Tahun 2018, industri dan komunitas esports tanah air dikejutkan dengan kerjasama ESL dan Salim Group yang bertujuan menggarap esports Indonesia. Salim Group adalah salah satu perusahaan konglomerasi terbesar di Indonesia. Sedangkan ESL adalah salah satu penggerak industri esports internasional yang boleh dibilang sudah menguasai industri esports di negara-negara barat, Amerika Serikat dan Eropa.
Tentu saja, kehadiran dan rencana ESL di Indonesia tadi memunculkan banyak pertanyaan di kepala para pemerhati dan penggiat esports. Karena itulah, Hybrid pun menghubungi ESL untuk berbincang lebih jauh tentang pertanyaan tadi. Satu hal yang mungkin bisa kami pamerkan (haha…) dan banggakan adalah kami menjadi media ketiga yang berkesempatan mewawancarai perwakilan ESL Indonesia. 2 media sebelum kami adalah CNN dan Nikkei, yang merupakan brand media internasional.
Inilah perbincangan kami dengan perwakilan ESL Indonesia, yakni Nick Vanzetti; SVP, Managing Director Asia Pacific Japan.
Sebelum kita masuk ke obrolannya, ijinkan kami sejenak mengenalkan ESL.
Tahun 2000, ESL berdiri namun kala itu mereka masih mengusung nama Electronic Sports League. Tahun 2015, mereka menggelar sebuah ajang esports yang paling banyak ditonton di jamannya yang bertajuk Intel Extreme Master (IEM) Katowice.
Di tahun yang sama juga Modern Times Group (MTG), perusahaan konglomerasi media asal Swedia, membeli mayoritas saham ESL dari Turtle Entertainment dengan menggelontorkan dana sebesar €78 juta.
Pertanyaan pertama yang mungkin memang harus ditanyakan adalah apa yang membuat Indonesia menarik bagi perusahaan sebesar ESL? Nick pun bercerita bahwa Asia Tenggara pada umumnya adalah pasar yang menunjukkan pertumbuhan besar dan ESL belum banyak menjalankan aktivitas di wilayah ini. Jadi, ESL pun beranggapan bahwa menggarap pasar Asia Tenggara adalah langkah selanjutnya yang tepat untuk melebarkan sayap.
Sedangkan Indonesia sendiri adalah negara besar yang punya fanbase dengan antusiasme tinggi. Ditambah lagi, mereka juga menjalin kerjasama dengan Salim Group yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu pilihan yang logis untuk ESL membangun fondasi mereka.
Seperti yang saya tuliskan tadi di awal, ESL memang menjadi salah satu motor penggerak industri esports di barat sana namun pasar Indonesia adalah pasar yang jauh berbeda. Misalnya saja, League of Legends (LoL) adalah game kompetitif yang paling populer di luar sana. Namun, di Indonesia, setelah liga profesionalnya (LGS) ditutup; komponen pendukung ekosistemnya seperti Hasagi (media berbahasa Indonesia yang khusus membahas LoL) pun hilang tak tersisa layaknya para aktivis jaman Orde Baru.
Sebaliknya, Mobile Legends yang jadi game puluhan juta ‘umat’ di sini bahkan tak punya ajang kompetitif yang lebih tinggi dari tingkat Asia Tenggara (setidaknya sampai artikel ini ditulis).
Bagaimanakah strategi ESL menggarap pasar Indonesia yang sangat berbeda dengan yang sebelumnya mereka lakukan? Nick pun mengatakan bahwa mereka memang harus mengadaptasikan strategi yang dijalankan agar sesuai dengan pasarnya masing-masing. “Bagaimana kami beroperasi di Thailand akan berbeda dengan cara kerja kami di Indonesia. Karena itulah, bekerjasama dengan partner-partner lokal menjadi satu hal yang krusial. Kami juga akan merekrut orang-orang lokal sebanyak yang dibutuhkan.”
Lebih lanjut Nick menjelaskan bahwa ESL mungkin memang sudah paham bagaimana caranya menjalankan esports namun mereka belum tentu tahu cara yang terbaik untuk diterapkan di masing-masing negara. Karena itulah, mereka harus mendengarkan masukkan dari para pemain, tim, ataupun komunitas tentang cara yang tepat untuk negaranya masing-masing.
Nick pun memberikan contoh yang lebih kongkret tentang adaptasi strategi tadi. Ia sebelumnya berangkat dari mengembangkan bisnis untuk ESL Australia yang merupakan pasar besar untuk PC gaming dan console gaming. Namun, jika ia mencoba menggelar turnamen Call of Duty untuk PS4 di Indonesia, cara itu tidak tepat diterapan di sini. Di sini, kita harus menggelar turnamen untuk mobile gaming.
Berbicara mengenai pasar esports tanah air, meski memang sudah jauh lebih besar ketimbang beberapa tahun silam, esports di Indonesia mungkin bisa dibilang ‘membosankan’ karena Mobile Legends yang seringnya jadi pilihan utama ajang kompetitif berskala besar. Masih banyak game-game lain di Indonesia yang seolah jadi anak tiri esports seperti Tekken, FIFA, PES, Street Fighter, Rainbow Six: Siege, League of Legends, ataupun bahkan CS:GO – dan belasan game kompetitif lainnya yang terlalu banyak jika disebutkan semuanya di sini.
