Sejak merilis film orisinal pada tahun 2015, pengembang platform video streaming Netflix terus tingkatkan kualitas produksi. Salah satu yang jadi takaran mutunya, di ajang Oscars 2020 karya yang mereka produksi berhasil menggaet 24 nominasi. Dua di antaranya, yakni The Irishman dan Marriage Story, masuk di jajaran kategori film terbaik.
Tak ayal kini perusahaan publik yang awalnya startup Silicon Valley tersebut dijajarkan dengan studio besar Hollywood layaknya Warner Bros, Universal Pictures dan lain-lain. Kualitas konten tersebut juga yang membuat para pengguna rela untuk membayar biaya berlangganan lebih (dibanding platform serupa), termasuk di Indonesia.
Memasuki pertengahan dekade lalu, sekitar tahun 2014-2016, model bisnis Netflix mulai direplikasi startup di Asia Tenggara. Sebut saja iflix (2014), Hooq (2015), dan Viu (2015). Mereka menyuguhkan layanan serupa termasuk untuk pengguna di Indonesia. Selain membeli lisensi penayangan, mereka juga memproduksi serial filmnya sendiri.
Penolakan keras sejak awal
Pada 7 Januari 2016, Netflix memutuskan untuk melakukan ekspansi global, hadir di 130 negara termasuk Indonesia. Rencana tersebut lantas mendapatkan beragam tanggapan dari banyak pihak. Dari regulator, Kominfo memaparkan serangkaian persyaratan administratif yang harus dilakukan pemain OTT (Over The Top). Dua yang terus ditekankan adalah pembentukan badan usaha tetap dan komitmen sensor konten.
Sebagai informasi, OTT mencakup konten berupa data, informasi dan multimedia yang berjalan dan diakses melalui medium internet. Secara regulasi, konten-konten tersebut dianggap “menumpang” beroperasi di atas jaringan internet milik perusahaan telekomunikasi.
“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten,” ujar Rudiantara selaku Menkominfo kala itu.
Tidak hanya pemerintah, asosiasi juga memberikan sinyal penolakan kehadiran perusahaan berkode saham NFLX tersebut. Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengatakan ada beberapa aturan yang tidak terpenuhi, yakni Perpres No. 39 tahun 2014 pada poin yang menyoal ketentuan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar. Selain itu juga UU No. 32 tahun 2002 dan UU No. 33 tahun 2009 tentang pembentukan badan hukum.
Hingga akhirnya per 27 Januari 2016 pukul 00.00 WIB semua sambungan internet dari Telkom tidak bisa lagi mengakses Netflix.
Tetap jadi pilihan
Mengutip data yang dihimpun Statista, per tahun 2019 total estimasi pelanggan aktif Netflix di Indonesia sekitar 418 ribu orang, diproyeksikan akan meningkat jadi 906 ribu tahun ini. Dari riset yang berbeda, misalnya mengutip laporan yang baru dirilis AppAnnie bertajuk “State of Mobile 2020”, Netflix masih masuk ke dalam 5 besar aplikasi streaming pengguna ponsel pintar di Indonesia.
Di luar jaringan telekomunikasi yang disediakan Telkom, pelanggan masih leluasa untuk menggunakan Netflix. Pada umumnya operator non-plat merah baru melakukan pemblokiran jika suatu situs atau aplikasi sudah ada di TrustPositif – kanal untuk daftar situs yang resmi dicekal Kominfo.
Di Indonesia sendiri memang ada cukup banyak layanan serupa, seperti iflix, Viu, Hooq, Genflix, bahkan pemain lokal seperti Vidio, Go-Play.
Beberapa platform global setara Netflix juga mulai hadir, misalnya HBO Go dan Amazon Prime, bahkan layanan konten spesifik seperti beIN Sports dan NBA League Pass di kategori olahraga.
Dikutip dari pemberitaan Tirto, Direktur Konsumer Telkom Dian Rachmawan mengatakan, “Pemain OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik operator.”
Nyatanya, layanan video on-demand asing lain, seperti Hooq, iflix dan Viu, memang menjalin kerja sama B2B dengan operator lokal agar memberikan manfaat bisnis satu sama lain. Beberapa juga dengan koporasi pemilik media, misalnya iflix dengan MNC Group.
Namun demikian, Telkom pun punya argumentasi lain terkait pemblokiran, yakni terkait konten pornografi khususnya dikaitkan dengan beleid UU Pornografi dan UU ITE.
Potensi untung dari pajak
Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Keuangan tengah giat untuk mengupayakan penarikan pajak dari OTT asing yang beroperasi di Indonesia. Tidak hanya layanan video, mereka juga mulai “memburu” perusahaan besar seperti Google, Facebook dan lain-lain.
Belum adanya beleid yang mengatur pajak perusahaan OTT membuat mekanismenya belum detail. Rencananya di Omnibus Law, rancangan regulasi yang akan diupayakan DPR RI, akan mulai mengakomodasi kondisi tersebut.
Dikutip dari Kompas, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi menyontohkan regulasi di Singapura dapat diterapkan di sini. Perusahaan digital tidak wajib bikin kantor di sini, namun tetap dikenakan pajak dari biaya langganan dari konsumen Indonesia.
Demikian pula disampaikan Hestu Yoga Saksama selaku Direktur Penyluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, “Makanya di Omnibus Law nanti, kita atur bahwa tidak harus ada physical presence, tapi ada substansial atau significant economic presence.”
Umumnya bagi perusahaan yang berdomisili di Indonesia, pemerintah mewajibkan untuk melakukan pembayaran pajak, baik berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari produk yang dijual, maupun Pajak Pengasilan (PPh) dari ketenagakerjaan.
Potensi rugi dari sektor kreatif
The Night Comes for Us jadi film orisinal Indonesia pertama yang dipublikasikan Netflix pada tahun 2018. Untuk meningkatkan kuantitas film lokal, pertengahan tahun lalu, perusahaan juga mulai membangun kemitraan dengan konten kreator hingga penggiat film di Indonesia untuk menciptakan konten lokal yang secara khusus ditayangkan di Netflix.
Director of Product Innovation Netflix Ajay Arora mengungkapkan, investasi tersebut menjadi fokus Netflix di Indonesia demi menghadirkan konten yang bisa disukai oleh pelanggan di tanah air.
Hingga pada tanggal 9 Januari 2020 kemarin, Netflix meresmikan kemitraan strategis dengan Kemendikbud untuk mendukung pengembangan talenta perfilman Indonesia.
Secara spesifik, akan berfokus pada pengembangan kemampuan penulisan kreatif (creative writing), pelatihan pasca-produksi, serta lomba film pendek. Selain itu, akan ada juga pelatihan di bidang keamanan online serta tata kelola untuk menghadapi pertumbuhan industri kreatif yang dinamis. Di kemitraan tersebut, Netflix mengucurkan dana setara $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah.
Sejatinya sinergi seperti ini menjadi corong yang sangat baik bagi industri kreatif di Indonesia untuk berkembang pesat. Selain menghadirkan pengetahuan global – dalam hal ini ilmu film dari Hollywood – peran OTT juga bisa dimanfaatkan sebagai kanal bagi pelaku kreatif untuk merangkul pasar internasional. Terlebih Netflix kini jadi salah satu takaran kualitas untuk produk film. Tidak hanya film sebenarnya, platform seperti Spotify bahkan TikTok memungkinkan beragam kreativitas digital dipasarkan secara luas.
Sehingga idealnya kemitraan dengan OTT tidak hanya dipandang dari sudut regulasi finansial, melainkan perlu berunding dengan kementerian lain, dalam hal ini misalnya Kemenparekraf.
Harapan untuk akses yang lebih bebas
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo bahwa masyarakat bisa mempersoalkan pemblokiran ke layanan OTT tertentu apabila dirasa merugikan. Karena pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih.
“Yang pertama, hak untuk mendapat informasi, right to know. Kalau pemblokiran itu menghambat konsumen mendapat informasi, mestinya dapat dipersoalkan,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia.
Pasalnya, aturan model pemblokiran ini seperti sudah jadi warisan turun-temurun. Bahkan untuk mendorong inisiatif ini, pada tahun 2017 lalu Kominfo menganggarkan 211 miliar Rupiah untuk membeli mesin sensor internet. Kendati sudah jadi rahasia umum, situs-situs yang diblokir tetap bisa diakses mekanisme tertentu.
Tentu kita punya harapan, bahwa internet bisa menyuguhkan konten-konten berkualitas, baik untuk hiburan maupun pendidikan. Selain pemblokiran, ada satu hal yang terus kami coba tawarkan untuk pemerintah, yakni penguatan literasi digital masyarakat. Beberapa aktivitas riil yang dapat dilakukan seperti:
- Melakukan sosialisasi aktif memanfaatkan jaringan institusi pemerintah (sampai level desa) untuk memberikan pemahaman tentang literasi digital. Materi literasi digital yang diajarkan mendorong kalangan masyarakat memahami batasan konten relevan yang bisa mereka akses.
- Memberikan akses dan dukungan kepada pelaku industri kreatif digital untuk mengisi ekosistem internet nasional dengan konten-konten berkualitas, dengan beragam bentuk.
Dengan cakupan global, sebuah keniscayaan internet untuk bersih dari konten negatif. Memberikan pemahaman tentang konten negatif itu sendiri akan menjadi aksi visioner yang membentuk pribadi bangsa yang lebih baik. Tanpa harus diblokir, masyarakat menjadi tahu bahwa suatu konten negatif tidak layak diakses.