Minggu lalu, di IESE, Badan Ekonomi Kreatif meluncurkan platform Telinga Musik Indonesia, disingkat TELMI. Dari yang bisa saya baca dari liputan yang ada di media, pada dasarnya platform TELMI ini terdiri dari dua komponen:
- hardware, berupa sebuah kotak internet-enabled yang kelihatannya dibuat dari platform Arduino atau Raspberry Pi, yang bertugas merekam lagu yang sedang dimainkan di sekitarnya dan mengirimkan ke aplikasi TELMI
- software aplikasi TELMI, berupa web-based application yang bertugas untuk menerima rekaman lagi dari hardware TELMI, mengenali lagunya apa, dan merekam ke dalam database.
Secara hukum (menurut UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014), pencipta lagu, produser dan artis berhak mendapatkan sebuah royalti saat lagu mereka diperdengarkan ke umum di ruang komersil seperti hotel, restoran dan kafe. Selama ini, implementasi pengumpulan royalti ini. baik berdasarkan UU no. 28 tahun 2014 ataupun UU Hak Cipta sebelumnya, masih kurang efektif, karena beberapa hal:
- sosialisasi atas hak royalti ini ke pihak hotel, restoran dan sebagainya masih kurang luas
- dalam pengelolaan pengumpulan royalti sebelumnya, metode-metode yang digunakan masih kurang tepat (dari cara pengumpulan royalti yang, um, agak preman, sampai formula perhitungan royalti yang tidak transparan)
- distribusi royalti yang tidak transparan
Semangat dari UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah perbaikan pengumpulan royalti ini, yang sering diistilahkan public performance, dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan para komisionernya.
Salah satu tugas LMKN ini adalah menentukan tarif besaran royalti, yang setahu saya sampai saat ini belum diputuskan secara final. Namun, perangkat hukum dan birokrasi ini memang perlu ada dahulu sebagai fondasinya.
TELMI ini sebenarnya sebuah terobosan, karena akhirnya ada jawaban dari industri teknologi terhadap kebutuhan dari industri musik. Kebanyakan perusahaan teknologi yang ada lebih mencari peruntungan dengan menawarkan sesuatu langsung ke konsumen, yang pada akhirnya berkisar pada layanan musik download maupun streaming, dan perusahaan teknologi yang melakukan sesuatu yang lain masih sangat sedikit; mungkin karena ketidaktahuan komunitas teknologi mengenai masalah dan kesempatan dalam industri musik (bukan salah mereka, karena industri musik sendiri terkadang lupa akan berbagai kesempatan lain dalam industrinya sendiri).
Tapi kok…
Masalah pertama
Saya melihat diagram dari artikel ini (yang entah dari mana dapatnya, mungkin dibuat sendiri) dan seperti ada yang kurang.
Kotak TELMI diletakkan di sumber musik, yang akan merekam lagu, mengirimkannya ke aplikasi TELMI, yang dengan teknologi song fingerprinting seperti yang dimiliki Shazam, akan mengenali lagu tersebut dan memasukkannya dalam laporan. Laporan ini kemudian dapat diakses oleh pencipta lagu, produser, komposer dan musisi. Laporan ya, bukan uang. TELMI tidak mengumpulkan uang dan lebih berupa teknologi pengawasan/monitoring.
Yang melakukan pengumpulan uang dari pengguna musik seperti hotel, restoran dan sebagainya? Para Lembaga Manajemen Kolektif, sesuai persetujuan dari LMKN.
Dari liputan para media pun, Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengatakan bahwa TELMI itu untuk memberikan gambaran royalti yang bisa didapat oleh para musisi. Ya ini hanya satu langkah dari beberapa langkah yang perlu dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan LMKN dan para LMK.
Siapa yang akan melakukan koordinasi? Apakah LMK melakukan pengumpulan laporan secara independen? Kalau ada perbedaan laporan gimana?
