Setelah tiga musim Mobile Legends: Bang Bang Professional League Indonesia (MPL ID), Moonton, sebagai pengembang dan penggagas liga profesional MLBB, mengambil langkah berisiko di musim keempat. Agustus 2019, lewat sebuah gelaran konferensi pers, mereka memutuskan untuk mengubah sistem liga terbuka (yang selama ini jadi norma umum di esports Indonesia) menjadi sistem liga tertutup alias sistem liga franchise.
Hal ini sempat menjadi polemik sebelumnya. Salah satu organisasi esports di Indonesia ketika itu buka ucapan soal penjualan slot peserta MPL sebesar Rp15 miliar. Hal ini sebetulnya tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Karena biaya yang dibayarkan dalam sistem liga franchise sebenarnya adalah bentuk investasi, yang akan memberikan keuntungan kembali kepada organisasi esports yang telah tergabung di dalamnya.
Kini, MPL ID Season 4 telah selesai. EVOS Esports berhasil mendapatkan titel juara yang diidam-idamkannya setelah tiga musim sebelumnya cuma bisa murung karena dua kali dapat gelar runner-up dan satu kali jadi tim yang pulang di hari pertama babak Playoff.
Lalu setelah satu musim berjalan, apa kabar liga franchise yang telah dijalankan? Apakah memberikan hasil yang sepadan? Apa rencana selanjutnya dari franchise model MPL Indonesia?
Saat gelaran MPL ID Season 4 berlangsung, saya sempat berbincang dengan Dylan Chia, MPL Indonesia Marketing Director. Mengawali sesi wawancara, awak media mempertanyakan, kenapa sistem liga terbuka yang selama ini jadi norma umum di Indonesia harus diubah menjadi sistem liga tertutup?
Dylan menjawab, salah satu alasannya karena ia merasa MPL ID sudah mencapai puncaknya saat itu. MPL ID memang sudah mendapat perhatian dari berbagai pihak dan menjadi salah satu helatan esports terbesar di Indonesia. Namun demikian, ia merasa ekosistem cenderung jadi tidak teratur dengan sistem terbuka.
“Kami merasa para tim tidak punya struktur liga yang jelas. Para tim sebetulnya bisa berkembang lebih besar lagi, namun ruang gerak mereka terbatas karena struktur liga terbuka yang diusung ketika itu. Jadi kami tersadar, bahwa kami ingin mendorong liga kami (MPL) lebih jauh lagi, dan yang harus kami lakukan adalah membuat struktur esports MLBB jadi lebih rapih.” Dylan menjelaskan alasan perubahan bentuk menjadi franchise model di MPL ID Season 4.
“Kami sadar bahwa Indonesia memang cukup baru dengan hal ini. Franchise model sebenarnya membuat liga menjadi milik bersama. Ketika ingin membuat MPL jadi lebih besar lagi, kami tahu bahwa kami tidak bisa melakukannya sendirian. Maka dari itu kami berpikir untuk mengundang organisasi esports di Indonesia untuk turut berinvestasi, dan berkembang bersama lewat gelaran MPL Indonesia.” Dylan penjelasannya soal alasan penerapan franchise model untuk MPL Indonesia.
Apa Kabar Franchise Model Setelah Satu Musim?
Lalu dengan penerapan franchise model untuk MPL ID Season 4, bagaimana dampaknya kepada liga? Kembali berbicara dengan Dylan, dia sendiri mengaku puas dengan perkembangan MPL sejauh ini.
“Perkembangan MPL sejauh ini adalah berkat usaha bersama. Perkembangannya sangat terasa, terutama dari viewership musim keempat yang meningkat. Jumlah penonton tertinggi MPL ID Season 4 di saat bersamaan mencapai 250 ribu penonton (peak concurrent views), hanya untuk streaming di FB Gaming saja. Social media awareness juga sangat luar biasa, tentunya juga dengan bantuan tim peserta MPL, yang turut membuat konten bersama kita.” Dylan menceritakan soal peningkatan MPL dari season 3 ke season 4.
Lalu bagaimana dari sudut pandang tim esports? Apakah dengan perubahan ini memberikan hasil yang baik? Redaksi kami bicara dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports. Chandra ternyata turut merasakan apa yang dijelaskan oleh Dylan.
