Fujifilm X100f sejauh ini masih menjadi kamera idaman yang membuat banyak para fotografer penasaran, termasuk saya. Tak diragukan lagi, kamera ini mampu menciptakan foto menawan dengan user experience yang unik.
Meski begitu Fujifilm X100f bukanlah untuk semua orang, ini bukan kamera mainstream yang menawarkan fungsi hybrid foto dan video. Sebaliknya, Fujifilm X100f merupakan kamera compact premium, tidak bisa gonta-ganti lensa, dan ditujukan untuk fotografer genre tertentu.
User experience unik pada Fujifilm X100 series juga terdapat pada Fujifilm X-Pro series. Fungsinya lebih luas sebagai kamera interchangeable-lens, bahkan X-Pro3 lebih totalitas. Saya sudah menggunakan kamera ini sekitar tiga minggu dan explore street photography, berikut cerita review Fujifilm X-Pro3 selengkapnya.
Hybrid Viewfinder dan Dual Screen
Bila dibandingkan dengan X100F dan pendahulunya X-Pro2, X-Pro3 ini lebih totalitas. Sebab selain mewarisi hybrid viewfinder tipe optical dan electronic, perubahan besar yang terjadi pada X-Pro3 ialah penggunaan dual screen. Di mana panel LCD utamanya menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya. Sementara, layar yang di depan menggunakan teknologi E Ink berwarna berukuran 1,28 inci.
Ada dua mode informasi yang tampil di sepotong layar ini, pertama setelah melepas pasang baterai kamera, maka yang tampil ialah info lokasi SD card di slot satu atau dua, estimasi jumlah foto yang bisa diambil dari sisa kapasitas SD card, dan level baterai. Lalu, setelah digunakan memotret, layar sekunder akan menampilkan informasi white balance, film simulation yang dipilih, dan ISO.
Bentuk jendela bidiknya bulat dan ukurannya cukup besar, dengan panel OLED beresolusi 3,69 juta dot yang nyaman dan jelas saat digunakan bahkan bagi saya yang menggunakan kaca mata. Di samping kiri terdapat roda diopter adjustment, jadi kita bisa melepas kaca mata dan menggeser fokus lensa viewfinder agar sesuai dengan kondisi spesifik mata kita. Untuk beralih dari viewfinder optical ke electronic atau sebaliknya, ada tuas khusus yang berada di samping kanan mount lensa.
Unit review Fujifilm X-Pro3 saya berpasangan dengan lensa Fujinon XF 35mm f/2 R WR yang mana 53.5mm equivalent di full frame (35mm). Saat memotret menggunakan viewfinder optical, area pemotretannya tidak begitu lebar. Hasilnya akan lebih sempit lagi bila menggunakan lensa 50mm (75mm equivalent di sensor 35mm) dan sebaiknya beralih ke jendela bidik electronic.
Layar sentuh 3 inci beresolusi 1,62 juta dot bisa digunakan setelah kita membaliknya setengah 90 derajat atau sepenuhnya ke bawah 180 derajat. Ini adalah perubahan besar yang sangat berani, saya yakin kebanyakan fotografer saat ini sangat bergantung pada layar untuk framing atau mencari komposisi saat memotret.
Fujifilm tampaknya ingin mendorong para pengguna X-Pro3 menggunakan jendela bidik. Terus terang, awalnya saya agak frustrasi. Sebab, kita membutuhkan layar ini untuk preview hasil foto dan video, serta menjelajahi dan menyesuaikan pengaturan kamera lebih lanjut.
Di sisi lain, saya juga mendapatkan pengalaman menyenangkan saat memotret menggunakan jendela bidik dan seolah muncul kebanggaan tersendiri. Walaupun saya mengaku tidak sepenuhnya bisa lepas dari penggunaan layar untuk framing.
Perlu dicatat juga, memotret menggunakan jendela bidik ini bisa dilakukan dengan memegang kamera pada posisi normal pada ambang batas mata atau ‘eye-level position’. Untuk low angle bisa jongkok dan tiarap atau cara yang lebih praktis menggunakan layarnya, sedangkan untuk high angle hanya bisa mengandalkan ‘feeling‘.
Desain dan Sistem Kontrol
Fujifilm X-Pro3 mengusung desain bergaya rangefinder retro seperti halnya kamera analog jaman dulu, tampil artistik dan unik. Dimensi body-nya agak bongsor dan mungkin terlalu mencolok untuk street photography.
Build quality-nya sangat baik, pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium. Kamera ini juga tersedia dalam varian dengan lapisan khusus Duratect yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap goresan.
Ukuran grip-nya minimalis, ada di depan dan belakang. Kita masih memungkinkan memotret pakai jendela bidik, baik dalam posisi vertikal atau portrait dengan nyaman menggunakan satu tangan. Dengan catatan, sebaiknya menyempatkan tali kamera di leher. Sebab, bobot kamera ini tidak ringan dan takut selip saat tangan berkeringat.
Sekarang saya akan bahas sistem kontrol kamera ini. Sebelumnya saya sudah me-review Fujifilm X-T30, jadi harusnya sudah cukup akrab dengan sistem kontrolnya. Setelah saya jemput kamera ini di kantor Fujifilm Indonesia, hal pertama yang dilakukan adalah mempelajari kontrol manual segitiga eksposur dan saya tidak menemukan cara untuk mengatur ISO secara manual.
Saya sampai tanya-tanya untuk mengetahui bahwa roda kontrol putar shutter speed berfungsi ganda. Ada ring yang bisa ditarik ke atas dan putar untuk mengatur nilai ISO yang pada saat itu berada di mode A atau otomatis.
Satu lagi yang agak menggelikan, bagaimana cara merekam video menggunakan kamera ini? Ya, X-Pro3 tidak memiliki roda kontrol mode pengambilan gambar dan juga tanpa tombol rana video. Setelah mengubek-ubek, ternyata mode perekam videonya tersembunyi di tombol drive.
Setelah dua hal tadi terpecahkan, saya masih harus berjuang beradaptasi memotret menggunakan viewfinder dengan kontrol manual segitiga eksposur. Saya ingin menekan nilai ISO sekecil mungkin untuk mendapatkan kualitas bidikan terbaik yang berujung pada terlalu sibuk sendiri.
Akhirnya saya ambil jalan tengah, untuk foto yang melibatkan orang-orang saya cenderung menggunakan ISO otomatis dengan sedikit penyesuaian pada shutter speed dan aperture sesuai kondisi cahaya. Sementara, untuk foto arsitektur atau landscape menggunakan layar dan kontrol manual penuh.
Mengenai kelengkapan atributnya, di bagian atas terdapat hot shoe, roda kontrol putar shutter speed dan juga ISO, roda kontrol putar exposure compensation, tombol Fn, dan tombol rana bersama tuas on/off.
Lanjut, di sisi kanan ada dua slot SD card yang mendukung UHS-II. Lalu, di sisi kiri terdapat port USB 3.1 Gen 1 Type-C untuk mengisi daya dan port mikrofon 2.5mm. Baterai di sisi bawah, menggunakan tipe NP-W126S 8.7Wh yang menurut CIPA mampu melepaskan 370 jepretan menggunakan viewfinder electronic dan melonjak 440 jepretan bila menggunakan viewfinder optical.
Bagian depan kamera ada mount lensa dan tombol untuk melepas lensa, tuas untuk beralih ke mode single autofocus, continue autofocus, dan manual fokus. Serta, tombol Fn2 bersama tuas untuk beralih jenis viewfinder.
Sementara, bagian depan selain viewfinder dan layar terdapat focus stick atau joystick untuk menentukan titik fokus terutama saat memotret menggunakan viewfinder dan bisa juga digunakan untuk navigasi. Kemudian ada tombol drive/delete, tombol AE-L/AF-L, roda putar yang secara default untuk mengatur shutter speed, menu/ok, play, disp, Fn3, dan tombol Q atau quick menu. Default-nya quick menu menampilkan 16 shortcut dan Anda bisa mengubahnya menjadi 12, 8 atau 4 di pengaturan.
Kemampuan Foto
Fujifilm X-Pro3 mengusung sensor gambar generasi keempat, BSI X-Trans CMOS 4 APS-C dengan resolusi 26MP dan prosesor X-Processor 4 yang sama seperti yang ada di body flagship Fujifilm X-T3. Hasil fotonya dapat disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw uncompressed atau lossless compressed dalam aspek rasio 3:2, 16:9, atau 1:1.
Kamera ini mampu memotret beruntun 11 fps dan sistem phase detection autofocus-nya dapat bekerja di level cahaya rendah -6 EV. Performa fitur face/eye detection-nya konsisten untuk membantu menangkap portrait yang sempurna dan yang baru ada fitur AF range limiter, di mana kita menentukan sendiri jarak autofocus-nya misalnya 2 atau 5 meter.
Saya pernah berbincang seru dengan seorang tour guide, salah satu alasannya menggunakan kamera Fujifilm ialah karena resep film simulation-nya. Di mana hasil foto JPEG-nya memiliki warna yang sangat bagus sehingga memungkinkan untuk langsung mengirimnya ke klien dan hanya perlu sedikit sentuhan editing.
Saya setuju, mode film simulation ini mampu menyajikan warna yang khas, unik, dan mampu mengeluarkan ekspresi lebih kuat dibandingkan dengan picture style standar pada kamera lain. Meski kembali lagi pada selera, karena mungkin bagi sebagian orang sedikit berlebihan.
Fujifilm menambahkan efek film simulation baru bernama Classic Neg. dengan warna yang kontras untuk menambah kedalaman foto. Totalnya kini ada sebelas mode film simulation, dari Provia (standard), Velvia (vivid), Astia (soft), Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Eterna buat yang suka foto ala cinematic, Acros dan Monochrome dengan opsi STD, Ye, R, dan G, serta Sepia untuk dengan nuansa jadul.
Meski saya sangat menikmati warna yang disuguhkan oleh mode film simulation tersebut, semua aktivitas memotret juga saya simpan dalam format Raw. Dengan bit depth 14 bit dan pilih tanpa kompresi kita bisa menangkap warna dan gradasi terang gelap yang lebih kaya, bisa bermain-main dengan Lightroom dan meningkatkan lagi kualitas foto kita.
Selain penambahan efek baru di mode film simulation, Fujifilm juga menyempatkan mode pengambilan foto baru yakni mode HDR. Fitur ini sudah hadir di kamera smartphone, tapi merupakan hal baru untuk kamera mirrorless.
Cara kerjanya kamera akan mengambil gambar secara beruntun sebanyak tiga kali, lalu kemudian menyelaraskan dan menggabungkan menjadi satu file JPEG dengan rentang dinamis tinggi. Misalnya akan bermanfaat pada saat memotret sunset atau sunrise, di mana kamera akan mengangkat bayangan dan memulihkan sorotan terang langsung dari kamera.
Perekam Video
Kamera ini jelas tidak dirancang untuk videografi. Jadi meski kita mendapatkan kualitas foto yang identik seperti X-T3, namun X-Pro3 tidak dibekali fitur-fitur video sebaik X-T3.
Sebagai pembanding, X-T3 mampu merekam video 4K UHD dan DCI 60fps dengan bit rate 400Mbps. Sementara, X-Pro3 hanya bisa merekam 4K UHD dan DCI pada 30fps dengan bit rate 200Mbps. X-Pro3 kehilangan kemampuan output video 10-bit 4:2:2 melalui HDMI, karena memang tak punya port HDMI.
Selain itu, mode perekam videonya terpisah dengan mode pengambilan gambar dan tersembunyi di menu drive. Fitur video lainnya X-Pro3 mampu merekam 1080p hingga 120fps, didukung film simulation, F-Log, face/eye detection, zebra, dan movie silent control.
Sebagai tambahan, kamera ini memiliki port mikrofon 2.5mm yang artinya Anda bakal perlu adaptor ke 3.5mm, dual slot SD card, dan hot shoe untuk menempatkan mikrofon atau flash. Namun perlu diingat, kita tidak bisa menggunakan layar utama tanpa membalik ke bawah dan layar akan mentok tidak lebih dari 90 derajat saat dipasang pada tripod atau gimbal.
Verdict
Mekanisme layar baru pada Fujifilm X-Pro3 tampak seperti perubahan kecil, namun secara dramatis akan mengubah ‘kebiasaan’ cara memotret para penggunanya. Misalnya kebiasaan mengambil gambar lewat layar dan preview langsung setelah foto diambil.
Sebaliknya kita didorong untuk memotret melalui jendela bidik dan memperlakukan X-Pro3 layaknya kamera analog, yang mana hanya menawarkan jendela bidik untuk memotret dan tidak memungkinkan kita untuk preview hasilnya sampai film diproses.
Di sisi lain, kita bisa fokus memotret tanpa gangguan dan memeriksa hasil bidikannya di rumah lewat laptop. Setidaknya dengan sistem kontrol fisiknya, kita sudah bisa mengatur segitiga eksposur dan memilih film simulation. Meskipun untuk menyasuaikan white balance dan pengaturan lainnya tetap harus membuka layar.
Dari aspek fitur dan spesifikasinya, Fujifilm X-Pro3 adalah kamera modern rasa analog yang bisa dikatakan memiliki kemampuan setara dengan flagship kamera mainstream Fujifilm X-T3. Keterbatasan mekanisme layarnya membuatnya menjadi kamera yang terfokus untuk fotografi dan menawarkan pengalaman nostalgia seperti menggunakan kamera film lengkap dengan kontrol manualnya.
Sparks
- Hybrid viewfinder, optical dan elecronic
- Desain retro yang cantik
- Film simulation mengurangi tahapan editing
- Cocok sebagai kamera street photography
- Perekaman video 4K 30fps
- Pengisian daya lewat port USB Type-C
Slacks
- Bukan kamera hybrid, kurang cocok untuk videografi
- Mekanisme layar baru akan mentok saat dipasang tripod atau gimbal