“Alexa, I’m leaving.” Seketika itu pula lampu apartemen dipadamkan, tirai jendela diturunkan, dan penghangat ruangan dimatikan. Pulang kerja dan setibanya di rumah, Alexa kembali dipanggil; “Alexa, cooking time,” dan dalam sekejap lampu dapur langsung menyala, disusul oleh alunan musik upbeat yang di-stream via Spotify.
Kira-kira seperti itulah gambaran keseharian manusia modern. Namun kalau Anda jeli, Anda bisa melihat saya menyebut “penghangat ruangan” ketimbang “AC”. Alasannya, skenario ini jauh lebih mudah dicapai apabila kita tinggal di Amerika Serikat daripada di Indonesia.
Apakah negara kita sebegitu tertinggalnya perihal teknologi sampai-sampai tren smart home yang berpusat pada smart speaker dan integrasi voice assistant sulit diwujudkan? Jelas bukan itu masalahnya, tapi lalu mengapa smart speaker di Indonesia belum sepopuler di AS?
Saya melihat setidaknya ada empat poin penting yang menghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air, dan saya akan coba membahasnya satu per satu lewat artikel ini.
Soal bahasa
Seperti yang kita tahu, voice assistant macam Alexa, Siri maupun Google Assistant diciptakan untuk berinteraksi secara lisan. Dukungan bahasa Indonesia mungkin sudah tersedia – terutama pada Google Assistant – tapi pada prakteknya komunikasi dengan voice assistant masih lebih mudah dijalani menggunakan bahasa Inggris.
Kalau tidak percaya, silakan cari video review Amazon Echo atau Google Home berbahasa Indonesia di YouTube. Videonya memang dalam bahasa Indonesia, akan tetapi bisa saya pastikan hampir semuanya berinteraksi dengan voice assistant menggunakan bahasa Inggris. Untuk yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, kebanyakan adalah mereka yang iseng mencoba keahlian Google Assistant dalam melawak.
Masalah bahasa ini menurut saya hanyalah masalah waktu. Ketika pertama diluncurkan beberapa tahun lalu, Google Assistant juga tidak langsung bisa berbahasa Indonesia, namun sekarang ia sudah fasih dan pandai membuat lelucon dalam bahasa ibu kita. Seiring waktu, dukungan bahasa voice assistant akan semakin lengkap dan sempurna, dan semoga saja di titik itu kita sebagai konsumen juga jadi makin terbiasa berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia.
Bagi yang sudah lancar berbahasa Inggris, saya kira Anda tak akan menemukan kesulitan dalam menggunakan smart speaker. Namun mayoritas tidak demikian, sehingga wajar apabila faktor bahasa ini menjadi penghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air – setidaknya untuk saat ini.
Soal perbedaan budaya
Permasalahan bahasa dalam banyak kesempatan akan selalu dikaitkan dengan masalah perbedaan budaya. Yang membedakan di sini adalah, orang Indonesia cenderung tidak verbal ketika bersentuhan dengan teknologi.
Saya pribadi merasakannya. Saya fasih berbahasa Inggris, akan tetapi Siri di iPhone tidak pernah aktif. Pernah saya mencoba mengaktifkannya dengan maksud supaya lebih mudah memasang alarm (tinggal menginstruksikan Siri secara lisan), tapi ternyata saya jauh lebih terbiasa membuka aplikasi alarm secara manual, atau malah meminta tolong istri saya menyetel alarm di ponsel saya seumpama saya sedang disibukkan dengan hal lain dan tiba-tiba teringat harus bangun lebih awal di keesokan harinya.
Oke lah ini semua hanya masalah kebiasaan, tapi kita semua tahu tidak mudah mengubah suatu kebiasaan, apalagi yang sudah terbentuk sejak kecil. Bagi saya pribadi, kebiasaan ini bisa diubah apabila poin selanjutnya juga sudah bisa teratasi.
