Biasanya dalam suatu organisasi butuh indikator untuk mengetahui efektivitas kinerja karyawannya. Ada ritual tahunan bernama performance appraisal (PA) untuk memberikan nilai dan rating kepada seluruh karyawan, yang berujung adanya reward atau punishment.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ritual ini cukup memakan waktu administrasi dan birokrasi. Hingga pada akhirnya, menggantikan esensi utamanya untuk mengembangkan talenta dan mengelola karyawan untuk kesuksesan perusahaan.
Terlebih, metode PA ini sering diasosiasikan dengan KPI yang merupakan alat ukur performa kerja dan lumrah dipakai perusahaan. Akan tetapi, belakangan ini mulai tenar tools lain yang dianggap lebih adil buat semua pihak dan terbukti telah membawa perusahaan jauh lebih cepat berinovasi dalam waktu singkat.
Tools tersebut bernama OKR (Objective and Key Results). Ini bukan alat evaluasi, tapi alat bantu untuk mengukur sejauh apa yang dilakukan demi mencapai target perusahaan.
Meski bentuknya berbeda, namun OKR dan KPI sama-sama indikator penting untuk mengetahui kemajuan perusahaan. Keduanya juga berguna untuk memacu setiap pihak yang terlibat dalam perusahaan agar lebih produktif, sembari tetap mencapai target yang realistis.
Oleh karenanya, baik KPI dan OKR dapat menjadi komplementer satu sama lain, tanpa harus dibanding-bandingkan. Untuk mendalami OKR, DailySocial berbincang langsung dengan praktisinya Mulyadi Oey, Founder dari Product Narrative.
Startup lokal yang baru berumur setahun ini punya produk OKR Coaching, product management, dan narrative building. Ketiganya ini berujung pada keinginan misi perusahaan agar setiap karyawan paham seperti apa koneksi mereka dengan perusahaan.
Dari segi pengalaman, Mulyadi pernah bekerja di perusahaan teknologi di Silicon Valley, dalam proses kesehariannya menggunakan OKR dan terbukti sukses. Dia pun pernah merasakan kegagalan meski sudah menerapkan OKR.
1. Pengenalan OKR
OKR merupakan kerangka penetapan tujuan buat perusahaan yang sangat sederhana, dipopulerkan oleh venture capitalist legendaris John Doerr dalam buku berjudul “Measure What Matters”.
Ketika itu, awareness di tingkat global terhadap OKR cukup tinggi karena sudah diterapkan banyak perusahaan internet raksasa, sebut saja ada Google, Intel, Adobe, LinkedIn, Twitter, Airbnb, juga perusahaan ritel seperti Walmart. Namun konsep ini belum begitu dikenal di Indonesia.
OKR terbagi menjadi objective dan key results (KR). Mulyadi memberi contoh dengan mudah. Objektif itu singkatnya adalah gol yang kamu tetapkan, bagaimana direksi sebuah perusahaan atau tim mau ke arah mana. Sementara KR menandakan hasilnya.
“Untuk capai satu gol yang kamu pikirkan, ada tiga tanda-tanda atau hasil yang kamu buat agar gol tersebut tercapai.”
OKR bersifat open source, artinya semua orang bisa adopsi sesuai kebutuhan dan kultur perusahaan. Tidak lisensi apapun yang harus dibayar. Namun dengan catatan, disiplinnya sesuai dengan mindset yang mau dibangun OKR.
2. Menentukan objective dan key results
Dalam menetapkan objective, disarankan mengandung kata-kata yang menginspirasi karena menjadi sumber motivasi dan bisa menantang tim untuk melakukan yang terbaik agar tercapai.
Contohnya, bandingkan antara “Ingin turun berat badan 15 kilogram” dengan “Menurunkan berat badan 15 kilogram agar terlihat prima saat menikah.” Mana yang terdengar lebih menarik? Tentu yang kedua, bukan?