Sedangkan ESL di luar sana dikenal cukup banyak mengangkat judul-judul game yang lebih bervariasi, seperti PUBG (PC), Rainbow Six, CS:GO, Battlefield 4, Hearthstone, Dota 2, dan segudang game lainnya. Apakah mereka juga akan memberikan variasi yang sama untuk scene esports lokal?
Nick sendiri mengaku, di awal-awal kehadiran ESL di Indonesia, banyak yang meminta mereka untuk menggarap lagi scene kompetitif CS:GO di sini; apalagi mengingat ESL lah yang menggarap ajang kompetitif CS:GO paling bergengsi di dunia: Intel Grand Slam. Nick juga mengatakan bahwa ESL akan membawa variasi-variasi baru di scene esports lokal dan CS:GO adalah salah satu kemungkinan judul game yang akan mereka garap ke depannya.
Meski demikian, ia juga harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum ESL memopulerkan kompetisi game-game yang mungkin bukan paling populer di Indonesia seperti apakah komunitasnya cukup besar di sini, apakah mereka juga mau nonton pertandingan-pertandingan kompetitif, ataupun apakah game tersebut dapat menarik para sponsor.
Berbicara mengenai sponsor, ESL di Eropa berhasil menarik banyak sponsor non-endemik seperti Vodafone, Mercedez-Benz, dan kawan-kawannya. Apakah ESL juga akan mengajak brand-brand non-endemik untuk sponsori acara mereka di Indonesia? Apakah hal ini akan lebih sulit dilakukan di Indonesia?
Nick pun bercerita bahwa mereka telah mendapatkan dukungan dari Indofood karena kerjasama mereka dengan Salim Group. Di streaming kompetisi ESL Indonesia yang sudah berjalan juga sudah ada logo dari Mercedez-Bens. Namun hal itu tadi masih permulaan karena ada beberapa brand non-endemic lainnya yang juga sudah menyatakan ketertarikan mereka untuk sponsori esports Indonesia.
Nick juga mengatakan bahwa meyakinkan non-endemic brand di Indonesia tidak lebih sulit dibandingkan di negara lainnya. Maksudnya, bukan berarti mudah juga. Meyakinkan sebuah brand non-endemic memang terkadang butuh waktu yang lama dan sama sulitnya di semua negara.
Berbicara mengenai industri esports Indonesia, saat ini sudah ada beberapa perusahaan EO (event organizers) seperti Mineski Event Team, RevivalTV, dan kawan-kawannya yang mungkin bisa jadi lebih familiar dengan pasar Indonesia. Lalu hal unik apa yang sebenarnya bisa ditawarkan oleh ESL, yang tidak dapat ditawarkan oleh yang lain, agar mereka dapat kompetitif di pasar Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, Nick pun ingin menegaskan 2 hal terlebih dahulu. Pertama, menurutnya, pasar Indonesia adalah pasar yang besar yang masih cukup untuk beberapa event organizer sekalipun. Kedua, ESL hadir di Indonesia bukan untuk mematikan kompetitor karena, bagi mereka, kemajuan industri esports dalam negeri dengan semua para pemain industrinya juga penting.
Sedangkan untuk keunikan yang membuat mereka berbeda dengan event organizer lainnya di Indonesia adalah, karena mereka perusahaan internasional, mereka telah menggarap esports 20 tahun sehingga mereka tahu bagaimana caranya membuat event yang benar-benar berkualitas. Ditambah lagi, karena jaringan mereka di berbagai negara, mereka ingin memberikan platform untuk para pemain Indonesia untuk menuju panggung di luar Indonesia ataupun bahkan di luar Asia Tenggara. Jadi, mereka bisa mengirimkan pemenang dari event di Indonesia untuk berkompetisi di tingkat yang lebih tinggi seperti Asia Pasifik. Misalnya, pemenang kompetisi Dota 2 dalam negeri milik ESL bisa saja akan dikirim untuk mewakili Indonesia untuk ESL One Birmingham.
Jadi intinya, ESL dapat memberikan perjalanan panjang dari zero to hero yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh event organizer lainnya.
Terakhir, bagaimanakah rencana mereka di Indonesia? Apakah mereka juga berencana untuk jadi yang terbesar seperti apa yang mereka lakukan di pasar negara-negara barat sana?
Nick pun mengatakan “kami punya rencana jangka panjang di sini. Kami punya kantor permanen dan kami juga ingin melakukan segala sesuatunya dengan benar di sini. Kami pun ingin membangun brand kami.” Lebih lanjut Nick menjelaskan bahwa bisa saja mereka juga akan menggarap event di kota-kota lain selain Jakarta, seperti di Jawa Barat, Bali, atau kota lainnya. Mereka ingin membuat esports lebih mudah diakses di berbagai seluruh wilayah Indonesia.
–
Itu tadi obrolan singkat kami dengan Nick Vanzetti tentang ESL dan rencana mereka menggarap esports Indonesia. Bagaimana ya sepak terjang mereka ke depannya?
Oh iya, perbincangan ini juga masih sebagai perkenalan saja. Lain kali, kita akan berbincang kembali untuk menggali lebih jauh dari ESL karena pastinya mereka punya insight yang begitu berharga yang bisa kita gunakan bersama-sama untuk membangun industri esports tanah air.