Dari sudut pandang organisasi esports, ia merasa bahwa MPL ID Season 4 mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan musim lalu. “Sejauh ini kami (ONIC Esports) merasa MPL ID Season 4 mengalami perkembangan yang sangat positif, jika dibanding dengan season 3. Mulai dari viewership, attendance penonton saat offline event, production value jadi lebih baik, ditambah euphoria penonton yang meningkat jauh.” Chandra menjelaskan.
Seperti tadi disebut di awal, franchise model menggunakan sistem investasi. Tim yang ingin bergabung harus menginvestasikan sejumlah uang, yang dijanjikan akan kembali setelah beberapa waktu. Moonton mematok harga Rp15 miliar bagi tim yang ingin investasi untuk MPL ID Season 4. Sebagai ganti, tim yang berani investasi dipastikan berada di dalam liga dan mendapat keuntungan lainnya.
Harga yang dipatok tidak bisa dibilang kecil, apalagi untuk ekosistem esports Indonesia yang masih seumur jagung. “Jujur, saat awal Moonton membuka pembicaraan soal ini, ONIC Esports banyak melakukan pertimbangan terlebih dahulu.” Chandra bercerita.
Lalu, apakah investasi tersebut menguntungkan bagi organisasi esports? “Kalau dilihat secara umum, saya melihat kehadiran sistem ini memaksa semua bagian dari ekosistem jadi berkembang. Menjalankan tim esports bukan lagi cuma hobi, yang mana sekadar punya tim, ikut kompetisi, lalu menang. Tim atau organisasi jadi harus berjalan dengan lebih proper, harus punya manajemen bagus yang profesional. Ini juga memicu ONIC untuk lebih serius, membuat esports betulan jadi bisnis. Ini positifnya dari franchise model kalau menurut aku. Apalagi karena kita semua sudah invest, kita jadi punya kepentingan bersama untuk memajukan ekosistem ini.”
Setelah melihat jawaban-jawaban tersebut, mungkin Anda jadi penasaran dengan keuntungan finansial yang didapat tim peserta MPL ID Season 4. Namun karena franchise model MPL ID baru berjalan selama satu musim, hitung-hitungannya memang belum masuk akal. Kenapa?
Coba kita hitung kasar saja. Misalnya, Moonton harus mengembalikan uang investasi ataupun menyuguhkan value yang sama dalam satu musim. Anggap memang benar nilai investasinya Rp15 miliar tiap tim. Ditambah lagi, dalam satu musim, MPL dibagi jadi 2 babak: Regular Season dan Playoffs. Mengingat nilai babak Playoffs lebih besar, anggap saja kita bagi nilai investasinya jadi 50-50 — meski babak Playoffs hanya menyuguhkan 8 pertandingan.
Mari kita hitung nilai yang harus diberikan untuk Regular Season terlebih dulu. Babak Regular Season terbagi jadi 8 pekan dan setiap pekan ada 3 Match Day. Berarti, dalam satu Regular Season ada total 24 Match Day. Dengan nilai babak Regular Season sebesar Rp7,5 miliar (karena sudah dibagi 2 dengan Playoffs), hal ini artinya setiap Match Day harus menyuguhkan nilai sebesar Rp312,5 juta.
Sedangkan untuk Playoffs, seperti yang kemarin sudah dilaksanakan (26-27 Oktober 2019), ada total 8 pertandingan. Dengan demikian, nilai tiap pertandingan di babak Playoffs adalah Rp937,5 juta (Rp7,5 miliar dibagi 8).
Jangan lupa, hitungan tadi baru menghitung nilai investasi dari 1 tim. Berhubung ada 8 tim peserta MPL ID S4 berarti nilai investasinya berubah jadi Rp120 miliar. Dengan hitungan yang sama dengan sebelumnya namun dengan nilai investasi yang baru, nilai setiap Match Day untuk Regular Season jadi Rp2,5 miliar. Sedangkan untuk Playoffs, nilai yang harus diberikan setiap pertandingan adalah Rp7,5 miliar.