Walaupun hanya sekadar kata-kata, tapi bayangkan apa yang tim rasakan ketika pemimpinnya hanya mau bilang “target omzet naik 10%”. Dibandingkan dengan “target omzet naik 10% karena apa yang kita lakukan bantu 100 ribu orang di sekitar saya”.
“Nah nanti di KR bisa diukur dengan KPI. Banyak orang yang bilang KR itu adalah KPI-nya.”
Objective pun harus punya arahan, mau kurun waktunya sebelum diganti dengan yang baru. Ada yang tiap minggu punya satu objektif, ada yang dua minggu sekali. Bahkan ada yang satu kuartal sekali dengan lima KR. Semuanya melihat kembali kebutuhan masing-masing.
Tapi idealnya, satu objektif punya tiga KR. Bila lebih dari itu, menjadi tugas tim Mulyadi untuk menanyakan kembali. Bukan bilang benar atau salah karena timnya memosisikan diri sebagai coach.
“Kami bantu cara mereka berpikir agar mereka dengan sendirinya dapat jawaban, yang kami fasilitasi dalam bentuk pertanyaan dan dukungan supaya mereka menemukan kejelasan dalam berpikir.”
3. KPI jadi komplementer
Mulyadi menegaskan bahwa dia tidak mengunggulkan OKR dibandingkan KPI. Mengingat, dia secara pribadi pernah mengalami kegagalan meski menggunakan OKR. Banyak perusahaan yang selama ini nyaman memakai KPI dan terbukti sukses, demikian juga yang pakai OKR.
Ada yang selama ini menggunakan OKR tanpa sadar bahwa itu sebenarnya adalah OKR dan terbukti sukses juga. Bahkan ada perusahaan yang tidak menjalani keduanya, tapi tetap sukses. Semuanya kembali ke perusahaan itu sendiri, bergerak di industri mana, berapa jumlah timnya, dan banyak lagi faktornya.
“Sebagai pemimpin sebaiknya lihat mana yang cocok. Cari mindset yang cocok untuk tim, sebab yang cocok di perusahaan lain belum tentu cocok dengan perusahaan kita.”
Bila memakai analogi, KPI itu seperti indikator mobil yang memberitahu Anda jika mobil masih punya cukup oli, bahan bahar, dan sebagainya. Sementara OKR adalah GPS untuk navigasinya. Jika level KPI menunjukkan Anda kehabisan bensin, Anda perlu navigasi untuk mencari ke pompa bensin terdekat.
4. Disusun transparan dan mudah dimengerti
OKR disusun agar mudah dimengerti berbagai pihak karena OKR menjunjung tinggi transparansi. Ada guideline yang jelas dalam bekerja, sehingga memudahkan tim dalam memantau sejauh mana usaha yang telah dilakukan dengan target yang akan dicapai.
Secara rutin, tergantung target penetapan OKR, selalu ada evaluasi yang uniknya bukan atasan yang memberi nilai tapi diri sendiri. Diri Anda sendiri akan memberi nilai atas apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu tersebut.
Nanti atasan yang akan bertanya dengan janji Anda yang tertulis lewat OKR di pekan sebelumnya, sekarang nilai berapa. Serta memberi masukan seharusnya nilai yang Anda terima, apabila dirasa benar-benar membawa manfaat.
Sementara bila tidak menggunakan konsep OKR, justru hanya akan jadi saling bercerita. Karena setelah atasan bertanya, apa saja yang sudah Anda dilakukan, jadi memancing Anda untuk bercerita. Sistem evaluasi di OKR, akan menjadi transparan karena sistemnya terbuka dan bisa dilihat orang lain.
“Jarang ada budaya atasan yang mau bilang, ‘Saya mau kerjain ini’. Lalu dinilai sendiri kerjanya buruk atau baik. Nah OKR memfasilitasi itu karena konsepnya open source.”
