Perusahaan rintisan atau startup biasanya identik dengan lingkungan kerja yang fleksibel, gaya berpakaian yang santai, dan punya fasilitas yang tak dimiliki perusahaan. Misalnya, fasilitas gym dan ruang bermain game. Kedengarannya sangat seru.
Berbagai keuntungan di atas pula yang biasanya diasumsikan sebagai salah satu alasan mengapa sebagian orang merasa nyaman bekerja di startup dan hijrah dari pekerjaan lamanya sebagai karyawan kantoran.
Selain itu itu, ada pula stigma budaya startup yang dianggap menyenangkan karena mewakili “kebebasan” karyawan dalam bekerja. Tak heran, kebanyakan startup berisikan talent-talent anak muda.
Untuk mematahkan stigma di atas, Head of Talent Journey Bukalapak Engelbertus Panggalo berbagi cerita seputar perekrutan talenta atau sumber daya manusia (SDM) di startup pada sesi #SelasaStartup kali ini.
Memberikan ruang untuk berkembang
Menurut Engel, sapaan akrabnya, setiap talent memiliki goal berbeda dalam bekerja. Termasuk di antaranya adalah mengembangkan kemampuan di dalam perusahaan.
Apabila talent ingin berpindah ke startup lain, ia menilai hal itu tidak semata-mata dapat diselesaikan dengan menaikkan gaji atau memberikan fasilitas mewah lain.
“It’s beyond money dan fasilitas-fasilitas yang ada. Tetapi, apa yang mereka cari. Kalau talent merasa tidak berkembang di perusahaan, mereka bisa saja keluar,” ungkapnya.
Untuk menghindari potensi di atas terjadi, di Bukalapak sendiri, perusahaan memiliki tim khusus yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan setiap talent.
Pihaknya juga membudayakan “coaching each other” di mana setiap talent dapat saling berbagi pengetahuan meskipun berada di divisi yang berbeda.
“Fasilitas dan kultur kerja bukan satu-satunya hal untuk mempertahankan talent, tetapi bagaimana mereka dapat saling berkembang dan berbagi pengetahuan. Kita membangun organisasi yang knowledge sharing,”
Startup bukan sekadar fasilitas dan budaya kerja
Engel melanjutkan, bekerja di startup ternyata juga memiliki motivasi lain, yaitu menumbuhkan nasionalisme. Hal ini berlaku bagi mereka yang bekerja di startup dalam negeri, seperti Bukalapak.
Hal ini pula yang ingin ditekankan perusahaannya saat mencari talent baru. Bahkan tak sedikit, talent-talent yang bekerja di startup memiliki latar belakang sebagai pekerja korporat atau pegawai negeri sipil (PNS).
“Ketika kita mau engage dengan talent, justru yang kita tekankan adalah bukan mencari tempat kerja yang keren, tetapi apa yang bisa kita lakukan untuk negara, a place they can contribute,” paparnya.
Memahami generasi milenial
Generasi milenial bekerja industri startup bukanlah hal baru. Kebanyakan industri ini memang diisi oleh anak-anak muda yang dianggap sesuai deng. Sayang, anak-anak muda justru diidentikkan sebagai pribadi yang cepat bosan dan mudah berpindah kerja.
Hal tersebut justru membentuk stigma bahwa generasi milenial merupakan generasi yang suka bereksperimen, namun mudah bosan dalam lingkungan pekerjaan.
Secara personal, Enggel melihat hal ini dari perspektif berbeda. Mengutip riset Harvard Business Review, generasi milenial justru sering berpindah-pindah sebagai efek terpaparnya teknologi begitu cepat, seperti internet.
Menurutnya, generasi milenial juga merupakan generasi yang paling cepat mengadopsi teknologi. Maka tak heran, sumber informasi kini mudah didapat berkat kehadiran media sosial, seperti LinkedIn, Facebook, dan Twitter.
“Meskipun generasi ini melek teknologi, sebetulnya yang mereka inginkan sama saja (di perusahaan), yaitu gaji, kompensasi, work-life balance, dan ada purpose-nya,” ungkap Engel.