Jadi, nilai tadi memang tidak masuk akal. Namun demikian, dari kabar yang kami dengar, nilai investasi dari MPL tadi akan dikembalikan dalam waktu 36 bulan atau 3 tahun. Melihat ke belakang, MPL menggelar 2 Season setiap tahunnya. Hal ini berarti akan ada 6 Season dalam kurun waktu 3 tahun.
Bagaimana hitung-hitungan nilai investasinya jika Rp120 miliar tadi disesuaikan untuk durasi investasi 36 bulan? Rumus yang kami gunakan masih sama dengan yang pertama. Dengan demikian, nilai yang harus diberikan setiap Match Day selama Regular Season adalah Rp416,7 juta. Sedangkan nilai setiap pertandingan di Playoffs menjadi Rp1,25 miliar.
Hitung-hitungan nilai investasi tadi memang membuatnya jadi terdengar mengerikan. Apalagi, MPL juga belum punya sumber pendapatan yang jelas, selain dari sponsor. Contoh paling sederhana, Regular Season dan Grand Final memang ramai penonton, tapi belum ada biaya tiket untuk menonton MPL. Tidak ada biaya tiket, berarti tidak ada pemasukan bagi MPL ID Season 4, setidaknya dari sisi ticketing.
Jika MPL ingin mengembalikan uang investasi tersebut lewat pemasukan dari ticketing saja, hitungan kasarnya akan seperti ini. Anggaplah XO Hall, Tanjung Duren, venue MPL ID Season 4 selama Regular Season, bisa menampung 500 orang penonton. Dari hitungan terakhir (yang menggunakan durasi pengembalian nilai investasi selama 36 bulan), nilai setiap Match Day adalah Rp416,7 juta. Ini berarti tiket yang harus dibayarkan setiap penonton yang ingin menonton langsung adalah sekitar Rp833 ribu.
Pertanyaannya, siapa yang mau membayar Rp833 ribu hanya untuk menonton esports di Indonesia? Reza Ramadhan, Head of Marketing MET Indonesia, pernah mencoba menggunakan sistem tiket masuk untuk MPL ID Season 3. Dengan harga cuma Rp20 sampai 35 ribu saja sudah cukup membuat antusiasme penonton jadi menurun. Padahal penonton sudah bisa mendapatkan berbagai merchandise dan in-game item yang sepadan dengan harga tiket tersebut. Lalu jika kita bandingkan dengan industri olahraga, harga tiket NBA, yang bisa dibilang sebagai liga bola basket paling prestisius di dunia, ada di kisaran US$100 (sekitar Rp1,4 juta) untuk sekali pertandingan. Rasanya jadi semakin tidak mungkin untuk mematok tadi di Indonesia.
Jadi, mungkin memang perhitungan keuntungannya tak bisa dinilai dari sisi finansial namun dengan dampak positif seperti yang disebut oleh Chandra Wijaya dari ONIC Esports tadi. Namun apakah nilainya memang worth dengan harga yang harus dibayarkan? Jawabannya kembali ke masing-masing pemilik tim.
Apa Langkah Moonton Untuk MPL ID Season 5?
Jika MPL ID Season 4 berhasil memberi sentimen positif, berarti MPL ID Season 5 harus menjadi lebih besar lagi dan lebih baik lagi bukan? Dylan beberapa kali mengatakan, walau MPL ID Season 4 terlihat lebih besar, lebih baik, lebih positif daripada musim sebelumnya, namun ini baru permulaan saja.
Untuk season 5, Dylan menceritakan setidaknya dua rencana. Pertama adalah rencana membuat developmental league atau semacam liga seri B kalau dalam sepakbola Italia. Kedua adalah rencana menyelenggarakan MPL di kota lain. “Untuk membuat MPL ID Season 5 jadi lebih besar lagi, kami sedang mempersiapkan inisiatif developmental league. Kami ingin memberikan kesempatan kepada tim MLBB kelas dua untuk berkembang sehingga bisa menciptakan talenta-talenta baru. Harapannya, talenta-talenta baru ini nanti bisa membantu MPL menjadi semakin besar dan semakin kompetitif. Untuk saat ini rencana akan hal tersebut masih dalam proses diskusi.” Dylan mengatakan.
