerja keras menguras tenaga, peluh dan air mata dalam membangun perusahaan ini. Apakah pernah berniat untuk membuat sesuatu yang baru?
Masih terlalu jauh untuk saya memikirkan hal itu. Amartha masih dalam masa pertumbuhan, kami pun memiliki skala bisnis yang berbeda dengan Google atau perusahaan elit lainnya. Terlebih dengan tanggung jawab baru sebagai staf ahli kepresidenan. Saat ini load saya sudah sangat banyak.
Para penggiat startup seringkali disebut buta politik, namun Anda bisa mengubah itu. Apa yang membuat anda tertarik untuk menerima ‘amanah’ ini?
Kita memiliki presiden yang tulus dan saya dengan senang hati bisa turut mendukungnya. Kami berdiskusi tentang usaha-usaha kecil di Indonesia. Dia ingin melakukan perubahan, agar mesin birokrasi dapat bergerak lebih cepat menuju tren masa depan. Ini adalah sebuah mandat bagi Indonesia untuk menempati posisi 4 negara teratas di dunia dengan ekonomi terkuat. Hal ini harus dibangun dengan energi positif dan orang-orang optimis. Saya, bersama dengan staf lainnya, percaya bahwa ini adalah langkah kecil untuk menciptakan kepercayaan diri demi membawa Indonesia ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan kerangka berfikir startup yang pace nya cepat, apakah ada clash of culture yang terjadi dalam interaksi dengan birokrasi?
Adalah tugas kami sebagai staf ahli kepresidenan untuk memberikan pemikiran dan terobosan inovatif saat presiden menjalankan kereta birokrasi dengan teknologi dan pendekatan digital. Pertama-tama lihat tujuannya, saat ini saya belum menghadapi bentrokan apa pun. Beruntung, saya masih diberi kesempatan untuk bekerja dua kaki di Amartha, oleh karena itu, saya bisa menyeimbangkan startup dengan hal-hal birokrasi untuk saat ini. Mari kita lihat apa yang akan terjadi enam bulan dari sekarang.
Menilik masa-masa membangun startup hingga pencapaian saat ini, apa yang bisa Anda katakan untuk para pengusaha tahap awal yang mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu Anda alami?
Jika saya bisa mengatakan sesuatu, cobalah untuk tetap teguh pada tujuan jangka panjang Anda, karena ketekunan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Bagi mereka yang baru memulai, ini bukan tentang individu, atau uang, atau teknologi. Justru ketika Anda menemukan satu hal sebagai fokus dan tidak memberikan celah untuk distraksi. Hambatan adalah bagian dari perjalanan. Kegagalan sesungguhnya adalah ketika kita berhenti.
–
Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian