Alasan mengapa istilah cloud gaming terdengar akrab sekaligus asing di telinga kita adalah terlepas dari makin banyaknya perusahaan hiburan global yang menyajikan layanan ini serta kian andalnya infrastuktur internet, platform ‘gaming on demand‘ masih belum bisa diakses oleh semua konsumen 18 tahun setelah gagasan tersebut mulai lepas landas.
Di tahun 2005, developer game Crysis mencoba melakukan riset sistem game berbasis cloud, tapi mereka harus menunda proses pengembangannya selama dua tahun demi menunggu tersedianya teknologi internet kabel yang lebih reliabel. OnLive yang mempionirkan platform cloud gaming berbasis set-top box sendiri baru meluncurkan layanannya di 2010 setelah mempersiapkannya selama bertahun-tahun. Sayang sekali, OnLive bangkrut di tahun 2015, dan mayoritas asetnya diakusisi oleh Sony buat memperkuat PlayStation Now.
Mudah diaksesnya platform cloud gaming berpotensi merombak industri gaming selamanya. Bayangkan: tanpa perlu membeli hardware khusus, permainan video dapat dinikmati kapan saja, di perangkat apapun – tablet, smartphone, sampai laptop tua. Dengannya, Anda tak perlu lagi mengganti console setiap beberapa tahun, ataupun meng-upgrade hardware PC ketika ingin menikmati game baru.
Namun bahkan di penghujung era console generasi kedelapan ini, cloud gaming belum betul-betul tersedia di Indonesia. Layanan seperti PlayStation Now atau GeForce Now baru dapat dinikmati oleh konsumen di negara tertentu saja.
Cloud gaming di Indonesia?
Ketimbang terus menunggu, pada akhirnya semua bergantung pada developer lokal agar konsumen Indonesia bisa mencicipi ‘keajaiban’ cloud gaming. Dan kabar gembiranya, upaya tersebut sudah dilakukan sejak 2016. Dahulu berbisnis di ranah penyediaan laptop gaming, Xenom juga sempat memperkenalkan platform gaming on demand XenomX. Namun sayang sekali layanan ini tak pernah tiba di tangan konsumen.
Meski nama XenomX telah menghilang, semangat para visioner di sana untuk meramu bisnis hiburan berbasis cloud masih ada. Mantan general manager Xenom, Rolly Edward, mendirikan startup bernama Skyegrid dan fokus mereka adalah menyediakan platform cloud gaming lokal. Persiapannya sudah dilakukan sejak tahun lalu, dan saya sangat beruntung menjadi salah satu orang pertama yang mengetahui eksistensinya dan dipercaya buat memberikan tim developer masukan.
Berbulan-bulan berlalu sejak momen itu tanpa ada kabar dari Skyegrid, hingga akhirnya CEO Rolly Edward mengundang beberapa media untuk melakukan beta testing layanan cloud gaming itu secara tertutup di tanggal 31 Mei silam. Seperti diskusi yang dahulu pernah saya dan tim Skyegrid lakukan, saya masih belum boleh mengekspos detail terkait sesi tes ini. Tapi setelah mengujinya langsung, saya sangat optimis terhadap apa yang Skyegrid coba hadirkan.
Skyegrid
Rolly yakin apa yang timnya racik ini bisa mengubah persepktif orang mengenai cara menikmati game. Ingatkah Anda pada dampak munculnya home console bagi industri gaming di 80-an ketika waktu itu orang cuma bisa bermain di arena arcade yang berlokasi restoran dan bar? Meledaknya kepopularitasan console ‘rumah’ menyebabkan industri arcade hampir punah. Cloud gaming punya potensi disruptive yang lebih besar lagi.
Sang CEO menjelaskan bahwa Skyegrid dikembangkan sebagai alternatif dari membeli console atau PC secara tradisional demi menikmati video game karena tak semua orang bersedia mengeluarkan banyak uang buat memiliki produk-produk ini. Bahkan jika sudah memiliki sistem gaming dedicated, sebagian dari kita terlalu sibuk untuk duduk di sofa dan menyalakan console – hanya bisa bermain di waktu senggang berbekal perangkat bergerak.
“Dengan platform gaming baru ini, siapa pun bisa menjadi gamer; dari mana saja, kapan saja, tanpa harus memusingkan rig yang mahal atau tingginya system requirement permainan,” kata Rolly.
Dengan begini, Skyegrid punya peluang menjangkau kalangan pemain non-hardcore, bahkan berkesempatan menggaet khalayak casual buat jadi gamer yang lebih serius. Tanpa menyebutkan detailnya, biaya akses menjadi salah satu perhatian utama developer, dan mereka berkeinginan untuk mematoknya di kisaran yang atraktif dan terjangkau.
Dari keterangan developer, Skyegrid telah melewati tahap alpha yang berlangsung selama satu tahun terhitung sejak awal 2017. Dan belum lama ini, mereka meluncurkan aplikasi beta yang bisa diakses secara terbatas oleh sejumlah media dan beberapa gamer terpilih.
Berdasarkan sesi uji coba minggu lalu, saya melihat kesiapan Skyegrid mendukung beragam judul permainan, baik blockbuster serta indie, single-player ataupun multiplayer, premium maupun free-to-play. Untuk kualitas kontennya, saya cuma bisa bilang: Anda akan terkejut melihat permainan-permainan ‘AAA’ berjalan di setting grafis high 1080p dengan 60 frame rate per detik di ‘perangkat yang tidak semestinya’.
Sejauh ini, Skyegrid belum mengabarkan kapan tepatnya mereka akan resmi meluncurkan platform cloud gaming lokal tersebut. Namun melihat gerak-gerik developer, saya menerka bahwa pelepasannya mungkin akan dilaksanakan tak lama lagi.
Catatan: karena sesi beta testing kemarin berisi info-info sensitif, saya hanya menggunakan foto yang sudah disediakan oleh Skyegrid.