Semalam, ketika saya sedang dalam perjalanan pulang dan hendak memesan layanan Uber, saya mendapati sebuah pesan seperti pada gambar di atas muncul di layar. Yang menjadi persoalan adalah fakta bahwa pihak Uber belum memberikan pernyataan mengenai penerapan surge pricing sebelumnya. Meskipun rencana tersebut pernah diungkapkan pada peluncurannya di bulan Juli silam, namun belum ada satu pun pernyataan resmi ataupun konfirmasi dari pihak Uber.
Mekanisme surge pricing yang diusung Uber bertujuan untuk menaikkan tarif layanan di beberapa daerah tertentu dimana perusahaan tersebut kesulitan untuk memenuhi jumlah permintaan layanan dari masyarakat. Seberapa besar kenaikannya? Hal ini bergantung kepada rasio permintaan / persediaan. Artinya, kenaikan tersebut mungkin hanya sebesar 10 persen saja atau bahkan 10 kali lebih besar, seperti yang terjadi di Los Angeles baru-baru ini.
Bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakan jasa ojek, hal ini bukanlah sesuatu yang asing, kecuali fakta bahwa para pengendara ojek menerapkan mekanisme berbeda yang disebut “harga suka-suka”, yang biasanya mereka terapkan kepada para pendatang yang memang belum terbiasa atau bahkan belum mengetahui tarif reguler dari layanan ojek tersebut.
Adapun kenaikan tarif yang saya dapatkan semalam berkisar 25%. Uber menerapkan kenaikan tersebut pada setiap komponen tarif, seperti yang dapat dilihat pada gambar. Artinya, Uber menerapkan kenaikan tersebut pada tarif minimum, tarif per menit, dan per kilometer. Namun, sah-sah saja bila kita menghitung kenaikan tersebut dari tarif akhir yang tertera pada argo. Satu-satunya yang tidak diketahui adalah apakah Uber juga menaikkan tarif dasar untuk sewa mobil, namun kita katakan saja demikian.
Jadi, sebagai gambaran, tarif perjalanan selama 1 jam dengan jarak 30 km yang biasanya ‘hanya’ sebesar Rp 122,500 akan mengalami kenaikan hingga Rp 153,156.8. Berikut ini rinciannya:
Tarif standar: Rp 500 * 60 menit + Rp 2,850 * 30 km + biaya sewa mobil 7,000 = Rp 122,500.
Setelah kenaikan 25%: Rp 625 * 60 menit + Rp 3563.56 * 30 km + biaya sewa mobil Rp 8,750 = Rp 153,156.8.
Satu hal yang patut dipertanyakan adalah fakta bahwa tarif per kilometer yang tertera di atas ternyata Rp 1.06 lebih besar dari yang seharusnya. Dengan kenaikan sebesar 25% , Rp 2,850 juga seharusnya menjadi Rp 3,562.5, bukan Rp 3,563.56. Memang jumlah tersebut terbilang kecil, namun bila dihitung dari total permintaan yang didapat selama masa surge, maka keuntungan yang didapat Uber tidaklah sedikit.
Dalam kebanyakan kasus, yang terjadi adalah pihak Uber sudah mengatakan dari awal bahwa mereka akan menerapkan sistem surge pricing. Dalam beberapa kasus lain, Uber memang tidak melakukan hal tersebut karena memang tarif yang dikenakan bergantung kepada hitung-hitungan jumlah permintaan dan ketersediaan mobil, namun Uber akan memberikan informasi mengenai lamanya periode surge pricing tersebut dan kapan tarif akan kembali normal.
Untungnya semalam saya hanya perlu untuk menunggu beberapa menit hingga periode surge pricing tersebut berakhir. Untungnya lagi, saat itu ada sepuluh unit mobil Uber di sekitar saya, sehingga yang harus saya lakukan hanyalah bersabar untuk beberapa menit saja.
Kenaikan harga yang muncul ketika permintaan sedang naik memang sesuatu yang lazim ditemui pada sistem pasar bebas. Para siswa sudah mengetahui hal ini bahkan sejak bangku sekolah dan perusahaan-perusahaan penerbangan selalu menerapkan konsep ini. Satu hal yang membedakan adalah, perusahaan penerbangan biasanya sudah memprediksi kapan kenaikan diberlakukan sehingga para pelanggan dapat memesan tiket sejak jauh-jauh hari, sementara Uber tidak menawarkan fasilitas tersebut. Perusahaan penerbangan juga sudah memiliki jadwal tetap kenaikan berdasarkan kalender.
Menurut sebuah riset mengenai tarif taksi di New York, kenaikan 14.2% merupakan hitungan yang dapat dikatakan cukup untuk menggoda para pengemudi taksi untuk menjemput penumpang dari rumah mereka. Tentunya, perlu ada batasan kenaikan sehingga penumpang dapat mempertimbangkan secara matang sebelum mengambil layanan Uber.
Uber sering dituduh sengaja membatasi jumlah armada ketika jumlah permintaan mendekati batasan surge pricing, sehingga kondisi tersebut terkesan ‘dipaksakan’, meskipun pihak Uber telah berkali-kali menjelaskan mengenai buruknya kualitas pelayanan yang menjadi sumber dari persepsi-persepsi negatif tersebut.
Di New York, perusahaan tersebut telah berkomitmen untuk membatasi penerapan surge pricing pada situasi-situasi darurat, namun pertanyaannya adalah, perlukah Uber melakukan hal tersebut? Sepertinya tidak. Lagipula, kita toh memiliki pilihan untuk menunggu hingga tarif kembali normal atau memilih moda transportasi lainnya.
Masalah sebenarnya ada pada jumlah armada yang Uber miliki, bukan pada tarif. Jika apa yang menimpa Scott E. Bales terjadi pada anda, maka barulah anda perlu khawatir dengan surge pricing yang diterapkan Uber.
Catatan Editorial: Tulisan ini diambil dari halaman Medium milik Aulia Masna, Editor-in-Chief AdDiction, dengan izin dari penulis.