Masalah kedua
Ini bukan pertama kali pengawasan pemerintah berupa kotak berisi elektronik diletakkan dalam ruang-ruang komersil — pengawasan pajak sudah melakukan ini dengan memasang kotak yang mencatat transaksi pada kasir. Sebuah kotak berisi elektronik, yang tetap membutuhkan listrik, dan tetap membutuhkan sang pemilik usaha untuk menyalakannya dan memastikan kotak tetap nyala.
Bukan tidak mungkin, tapi tetap memerlukan perangkat pengawasan lain berupa hukuman dan insentif. Ini sudah ada atau belum? Dan di bawah wewenang siapa?
Masalah ketiga
TELMI beroperasi dengan mendengarkan lagu yang diputar. Nah, di ruang komersil seperti cafe atau restoran, ada yang menyetel lagu dari CD/MP3/file digital, ada pula dari live music. Apakah penerapan teknologi listening dan song fingerprinting ini akan selalu tepat guna?
Ada beberapa perusahaan di luar negeri yang melakukan sesuatu yang jauh lebih praktis untuk pemilik usaha: pengelolaan playlist lagu dan streaming dengan alat khusus, langsung ke sound system para pemilik usaha. Pencatatan lagu dapat lebih akurat (nggak perlu pakai song fingerprinting, wong lagunya dari server), pemilik usaha juga mendapatkan sebuah layanan yang mempermudah dan memperkuat usaha mereka, bukan cuma “dipalak” karena nyetel lagu. Mungkin gabungan teknologinya TELMI dan layanan streaming khusus bisnis ini bisa lebih cocok?
Masalah keempat
Song fingerprinting sangat tergantung database lagu yang lengkap, dari data fingerprint itu sendiri, sampai informasi seperti judul lagu, nama artis, pencipta lagu, publisher, dan seterusnya. Apakah database seperti ini sudah ada? Belum ada yang komprehensif.
Rasanya ini lebih mendesak untuk dibangun, dan lebih dekat pada kepentingan nasional (bukan saja kepentingan industri, tapi juga sebagai rekam budaya, misalnya). Informasi seperti ini malah lebih fokus dikumpulkan oleh layanan streaming/download, ataupun lembaga seperti Irama Nusantara. Rasanya ini lebih penting pada fondasi tadi, ketimbang memikirkan end user applications.
Masalah kelima
Yang membuat TELMI canggih, menurut saya, adalah song fingerprinting. Tapi menurut saya, ada kegunaan yang lebih cocok, yaitu media monitoring. Pasangkan aplikasi TELMI dengan seluruh siaran radio terestrial maupun online, sehingga kita benar-benar tahu lagu apa sedang disetel di radio mana dan kapan. Top 10 yang resmi dan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Data ini berguna untuk pendengar musik, pelaku industri musik, brand maupun perusahaan riset. Teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk media monitoring iklan — berapa kali sebuah iklan radio (atau TV) tayang? Jual data ini ke perusahaan riset atau langsung ke brand. Jadi satu startup deh.
Memang, menjadi komentator sesuatu yang sudah jadi memang sangat mudah. Ah kurang ini, harusnya seperti itu, dan setelah itu puas karena sudah merasa lebih pintar ketimbang yang membuat. Di zaman penuh teknologi ini, terkadang masalah dan kekurangan pada sebuah produk teknologi baru jelas terlihat saat sudah dibuat dan dilempar ke pasar.
Ide — dan komentar — itu murah dan mudah didapat. Membuat sesuatu, apalagi punya nilai guna yang baik ke orang lain, itu yang susah. Berkarya tak mudah dan tak akan luput dari kritisi. Saya nggak mau sok lebih pintar, karena belum tentu juga saya bisa mengerjakan ini sendiri. Demi industri musik yang lebih luas, kompeten, berkesinambungan, interconnected, dan transparan.
–
Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.
Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.