Soal ekosistem smart home yang belum besar
Pada skenario yang saya singgung di awal, perangkat smart home tentu memegang peranan penting dalam mewujudkannya. Lampu, tirai jendela, dan penghangat ruangan di situ semuanya dapat berkomunikasi via jaringan Wi-Fi, dan voice assistant memegang peran sebagai perantara.
Di Amerika Serikat, ekosistem smart home sudah tergolong sangat maju. Contoh yang paling gampang adalah pintu garasi. Di sana, cukup umum menjumpai rumah-rumah dengan pintu garasi yang dapat membuka sendiri ketika pemiliknya terdeteksi sudah dekat. Di Indonesia, saya yakin populasi penjualnya cukup langka, sebab memang pasarnya kurang cocok.
Ketika ekosistem smart home sudah meluas dan konsumen dapat dengan mudah melengkapi kediamannya dengan perabot-perabot pintar, di titik itulah smart speaker beserta voice assistant di dalamnya bisa berperan secara maksimal. Satu frasa singkat seperti di awal tadi sudah cukup untuk mengoperasikan beberapa perangkat sekaligus.
Pabrikan biasa menyebut fitur ini dengan istilah “routines“, dan menurut saya pribadi, routines adalah kunci dari sinergi antara smart speaker dan perangkat smart home. Tanpa routines, sebagian besar perangkat smart home akan terasa gimmicky. Namun dengan routines, kita bisa langsung merasakan bedanya beserta kepraktisan yang ditawarkannya.
Tahun lalu, saya mulai melihat banyak iklan-iklan properti yang mencantumkan “gratis perangkat smart home” sebagai salah satu nilai jual utamanya. Ini bisa menjadi pertanda bahwa ekosistem smart home di negara kita tidak stagnan, meski mungkin progress-nya masih tergolong lambat jika dibandingkan dengan di negara lain.
Kesimpulannya, masih ada harapan terkait perluasan ekosistem smart home di tanah air. Lalu ketika itu sudah terwujud, barulah kita bisa melihat peran esensial smart speaker, dan pada akhirnya kebiasaan kita yang kurang verbal perlahan juga bisa diubah saat sudah merasakan faedahnya.
Soal ketersediaan smart speaker yang terbatas
Poin yang terakhir ini adalah yang paling bisa dimaklumi, sebab perangkat elektronik dari kategori lain pun masih banyak yang serba terbatas ketersediaannya di tanah air. Sebagai produk baru dari kategori yang baru pula, wajar apabila pemasaran smart speaker di Indonesia belum gencar.
Sejauh ini yang saya tahu baru JBL yang sudah memasarkan lini speaker Link-nya di Indonesia. Google Home belum tersedia via jalur resmi, demikian pula Amazon Echo. Bahkan HomePod yang semestinya mudah diboyong ke tanah air – karena iBox yang berada di bawah Erajaya Group memegang hak distribusi eksklusif atas produk Apple – juga belum kunjung tersedia.
Tebakan saya, selain karena kategorinya masih baru, alasan lainnya menyambung poin sebelumnya mengenai ekosistem smart home. Karena ekosistemnya belum luas, peran smart speaker belum bisa maksimal, sehingga pada akhirnya pabrikan maupun distributor masih enggan membawa produk smart speaker-nya ke pasar Indonesia.
—
Kalau kita lihat, keempat masalah ini sebenarnya dapat teratasi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Itulah mengapa saya mencantumkan kata “belum” pada judul ketimbang “tidak”, sebab memang saatnya masih belum tiba buat smart speaker untuk bersinar di pasar Indonesia.
Saya sama sekali tidak bermaksud mencegah Anda yang tertarik membeli, atau malah menjatuhkan yang sudah terlanjur membeli smart speaker. Beli sekarang atau nanti, smart speaker tetap sangatlah bermanfaat, hanya saja manfaatnya nanti (ketika tantangan-tantangan di atas sudah terlewati) akan lebih terasa lagi daripada sekarang.