Uber baru saja menunjuk Monika Rudijono sebagai Presiden Direktur yang baru untuk Indonesia. Meskipun demikian, menghadapi tahun 2018, jalan terjal dan berliku dihadapi startup yang didirikan oleh Travis Kalanick dan Garrett Camp ini, khususnya untuk pasar Asia Tenggara.
Meski perkasa di banyak negara, Uber menghadapi persaingan sengit di kawasan Asia. Persaingan ketatnya dengan DiDi Chuxing di Tiongkok yang berakhir dengan keluar Uber dari negara tersebut adalah salah satu bukti bahwa keunggulan teknologi saja tidak cukup. Ia harus berhadapan dengan pemain lokal dan regulator demi menguasai pasar transportasi on-demand.
Kearifan lokal
Mundur ke belakang, solusi Uber sebenernya dipuja-puja sebagai salah satu solusi yang bisa membantu masyarakat. Mereka hadir dengan merevolusi cara bertransportasi warga Amerika Serikat. Uber pun mendunia dan mulai hadir di mana-mana, termasuk negara-negara Eropa dan Asia.
Penolakan terjadi di berbagai tempat. Di saat bersamaan, pemain setempat mulai mengembangkan layanan sejenis dengan pendekatan kearifan lokal. Di Asia Tenggara sendiri, khususnya di Indonesia, Uber masih tertinggal dibanding pesaingnya, Go-Jek dan Grab.
Sinyalemen keluarnya Uber dari persaingan layanan transportasi on-demand di Asia Tenggara muncul ketika November silam Softbank resmi memberikan suntikan dana kepada Uber. Langkah Softbank ini menimbulkan spekulasi bahwa Grab dan Uber tidak akan berkompetisi dan salah satu harus memilih keluar. Dalam hal ini Uber memiliki peluang lebih besar untuk hengkang dari kawasan ini.
Dua permasalahan besar yang menghambat Uber di Asia Tenggara adalah adaptasi dengan regulasi dan apasar lokal. Kita harus mengakui bahwa budaya yang berbeda antara Amerika Serikat dan Asia Tenggara menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Uber.
Uber masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan sesuatu yang visioner. Mereka disambut suka cita oleh konsumen tetapi di saat yang sama mengalami pergolakan di jalanan. Mereka ditolak sebagian besar armada transportasi konvensional yang pada akhirnya mendesak pemerintah meregulasi. Bisa ditebak, Uber menjadi “diuber-uber pemerintah”.
Sebagai sebuah startup, Uber benar-benar memperlihatkan cara sebuah perusahaan Silicon Valley bertumbuh dan mencari potensi pasar-pasar baru. Meskipun demikian, di Asia Tenggara, Uber harus berusaha ekstra untuk bertahan.
Uber juga sedikit terlambat memahami pasar Asia Tenggara. Di negara-negara seperti Indonesia dan Thailand, moda transportasi sepeda motor lebih banyak digunakan dengan alasa beragam, mulai menembus kemacetan, harga yang relatif terjangkau, dan biaya perawatan yang jauh lebih rendah ketimbang mobil.
Penyesuaian lain yang dirasa cukup lambat adalah metode pembayaran. Meskipun Uber pada akhirnya memberikan pilihan penggunaan uang tunai, pilihan pembayaran digital yang bersifat cashless tanpa kartu kreditnya masih sangat terbatas. Padahal kita ketahui persentase kepemilikan kartu kredit di kawasan ini sangatlah kecil.
Dikutip dari CNBC, pasca “terdepak” dari pasar Tiongkok, Uber terlihat fokus di pasar India dan Asia Tenggara. Sejauh ini usahanya terbentur regulasi di negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Di sisi lain, Grab dan GO-JEK agresif memperluas diversifikasi layanan, termasuk pilihan pembayaran.
Di antara Grab dan GO-JEK
Kini pengguna layanan transportasi on-demand sedang bertranformasi. Di Indonesia, GO-JEK dan Grab sama-sama menggenjot pemakaian uang elektronik masing-masing, GO-PAY dan GrabPay.
Jika pada akhirnya SoftBank, kini sebagai investor terbesar Uber, memutuskan untuk mendorong peleburan operasional Grab dan Uber di Asia Tenggara, hal ini akan menandai persaingan yang mengerucut di Indonesia, meskipun GO-JEK sudah meniatkan ekspansi ke negara-negara tetangga.
“Lautan hijau” di jalanan hanya menjadi awal persaingan dua perusahaan ini. Persaingan layanan pembayaran menjadi arena peperangan berikutnya. Di tahun 2018, Go-Pay sudah siap untuk keluar dari ekosistemnya dengan mengakuisisi payment gateway offline Kartuku dan online Midtrans sebagai kendaraannya. Di sisi lain, Grab menggandeng Ovo, yang dikembangkan Lippo Digital, untuk melanjutkan solusi uang elektroniknya.
Uber, berada di antara keduanya, mencoba menggandeng Tokopedia dan BBM sebagai mitra. Tahun 2018 ini bakal menjadi penentuan apakah Uber masih bertahan di Indonesia (dan Asia Tenggara) atau harus puas menjadi penonton di pinggir lapangan.
–
Amir Karimuddin berkontribusi untuk penulisan artikel ini