Platform OTA Tiket mengungkapkan sedang mengincar dana segar untuk kebutuhan ekspansi bisnis. Perusahaan juga menargetkan segera cetak laba pada dua tahun mendatang karena diklaim memiliki revenue stream yang jelas.
CEO Tiket George Hendrata enggan menyebut berapa besar kebutuhan dana yang diincar. Dana segar bakal dipakai untuk ekspansi bisnis perusahaan. Perusahaan sedang giat membuka kantor baru baik di Indonesia maupun di luar negeri.
“Sekarang revenue line (bisnis) sudah jelas dan makin besar (potensi OTA). Pertumbuhan kami per tahunnya selalu di atas 100%, kalau sudah di atas itu kita buka diri lagi untuk fundraising ke investor strategis agar Tiket bisa lebih mantap lagi ke depannya,” ucap dia, kemarin (16/1).
Setelah Tiket diakuisisi penuh oleh Blibli, pada pertengahan Juli 2017, perusahaan tidak melakukan penggalangan dana eksternal. Pun sebelumnya, sejak dibangun pada 2011, Tiket termasuk startup yang tidak pernah mencari pendanaan lanjutan dari investor. Dana awal diperoleh dari angel investor senilai $1 juta.
Menurut George, penggalangan dana adalah suatu kebutuhan buat startup yang ingin tumbuh dengan cepat, di sokong oleh kapital yang selalu tersedia. Kelebihan di dunia OTA, ini adalah industri tertua dibanding e-commerce maupun ride sharing, sehingga penetrasinya lebih tinggi.
Ambil contoh, sambungnya, di negara maju penetrasi OTA mencapai 60%-70%, sedangkan di Tiongkok sudah 50%. Indonesia sendiri sudah 30%. Angka ini berpotensi terus meningkat ke depannya, mengingat melancong sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup.
“OTA di luar (negeri) sudah profit karena punya revenue stream yang jelas, kebutuhan travelling juga besar, makanya size bisnis di pasar ini besar sekali. Kita mau agresif. Tiket ini jago kandang, kalau mau besar dan masuk ke lokasi baru, kita butuh partner yang kuat di daerah masing-masing.”
Terlebih itu, perusahaan berstatus unicorn biasanya memiliki investor lebih dari satu. Hal tersebut memiliki keuntungan, ada nilai tambah dalam pengembangan bisnis si perusahaan tersebut. Dalam artian, kapasitas jadi lebih besar, corporate governance lebih bagus, serta lebih mudah saat menjaring talenta baru.
Dia menyebut, saat ini Tiket mulai agresif mencari talenta baru baik di dalam maupun luar negeri. Ekspansi kantor perdana dimulai dari awal tahun lalu dengan membuka kantor di Vancouver, Kanada sebagai R&D. Pemilihan lokasi ini secara strategis memiliki kedekatan dengan Silicon Valley, menyimpan potensi talenta engineer yang bagus.
“Ada banyak talenta Indonesia yang berkarier di luar, kami berusaha mendekatkan diri ke mereka. Di samping itu, area computer science dan engineer lebih maju, kami perlu talenta seperti mereka.”
Selain Kanada, Tiket punya kantor di Singapura, Malaysia, dan Thailand sebagai kantor pemasaran. Di dalam negeri, Tiket menambah lokasi kantor di Jakarta (tiga kantor), Bali, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.
Lokasi kantor Tiket di Grha Niaga Thamrin (Jakarta), Bandung, dan Yogyakarta menjadi tempat R&D di dalam negeri. Total karyawan Tiket secara keseluruhan ada lebih dari 1.300 orang, meningkat dari akhir 2018 sebanyak 800 orang.
“Kantor Tiket di Singapura sebenarnya sudah dapat entity sejak Maret 2019 pakai nama Global Tiket Network Ltd.,, tapi office-nya baru di resmikan kemarin. Semua kantor kita di luar negeri pakai entitas yang jelas, mengikuti aturan yang berlaku di sana,” tambah Chief People Officer Dudi Arisandi.
Menurut Dudi, pemilihan lokasi kantor Tiket ini berkaca pada tingginya kunjungan destinasi wisata. Perusahaan pun perlu lebih mendekatkan diri kepada konsumen bila ada keluhan, sekaligus permudah relasi dengan mitra hotel demi tambahan suplai inventaris kamar.
Siap menuju profitabilitas
George mengklaim perusahaan dalam dua tahun lagi akan menuju profitabilitas, mengikuti jejak pemain OTA global lainnya. Dia juga mulai mempertimbangkan untuk IPO ketika target tersebut dapat tercapai.
Perusahaan OTA, menurutnya, memiliki revenue stream yang jelas. Ada komisi yang didapat dari mitra ketika berhasil menjual kamar hotel atau tiket penerbangan. Revenue take rate di OTA di kisaran 5%-25% tergantung produk yang berhasil di jual. Angka ini jauh lebih tinggi daripada perusahaan e-commerce yang umumnya take rate-nya 1%-2%.
“Lalu persaingan antar pemain OTA ini masih wajar. Tidak terlalu ‘gila’ seperti ride sharing. Jadi path-nya ini sudah bagus dan industrinya jauh lebih sehat. Kalau kita, path-nya ini sudah menuju profit, dalam dua tahun harusnya sudah bisa.”
Pertimbangan untuk melantai di bursa saham pun muncul ketika perusahaan sudah profit. George mengatakan IPO adalah langkah yang perlu bila perusahaan ingin berkembang di negara lain. Pasalnya, perusahaan akan memiliki governance yang lebih bagus, exposure ke investor juga jauh lebih besar.
Tanpa menyebut detail, Tiket mencatat pertumbuhan bisnis lebih dari 150% di 2019 dibandingkan tahun 2018. Kenaikan tertinggi datang dari pemesanan tiket pesawat. Destinasi yang paling banyak dikunjungi adalah Surabaya, Makassar, Medan, Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong.
Beberapa fitur yang dikembangkan perusahaan diantaranya Hotel Now, Smart Trip, Pay at Hotel, Smart Refund, Smart Rechedule, Online Check-in, Group Booking, dan Tiket Anti Galau. Perusahaan menyediakan fasilitas Airport Transfer dan Airport Lounge di 10 bandara besar di Indonesia.
Dalam waktu dekat, aplikasi Tiket akan dipersonalisasi sesuai kebiasaan pengguna dengan machine learning dan AI. “Tanpa disuruh [aplikasi] bisa lebih mengerti kita arahnya mau ke mana, ada rekomendasi tujuan yang sudah dipersonalisasi,” tutup George.