Echelon Indonesia 2015 adalah tentang mematahkan halangan bagi industri digital di Indonesia untuk berkembang. Pendiri sekaligus CEO e27 Mohan Belani, memimpin diskusi dengan tiga entrepreneur startup yang namanya sudah tidak asing lagi dalam lansekap startup dalam negeri yakni, Pendiri dan CEO TouchTen Anton Soeharyo, CEO Bridestory Kevin Mintaraga, dan CEO Bornevia Benny Tjia.
Tantangan sebagai entrepreneur di Indonesia saat ini bukan hanya dari luar, namun juga dari dalam. Panel diskusi terakhir hari pertama Echelon Indonesia 2015 ditutup oleh isu, tantangan yang dihadapi entrepreneur dari dalam perusahaannya.
Pendanaan
Bisnis membutuhkan dana untuk terus bertahan hingga bisa menghasilkan keuntungan. Sama halnya dengan startup, namun tidak mudah untuk meminta uang kepada pihak luar – terutama saat awal perkembangan startup, setidaknya itulah yang diungkap Anton. Ya, tentunya hampir sebagian besar dari kita akan setuju dengannya.
Anton menceritakan pengalaman saat pertama kali mencari pendanaan adalah kendala dari minimnya pengetahuan akan terminologi bisnis dan legal. Untuk itu, ia menyarankan kepada startup untuk mempelajari terminologi bisnis dan legal sebelum “mengetuk pintu” investor.
Sedangkan Benny mengisahkan kalau ia justru tidak tahu harus mendatangi investor yang mana. Begitu banyak Venture Capital yang ada di Indonesia, namun kendalanya saat itu, ia tidak menemukan investor yang pernah berinvestasi kepada startup sejenisnya. “Akhirnya saya menemukan investor di acara event seperti ini. Jadi mendatangi acara ini merupakan salah satu cara menemukan investor,” ujarnya.
Lain halnya dengan Kevin, ia menegaskan ada perbedaan antara mencari pendanaan tahap awal dengan seri selanjutanya. “Bila yang dicari seed funding jauh lebih mudah, yang dilihat oleh Venture Capital adalah pendirinya dan potensi pasar. Yang susah adalah setelah mendapatkan dana membuktikan peluang pasar tersebut bisa Anda raih.”
Merekrut talenta
Mohan mengulik cara ketiga entrepreneur ini bisa mendapatkan talenta terbaik untuk mau bekerja untuknya. Pendiri Touchten hingga saat ini masih percaya akan metode “word of mouth”.
“Bagi kami sangat mudah untuk merekrut talenta karena pekerjaan sebagai programer game tidak membosankan,”ujar Anton.
Sedangkan Benny menyarankan untuk menawarkan future value kepada calon pegawai, seperti menawarkan bagian saham. Cara ini juga disetujui oleh Kevin, ia juga menambahkan untuk merekrut ia akan mencari melalui LinkedIn dan mendekati secara langsung calon pegawainya.
Ia juga menyarankan untuk terbuka kepada calon pegawai tentang kondisi perusahaan saat ini, nilai dari valuasi perusahaan, dan hal yang bisa diraih bersama jika sang calon pegawai bergabung.
Selain itu Benny juga menekankan bahwa setelah merekrut talenta yang harus dilakukan adalah selalu menyediakan banyak tantangan buat mereka agar mereka tak mudah bosan dan kehilangan semangat saat bekerja. “CTO kami sangat pintar mengangkat sebuah masalah yang harus dipecahkan oleh tim engineering kami.”
Kultur perusahaan
Salah satu daya tarik kuat adalah startup adalah kultur atau budaya perusahaan yang berbeda dengan korporat. Startup terlihat menyenangkan dan santai, namun tetap harus memenuhi target. Untuk itu setiap startup memiliki kulturnya sendiri, dan tugas CEO menyeimbangkan fun dengan inovasi terus menerus, serta target yang tercapai.
Dijelaskan Kevin, Bridestory memiliki kultur bahwa karyawan dapat menentukan KPI sendiri, dan bisa memilih untuk bekerja sama dengan departemen lainnya untuk mencapai KPI tersebut. “Kolaborasi yang terbuka dan diskusi terbuka menjadi kultur kami,” ujar Kevin mantap.
Bornevia memiliki kultur untuk selalu bekerja dalam menghasilkan produk yang terbaik. Dalam meraih hal tersebut Benny mengatakan dibutuhkan sekumpulan high perfomance people. “Orang-orang dengan perfoma tinggi butuh kebebasan. Mereka butuh kebebasan untuk berkarya, berikan itu kepada mereka,” ujar Benny.
Sedangkan Touchten memiliki kultur yang agak “nyeleneh”. Anton mengatakan ia memiliki co-founder yang cukup “gila” dan bisa meyakinkan bahwa startup yang mereka kembangkan itu seperti sebuah agama. “Jadi kami menjalankan perusahaan seperti sebuah sekte, dengan keyakinan yang kuat,” tutur Anton dengan jujur yang disertai gelak tawa peserta diskusi.
Sebagai penutup diskusi, dibagikan beberapa saran untuk para pelaku startup, yaitu untuk jangan pernah mendirikan startup hanya karena ingin terlihat keren dan hidup santai. Startup berdiri untuk menyelesaikan masalah, untuk menjadi sukses para pelaku startup harus fokus kepada hal tersebut. Uang dan kesuksesan akan mengikuti di belakangnya.