Ketika seluruh fokus dan nilai karyawan tercatat dalam dokumen OKR yang bisa dilihat oleh siapapun, bisa permudah tim HR ketika performance appraisal digelar. Sehingga waktu yang mereka habiskan tidak terlalu banyak.
5. Menciptakan komunikasi
Umumnya, ketika tim sudah menentukan KPI untuk satu kurun waktu tertentu, fokus akan beralih sepenuhnya buat capai itu. Padahal sebetulnya, komunikasi tim itu penting dalam rangka membangun perusahaan, saling memberi info apa saja yang terjadi di kompetitor dan industri.
OKR memfasilitasi terjadinya percakapan tersebut, yakni lewat diskusi antara atasan dengan anggota tim, bahkan dengan lintas divisi lain ketika melakukan evaluasi rutin. Apalagi buat perusahaan teknologi, atau perusahaan yang memerlukan inovasi dari pemikiran para karyawan, sangat cocok untuk menerapkan OKR.
“Kadang kita pergi ke leadership training, dan dapat input bahwa sebagai leader yang baik harus bisa delegate, berkomunikasi yang jelas. Itu benar banget. Kadang kita tahu teorinya dan dikasih tahu caranya, tapi keadaan di lapangan belum menjanjikan kita untuk mempraktikkan. Nah OKR memfasilitasi itu.”
Saat komunikasi sudah lancar dan antar anggota saling memberi masukan, maka konsep berikutnya yang bisa diterapkan adalah CPM (Continous Performance Management). Dari tiga pilar yang dibangun dalam CPM, dua di antaranya ini hanya terjadi kalau karyawan sudah memberikan feedback yang kontinu.
“Ada perusahaan yang berbincang dengan kita mau mulai pakai CPM. Idenya baik, tapi pertanyaannya kondisi di lapangan apakah sudah disiapkan atau belum.”
6. Kapan saatnya memakai OKR?
Mulyadi berpendapat, OKR sebaiknya diterapkan saat staf perusahaan masih sedikit, bahkan bisa mulai dari diri sendiri, tapi dengan catatan ada orang lain untuk bantu penilaiannya. Dengan kehadiran OKR, proses meeting kantor akan jauh lebih efektif dan tidak bertele-tele karena sudah tahu apa yang akan dibahas dan mudah memantaunya.
Lalu, ketika ingin mulai baiknya mulai dari atas ke bawah. Artinya, dari atasan dulu yang menyamakan mindset-nya dengan OKR. Tools yang dipakai untuk mencatat OKR bisa sangat sederhana, pulpen dan kertas saja. Ada juga Spreadsheet dari berbagai platform asal mudah dipakai dan bisa dilihat semua orang.
“Kalau bisa jangan tentukan tools-nya dulu karena kalau di tengah ada hambatan, kita suka cenderung menyalahkan karena tools jelek jadinya susah untuk melakukan OKR. Arahan dari kami tentukan guidance-nya dulu, baru cari tools, jadi di balik.”
Hasil yang bisa dirasakan setelah mengadopsi OKR juga tidak bisa dikatakan instan. Ada yang butuh waktu enam sampai 12 minggu untuk lihat hasilnya. Ada juga yang butuh berbulan-bulan untuk benar-benar merasakannya.
“Kalau dari awal merasa gagal lebih baik tidak usah dilakukan. Lebih baik cari tahu dulu. Kalau sudah, baru dicoba, nanti ada fair chance untuk berhasil.”
Mulyadi pun menutup diskusi kami. Dia bilang, OKR itu sudah begitu membudaya di Google. Alhasil, ketika ada karyawan yang resign dari sana, pasti menjalani OKR di perusahaan barunya. Indonesia bisa memanfaatkan momentum tersebut dari pertumbuhan startup yang pesat, dengan menanamkan OKR dalam manajemen kerjanya.
“Ini jalannya lagi baik. Kalau berhasil, kita ini seperti sedang menanamkan suatu mindset baru untuk calon leader di masa depan,” tutupnya.