Dark
Light

Bagaimana Rasanya Jadi Orangtua dari Gamer Profesional?

2 mins read
October 22, 2019
Ethan "Stratus" Yankel. | Sumber: The Washington Post/Ian Cunningham

Game masih menjadi momok bagi orangtua. Tak sedikit orangtua yang percaya, game bisa menyebabkan kecanduan dan membuat anak menjadi lebih agresif. Di negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, game masih sering dijadikan kambing hitam akan tragedi penembakan massal. Padahal, menurut Rachel Kowert, peneliti game online dan penulis buku “A Parent’s Guide to Video Games”, dugaan bahwa game menyebabkan kecanduan atau membuat pemain menjadi lebih agresif telah terbantahkan. “Jika Anda membaca ribuan studi tentang efek game pada sesuatu, baik positif atau negatif, hasil studi biasanya netral,” kata Kowert yang telah meneliti hubungan game dengan kecanduan dan perilaku agresif selama lebih dari 20 tahun, lapor The Washington Post. “Game tidak memberikan dampak apa-apa, atau terkadang, game memberi dampak positif walau tak signifikan.”

Manusia biasanya menakuti apa yang mereka tidak mengerti. Bagi orangtua yang tidak paham, tak heran jika game dan esports terlihat seperti sesuatu yang menakutkan. “Jika Anda tidak tahu tentang teknologi atau apa yang anak Anda lakukan, tentu saja itu membuat Anda merasa takut,” kata Kowert. “Itu bisa dimengerti. Tapi, semakin Anda memahami dan membiasakan diri Anda, rasa takut itu akan terkikis.” Inilah alasan mengapa Christine Yankel, ibu dari seorang pemain profesional Overwatch League, mencoba untuk mengerti pekerjaan anaknya, Ethan “Stratus” Yankel. Christine menjelaskan, Ethan mengungkap rencananya untuk menjadi gamer profesional dua tahun lalu, ketika dia masih berumur 16 tahun. Christine memberikan izin dengan beberapa syarat. Salah satunya, Ethan harus menyelesaikan SMA terlebih dulu. Selain itu, saat latihan di malam hari bersama tim semi-profesionalnya, Ethan juga diawasi.

Sumber: The Washington Post / Ian Cunningham
Ethan “Stratus” Yankel. Sumber: The Washington Post / Ian Cunningham

“Rasanya sulit untuk dipercaya,” kata Christine pada The Washington Post. “Anda sering dengar tentang gamer profesional dan bagi kami, menjadi pemain profesional seperti mimpi yang tak mungkin jadi nyata, seperti jika anak Anda menjadi pemain sepak bola profesional. Rasanya seperti itu.” Sekarang, Ethan telah berumur 18 tahun. Dia merupakan bagian dari tim Washington Justice, salah satu dari 20 tim yang bertanding di Overwatch League.

Christine mengaku, pada awalnya, banyak orangtua yang tidak paham dengan keputusan Ethan untuk berkarir sebagai pemain profesional. Namun, belakangan, sentimen akan gamer profesional mulai menjadi positif. “Dua tahun lalu, ketika Ethan pertama kali bermain, ada banyak sentimen negatif tentang esports,” ujar Christine. “Sekarang, anggapan orang-orang telah menjadi lebih positif karena esports adalah industri yang tengah berkembang dan masyarakat akhirnya mengenal orang-orang di balik tim-tim besar.”

Christine berkata, gaming adalah bagian dari budaya keluarga Yankel. Ini memudahkannya untuk memahami esports. Christine sendiri memainkan Clash Royale dan game mobile lainnya, sementara nenek Ethan, Kay Yankel memainkan Candy Crush. Ethan dan kakaknya pernah memainkan Counter-Strike: Global Offensive sebelum Ethan memutuskan untuk bermain Overwatch. Untuk memahami pekerjaan Ethan, Christine bahkan mencari nasehat dari para pengacara, ahli industri esports, dan orangtua dari pemain esports lainnya. Dia juga mencoba untuk mengerti gameplay dari Overwatch. “Awalnya, sulit untuk mengerti siapa yang bermain dengna baik dan siapa yang mati,” akunya. “Saya perlu waktu agak lama, tapi saya mulai mengerti sekarang.”

Sumber: overwatchleague.com
Sumber: overwatchleague.com

Bagi Christine, momen yang membuka matanya tentang esports adalah ketika dia menghadiri turnamen esports di Montreal. Ketika itu, dia menyadari besarnya industri game dan esports serta potensi dari karir Ethan sebagai gamer profesional. “Saat kami melihat para fans di sana, kami melihat panggung yang disediakan, kami melihat para profesional di balik tim esports, itu semua membuat esports terasa semakin nyata bagi kami,” kata Christine. “Tak lama setelah itu, Ethan mendapatkan kontrak untuk masuk dalam tim profesional. Para pengacara turun tangan. Dan pemain profesional menjadi karir yang masuk akal.”

Walau gaming merupakan bagian dari budaya keluarga Yankel, Ethan dan Christine mengerti bahwa karir sebagai gamer profesional tak berlangsung lama. Menurut CNBC, rata-rata pemain esports mengundurkan diri pada akhir 20-an atau awal 30-an. Bagi pemain esports yang telah mengundurkan diri, salah satu opsi karir yang bisa mereka ambil adalah menjadi streamer.

Namun, Ethan mengatakan, dia mempertimbangkan untuk kembali berkuliah setelah dia mengundurkan diri sebagai pemain profesional. Alasannya, karena semakin banyak universitas yang menawarkan beasiswa bagi pemain esports. “Saudara saya berkata, Carnegie Mellon University telah memulai jurusan Overwatch,” kata Ethan. “Jika saya bisa masuk ke universitas itu dengan beasiswa, saya akan melakukan itu. Tergantung pada kesempatan apa yang ada untuk saya.”

Sumber header: The Washington Post / Ian Cunningham

Previous Story

Esports Ability Indonesia Mengenalkan Budaya Gaming Disabilitas di Hybrid Dojo

Bisnis RedDoorz di Indonesia
Next Story

Ambisi RedDoorz Menjadi Unicorn dan Ekspansi ke Thailand Tahun 2020

Latest from Blog

Don't Miss

Valve Buat Regulasi Baru di CS:GO, Apa Dampaknya ke Ekosistem Esports?

Selama bertahun-tahun, Valve jarang turun tangan untuk menentukan arah perkembangan
Illari Overwatch 2

Blizzard Umumkan Illari, Hero Support Overwatch 2 Berkekuatan Energi Matahari

Menyambut Season terbarunya, Blizzard akhirnya memamerkan kemampuan Hero Support terbaru