Polemik yang muncul pertama dan masih bertahan sekarang, salah satunya adalah soal ekosistem amatir ataupun semi-pro. Jika tim harus menggelontorkan dana Rp15 miliar untuk masuk MPL, bagaimana nasib tim kecil atau pemain semi-pro, yang sebelumnya bisa berharap masuk MPL karena menggunakan sistem terbuka? Kehadiran developmental league mungkin bisa menjadi jawaban atas keinginan komunitas tersebut. Semoga saja hal ini akan memberi jalur yang jelas bagi pemain amatir dan semi-pro untuk bermain di MPL, sehingga menjadi pemain profesional tak lagi hanya sekadar mimpi.
Ketika MPL ID Season 4 berjalan, Moonton sebenarnya menjalankan program Mobile Legends Intercity Championship (MIC). Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberi panggung bagi pemain semi-pro. MIC diselenggarakan di delapan kota yaitu Palembang, Medan, Yogyakarta, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Kendati program ini berjalan dengan cukup meriah, namun publikasinya di dunia maya cenderung kurang terasa. Seharusnya, publikasi MIC juga jadi salah satu fokus Moonton karena bisa digunakan untuk menekan sentimen negatif soal ekosistem grass root.
Ditambah lagi, kompetisi ini juga tidak punya jenjang lanjutan. Pemenang kompetisi memang mendapat gelar The Legend of Nusantara, tapi perjuangan mereka hanya akan terhenti di MIC saja; tetap tak punya kesempatan untuk menuju ke MPL. Tapi bisa saja, program tersebut adalah persiapan Moonton untuk menyelenggarakan developmental league yang akan hadir di season 5 nanti.
Selain itu, Dylan juga sedikit membocorkan rencana mengadakan MPL di kota lain. “Kami (Moonton) juga sedang mempertimbangkan, apakah MPL ID Season 5 akan tetap berada di Jakarta atau pindah ke kota lain. Hal ini kami lakukan demi membuat esports jadi semakin mainstream di Indonesia. Namun, ini masih dalam perencanaan, tapi saya merasa itu akan menjadi salah satu perkembangan terbesar untuk MPL ID Season 5 nanti.”
Strategi ini sebenarnya juga sudah sempat dicoba oleh Moonton ketika menyelenggarakan MPL ID Season 2. Setelah sukses besar di musim pertama, MPL lalu mencoba untuk menyajikan kasta tertinggi kompetisi MLBB di kota Surabaya pada musim kedua. Percobaan Moonton cukup sukses saat itu. Walau tidak diadakan di Jakarta, ribuan penggemar MLBB dari Surabaya dan kota-kota sekitar ternyata sangat antusias hadir untuk menjadi saksi kemenangan RRQ.O2 dalam MPL ID Season 2 yang diadakan di Jatim Expo, Surabaya.
Siapa tahu, Moonton akan mencoba untuk memisah waktu dan tempat pertandingan babak Playoffs di MPL ID Season 5. Jadi misalkan Playoffs diselenggarakan di Surabaya, Grand Final pertandingan best-of-7 diadakan di Bali agar pemain bisa lebih fokus dan euphoria penonton bisa terkumpul di satu tempat. Kalau rencananya seperti itu, mungkin kami para media yang paling senang; karena bisa jalan-jalan sekaligus meliput MPL… Hehe.
Dengan semua nada positif yang didapatkan MPL ID Season 4 (setidaknya jika tidak melihat hitung-hitungan finansial seperti yang kami jabarkan tadi), tentunya kita berharap MPL ID Season 5 akan jadi lebih terstruktur, lebih besar, dan mampu menjaga antusiasme penonton terhadap kompetisi esports paling dinamis di Indonesia ini. Meskipun memang, ada sejumlah hal yang bisa diperbaiki ataupun hal baru yang bisa dicoba untuk selanjutnya.
Sebagai pionir, saya berharap model ini bisa sukses di Indonesia. Bagaimanapun, kesuksesan Moonton lewat franchise model MPL ID bisa menjadi sarana ekosistem esports Indonesia untuk belajar dengan sistem baru ini.