Pesatnya pertumbuhan industri teknologi – ditandai dengan makin menjamurnya startup – telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan tenaga profesional di bidang IT, mulai dari perancang UX hingga para ahli SEO. Sayangnya, ketersediaan tenaga kerja dengan kualifikasi demikian saat ini masih sangat terbatas. Sebagaimana prinsip ekonomi, semakin terbatas penawaran berarti harga barang akan semakin tinggi. Dalam hal ini, prinsip tersebut berlaku pada standar gaji.
Jason Lamuda, CEO Berrybenka, menjelaskan bahwa meningkatnya kebutuhan startup akan tenaga profesional dipicu dengan keinginan mereka untuk melebarkan bisnis seiring dengan dana besar yang berhasil didapat. “Biasanya startup lebih memilih para profesional berpengalaman daripada harus melatih para newbie. Namun untuk mendapatkan tenaga berpengalaman tersebut sangat sulit karena jumlah mereka sangat terbatas,” katanya.
Kebutuhan akan tenaga ahli IT tersebut bahkan jauh lebih kentara di kalangan perusahaan yang membutuhkan sistem yang bekerja non-stop.
Budi Gandasoebrata, GM Veritrans Indonesia, mengatakan bahwa layanan e-commerce memang butuh sebuah sistem non-stop mengingat tingkat permintaan tanpa henti selama 24 jam dari para pelanggan lokal, regional, dan internasional. Menurutnya ketersediaan tenaga ahli IT di bidang infrastruktur dan teknologi keamanan sangat krusial bagi keberlangsungan sistem tersebut.
“Kami sangat menghargai para pengembang aplikasi. Dan seiring dengan meningkatnya permintaan kami, tingkat penghargaan kami pun semakin tinggi,” ujar Gandasoebrata.
Indonesia tanpa diragukan lagi semakin diperhitungkan sebagai zona investasi bagi perusahaan. Negara ini naik 4 peringkat ke posisi ke-34 dari 144 negara yang terdaftar di Global Competitive Index (GCI) edisi 2014-2015 yang dikeluarkan oleh World Ecocomic Forum. Pada edisi tahun sebelumnya, Indonesia berada di posisi ke-38.
Lebih lanjut, Nadiem Makarim, CEO Go-Jek, menambahkan bahwa tingkat kenaikan gaji para ahli IT kini mencapai 30-40 persen per tahunnya, jauh melampaui tingkat kenaikan gaji tenaga ahli lain yang “hanya” berkisar di angka 20 persen. “Bahkan ada beberapa ahli IT pemula yang mendapat gaji setara seorang staf manajemen senior,” catatnya.
Lamuda bahkan mengatakan bahwa kenaikan tingkat gaji tersebut dapat mencapai 50 persen per tahunnya. Tingkat inflasi dan kenaikan standar minimum gaji tentunya ikut berperan dalam hal ini.
Kenaikan tingkat gaji tersebut bahkan dapat terjadi sejak awal para pegawai bekerja. Sebagai contoh, gaji awal seorang staf pemasaran kini mencapai Rp 4 juta dari yang sebelumnya Rp 3 juta. “Dengan perhitungan yang sama, seorang manajer kini dapat mengantongi Rp 20 juta sebulan dari yang tadinya sekitar Rp 15 juta per bulan,” tambahnya.
Namun demikian, Makarim berpendapat bahwa tingkat kenaikan di Indonesia masih terbilang wajar. “Dibandingkan dengan apa yang terjadi di Malaysia atau Singapura, tingkat kenaikan di sini tidak terlalu tinggi,” ujarnya.
Tingkat kenaikan yang terjadi di Malaysia dan Singapura merupakan cerminan dari melonjaknya posisi kedua negara tersebut di GCI. Dalam indeks tersebut, Singapura berada di posisi kedua sementara Malaysia di posisi ke-20.
Lamuda menambahkan bahwa kenaikan gaji tersebut lebih berdampak pada para tenaga ahli IT itu sendiri. Dalam hal ini, mereka bisa saja berpindah-pindah dari satu startup ke startup lainnya demi mendapatkan gaji yang lebih besar.
“Dunia startup itu relatif kecil, tidak begitu menyenangkan untuk mengetahui bahwa seseorang pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Para pemilik startup orang yang pintar; mereka bisa tahu saat seseorang bekerja tanpa hasrat atau hanya mengejar uang semata,” katanya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa startup sebaiknya tidak hanya menawarkan uang sebagai penarik minat para ahli IT tersebut.
“Mereka yang bekerja di startup rata-rata tidak mengutamakan uang, tetapi lebih kepada pengalaman dan kesempatan untuk bisa belajar lebih banyak. Mereka bisa saja pergi bila mendapatkan kesempatan belajar yang lebih besar di tempat lain,” menurutnya.
“Jadi, startup juga harus menyadari bahwa para pegawai bukanlah pelayan, melainkan orang-orang yang ingin meningkatkan pengetahuan mereka,” tutupnya.