Dikenal sebagai unicorn di vertikal online travel, Traveloka kini sudah melanglang buana di tujuh negara. Fokus layanannya tidak hanya akomodasi dan transportasi. Bisnis perusahaan kini sudah merambah ke gaya hidup dan finansial.
Sektor yang disebut terakhir bisa dikatakan sebagai payung utama melancarkan seluruh aktivitas transaksi di Traveloka. Traveloka kini menyediakan lebih dari 40 metode pembayaran, baik online maupun offline, termasuk produk jasa keuangan paylater dan produk asuransi.
Kebutuhan melancong, menurut berbagai riset, sudah menjadi bagian hidup kalangan muda. Faktor pendukungnya sangat beragam, termasuk membaiknya infrastruktur jalan dan jaringan internet, dorongan pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan potensi ekonomi dari pariwisata, dan armada transportasi dan akomodasi yang beragam.
Dengan kata lain, memadukan pariwisata dengan ticket size yang besar dan kebutuhan finansial menjadi kunci yang tepat untuk menyediakan layanan “beli dulu bayar kemudian” ini.
Sejak diresmikan pada Juni 2018 hingga sekarang Traveloka tidak mengungkap pencapaian Traveloka PayLater, baik dari angka penyaluran, nasabah, dan kredit macetnya.
Meskipun demikian, kita bisa mendapat gambaran dari PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas) selaku mitra perdana yang mereka gandeng. Danamas sendiri berada di bawah naungan Grup Sinar Mas dan menjadi startup p2p lending pertama yang mengantongi izin penuh dari OJK sejak 2017.
Dalam wawancara sebelumnya bersama DailySocial, Presiden Direktur Danamas Dani Lihardja mengungkapkan pada tahun pertama, total penyaluran Danamas menembus angka Rp1,4 triliun secara kumulatif. Kontribusi terbesarnya datang dari Traveloka sebesar Rp1 triliun dan sisanya adalah penyaluran komersil ke pedagang pulsa.
Namun, saat ini kontribusi PayLater semakin tergerus di Danamas. Bahkan ia menyebut sudah semakin minim, meski tidak disebutkan angka persisnya. Kondisi ini terjadi karena banyak faktor. Pertama, target pengguna Traveloka PayLater kebanyakan adalah sektor pekerja non formal, tidak sejalan dengan visi misi yang diusung perusahaan yang ingin menyasar segmen informal dan produktif. Alhasil, Danamas tidak bisa perluas nasabah untuk kebutuhan pinjaman yang lebih bersifat produktif.
“Pemakai Traveloka PayLater adalah nasabah yang sudah educated dan di sini tidak jalan unsur informalnya karena kebanyakan mereka adalah white collar. Jadinya ini beda dengan visi misi kita yang mau menaikkan yang unserved jadi served,” ujarnya.
Kedua, mitra sumber dana untuk Traveloka PayLater terus bertambah. Selain Danamas, sekarang ada Caturnusa, BRI, dan BNI. Kendati demikian, Dani tidak akan menyetop kesepakatan kerja samanya dengan Traveloka. “Dari awal memang kita tidak eksklusif, kita bersedia karena ekosistemnya sama dengan kita. Peminjam tidak terima uang, kalau ekosistemnya beda, ya kita tidak mau.”
Proposisi menarik
Sebagai suatu brand, Traveloka PayLater punya eksistensi yang cukup kuat. Pun diversifikasi produk dan fungsi penggunaan dana yang luas, menarik banyak pihak untuk berbondong-bondong buat kerja sama.
Secara fungsi, limit pinjaman Traveloka PayLater kini bisa digunakan untuk membayar seluruh transaksi di dalam aplikasi, juga di gerai offline berkat realisasi kerja sama dengan BRI dalam bentuk kartu fisik. Seluruh kontrol transaksi lewat kartu akan terekam di aplikasi, pun saat membayar tagihan sudah disediakan fiturnya.
Sebelumnya, pada Oktober 2019, sempat ada wacana bahwa BRI menjajaki potensi untuk berinvestasi ke Traveloka. Hingga berita itu diturunkan, belum ada keputusan yang diumumkan ke publik.
Setelah BRI, bank BUMN lainnya berturut-turut kepincut buat kerja sama dengan Traveloka, khususnya menyasar Traveloka PayLater. Ada BNI sebagai sumber dana baru dan Bank Mandiri untuk co-brand kartu kredit tanpa dibubuhi embel-embel brand PayLater.
Fasilitas yang ditawarkan buat pengguna adalah kesempatan mengumpulkan lebih banyak poin loyalitas dari transaksi di Traveloka, diskon harian, dan penawaran lainnya dari merchant Bank Mandiri. Ini adalah co-brand pertama Traveloka dengan bank untuk merilis kartu kredit.
Traveloka PayLater berpeluang menjadi unicorn
Presiden Traveloka Group Henry Hendrawan, dalam wawancara dengan Reuters pada akhir 2019, menegaskan, “Layanan keuangan secara keseluruhan dimulai dari hampir nol awal tahun lalu dan kami berharap bahwa itu akan menjadi bisnis $1 miliar dengan mudah pada tahun depan.”
DailySocial mencoba mengelaborasi lebih jauh mengenai pernyataan Hendrawan, namun perwakilan Traveloka menolak menjawabnya.
Pernyataan Hendrawan mengindikasikan optimisme yang tinggi di bisnis fintech-nya, bahkan ada kabar berhembus perusahaan menggalang pendanaan khusus untuk lini ini saja. Bukan tidak mungkin, dengan proposisinya yang unik bisa membuat bisnis fintech Traveloka (baca: Caturnusa) ini menyandang status unicorn, menyusul induknya.
Lihat bagaimana Ovo kini sudah menjadi unicorn ke-5, bahkan tidak menutup kemungkinan Traveloka bisa menyusulnya.
Mengutip dari Fintech Report 2019, Traveloka menempati posisi keempat sebagai pemain paylater yang paling banyak digunakan responden. Posisi teratas dan secara berurutan ditempati oleh Ovo, Gojek, Shopee. Bila melihat secara awareness, Traveloka menempati posisi ketiga, posisi teratas ditempati oleh Ovo dan Gojek.
Menurut penelusuran DailySocial, di laman syarat dan ketentuan, dijelaskan peminjam dari Traveloka PayLater adalah PT Caturnusa Sejahtera Finance dan Danamas.
Caturnusa adalah rebrand dari perusahaan pembiayaan yang sebelumnya bernama PT Malacca Trust Finance. Mereka dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo Finance Tbk sebelum dijual ke PT Hermes Global Ventures PTE, LTD pada September 2018.
Batavia menjual sahamnya sebanyak 25 ribu lembar dijual ke Hermes Global dengan nominal Rp1 juta per lembar saham. Nilai transaksinya mencapai Rp27,75 miliar. Pihak Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indoneesia (APPI) Suwandi Wiratno mengonfirmasi bahwa Hermes Global adalah sister company dari Traveloka.
“Traveloka sudah buka multifinance, namanya Caturnusa, dulu dia beli dari Malacca Trust. Secara tertulisnya PT Hermes Global Ventures, PTE LTD., sister company Traveloka,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis.com, (28/1/2019).
Dengan nama barunya, Caturnusa beroperasi di lokasi area yang sama dengan kantor pusat Traveloka.
Menjadi perusahaan pembiayaan
Caturnusa, dengan dasar bisnisnya sebagai perusahaan pembiayaan, memudahkan gerak Traveloka dalam mencari sumber dana karena harus berasal dari institusi. Bila menggunakan izin sebagai perusahaan lending, ada keterbatasan dalam mencari sumber pinjaman, yakni berasal dari peminjam individu.
Tidak ada informasi yang bisa didapat dari mana saja sumber dana yang dikumpulkan oleh Caturnusa. Itu tidak menyalahi aturan karena tidak ada kewajiban untuk mempublikasikannya, kecuali ia adalah perusahaan terbuka.
Ranah bisnis Caturnusa sebagai pemberi pinjaman untuk produk Traveloka juga tidak menyalahi aturan. Dalam POJK 35 Tahun 2018, OJK menjelaskan perusahaan pembiayaan diberi keleluasaan untuk menambah variasi produk pembiayaan yakni multiguna.
Multiguna adalah jenis pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.
Di dalam pembiayaan ini, OJK mewajibkan bahwa wajib dilakukan dengan cara sewa pembiayaan, pembelian dengan pembayaran secara angsuran, fasilitas dana, dan/atau pembiayaan lain setelah terlebih dahulu disetujui OJK.
Selain multiguna, pada umumnya perusahaan pembiayaan juga punya ranah produk lainnya yakni modal kerja, investasi, dan kegiatan pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK.
Sumber dana yang bisa dimanfaatkan perusahaan pembiayaan, tidak hanya dari bank saja. Ada opsi lain yang bisa dimanfaatkan, seperti channeling, joint financing, mengeluarkan surat hutang dari MTN (medium term notes), obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO.
Karena Traveloka PayLater sudah punya model bisnis, Caturnusa tidak perlu repot mencari model bisnis yang biasa perusahaan pembiayaan konvensional lakukan. Semuanya proses bisnis dilakukan secara online. Lain ceritanya, bila ada perubahan strategi bisnis untuk diversifikasi produk.
Bermain di ranah online seharusnya bukan ladang baru buat perusahaan pembiayaan. Akulaku bisa menjadi contoh terdekat dalam menggambarkan potensi perusahaan pembiayaan yang membawa pendekatan digital di dalam proses bisnisnya.
Perusahaan ini mengantongi tiga lisensi, yaitu p2p lending (Asetku), e-commerce (Akulaku Silvrr dan Akugrosir), dan pembiayaan (Akulaku Finance). Bahkan, Akulaku juga telah menjadi salah satu pemegang saham di Bank Yudha Bhakti.
Di sini terlihat, Akulaku melakukan diversifikasi akses pendanaannya untuk disalurkan kembali melalui rangkaian produk pinjamannya. Tidak hanya pinjaman berbasis konsumer, Akulaku mengungkapkan kini menerima pinjaman untuk cicilan mobil dan modal kerja yang lebih bersifat produktif.
Secara industri, OJK melihat pemain petahana sudah mulai mengimplementasikan secara perlahan. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan melihat dari 57 perusahaan yang terdaftar, mulai menandakan progres positif yang mulai mengarah ke digital. Mengingat, transformasi digital butuh biaya dan standar minimum.
“Bertahap [perkembangannya]. Kalau modal besar ya tidak masalah, kalau yang pas-pasan akan bertahap karena ini perlu biaya dan [memenuhi] standar minimum,” terang Bambang kepada DailySocial.
Menurutnya, antara fintech lending dan pembiayaan punya perbedaan segmen konsumen, meskipun ada beberapa produk yang saling beririsan. Memiliki perusahaan pembiayaan bukan hal mudah karena ada banyak persyaratan yang harus dipatuhi, termasuk harus mampu menjaga gearing ratio, yakni rasio antara jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri. Perusahaan juga harus punya modal besar dengan ekuitas minimal Rp100 miliar.