Dark
Light

Teknologi Bukanlah Hal Remeh bagi Startup Digital (Bagian 1)

2 mins read
March 18, 2014

Catatan Editorial: Artikel ini adalah bagian pertama guest post yang ditulis oleh Dondy Bappedyanto, bekerja pada salah satu penyedia jasa komputasi awan di Indonesia, PT Infinys System Indonesia dengan merek dagang InfinysCloud dan CloudKilat.

Ketika merencanakan membuat startup digital, kebanyakan founder di Indonesia selalu terpaku pada rancangan model bisnis, promosi dan pemasaran, akusisi pengguna serta cara mendapatkan investasi. Faktor utamanya tentu saja adalah perencanaan produk/layanan yang ingin disajikan, apakah itu media sosial, e-commerce, situs berbagi gambar, tools produktivitas bisnis, atau yang lainnya. Apakah faktor itu semua sudah cukup untuk bisa meluncurkan sebuah produk atau layanan startup digital?

Secara makro, hal-hal di atas mungkin sudah memenuhi kriteria cukup untuk dapat membuat sebuah produk atau layanan. Meskipun demikian terdapat satu faktor lagi yang sering dilupakan atau malah kadang-kadang dianggap sebagai sesuatu yang dapat dipikirkan belakangan. Hal tersebut adalah faktor Teknologi untuk penyajikan produk/layanan kepada pengguna dengan baik. Mungkin banyak yang berpikir bahwa menentukan platform penyajian (seperti mobile atau web) serta menentukan platform aplikasi dan media penyimpanan (seperti PHP, Python, NodeJS, MySQL, dan MongoDB) dapat dianggap cukup sebagai pondasi.

Dengan banyaknya aplikasi, baik itu open source maupun proprietary, dan contoh kode pemrograman yang tersebar luas di Internet, kebanyakan founder menilai faktor pondasi ini merupakan faktor yang kurang penting dibanding dengan faktor-faktor lain seperti bisnis inti, pemasaran atau mendapatkan investasi.

Mari kita mengambil contoh skenario pembuatan sebuah startup e-commerce. Teknologi hampir pasti akan menjadi prioritas nomor kesekian setelah faktor supply chain (pengadaan, inventori, pembayaran dan pengiriman). Beragamnya aplikasi e-commerce yang beredar, baik itu berupa open source yang gratis untuk dipakai dan dimodifikasi serta proprietary yang berbayar, menjadikan para founder (serta mungkin pemegang saham) menganggap hal ini merupakan hal yang mudah dengan asumsi sudah ada dan bisa langsung dipakai.

Apabila memerlukan modifikasi agar dapat menunjang alur kerja dan bisnis, hal ini bisa dilakukan dengan segera dan dengan biaya yang murah. Ketersediaan programmer atau kemudahan untuk membayar pembuat aplikasi agar memodifikasi sesuai dengan alur bisnis merupakan anggapan yang lumrah terjadi. Di sinilah kegagalan suatu startup digital seringkali terjadi, paling tidak dari sisi teknologi.

Anggapan bahwa teknologi itu bukan suatu yang penting atau sangat mudah untuk diurus dapat menjadi sebuah sabotase diri akan kesuksesan sebuah startup digital tersebut di kemudian hari. Kita kembali lagi ke skenario startup e-commerce tadi. Apabila jumlah barang masih ratusan maupun ribuan atau jumlah pengunjung situs masih dalam hitungan ratusan per hari, mungkin aplikasi yang dipilih beserta dengan atributnya (database, bahasa pemrograman) masih dapat bekerja dengan sempurna. Itupun dengan asumsi server yang dipakai serta bandwidth-nya memadai untuk diakses oleh pengguna-pengguna tersebut (urusan server ini mungkin akan jadi tulisan tersendiri di lain waktu).

Dengan asumsi positif, bahwa e-commerce ini kemudian sangat sukses, terjadi pertanyaan menarik di sini. Bila jumlah barang mencapai ratusan ribu dan jumlah pengunjung serta pembeli mencapai ribuan per hari, akankah aplikasi yang tadi dipakai tetap dapat bekerja dengan sempurna. Anggaplah dari sisi server sudah memakai teknologi komputasi awan yang dapat di-scale kapan saja dengan mudah. Apakah aplikasinya juga akan ikut ter-scale ? Apakah strategi scaling yang akan dipilih? Apakah aplikasi tersebut sudah dites dengan strategi scaling yang dipilih untuk bisa melayani ribuan user pada saat yang bersamaan?

Logika awam mungkin akan mengatakan ketika situs e-commerce tersebut mulai sukses dibanjiri oleh pengunjung dan pembeli maka pada saat itulah mulai dapat memikirkan teknologi yang diusung secara serius. Sebuah pemikiran yang benar tetapi mengandung risiko. Bagaimana apabila ketika baru mulai sukses, situs e-commerce tersebut sudah susah diakses oleh pengunjung, baik itu loading halaman yang lambat ataupun terjadi kesalahan ketika memilih tautan yang ada di salah satu halaman?

Kecuali e-commerce tersebut mempunyai barang yang sangat unik dan jarang dijual di pasaran atau barang yang dijual mempunyai harga yang sangat murah sekali dibanding harga yang ada di pasaran, kemungkinan pengunjung tidak akan kembali ke situs itu. Walaupun pengunjung mungkin akan kembali karena alasan-alasan lain, telah terjadi cedera terhadap citra situs e-commerce tersebut.

Apabila kejadian tersebut hanya sekali atau dua kali mungkin sebagian pengunjung akan dapat memaafkan. Jika kejadian ini terjadi berulang kali, bisa jadi gerbang kesuksesan yang telah terbuka lebar akan kembali tertutup dan pengunjung akan mempunyai anggapan bahwa situs e-commerce tersebut tidak dikelola secara profesional.

Dondy Bappedyanto, bekerja pada salah satu penyedia jasa Komputasi Awan di Indonesia, PT Infinys System Indonesia dengan merek dagang InfinysCloud dan CloudKilat. Dondy juga aktif menjadi narasumber ahli dan pembicara di banyak acara IT seputar komputasi awan.

[Ilustrasi foto: Shutterstock]

Previous Story

JFDI Dapatkan Suntikan Dana Investasi USD 2,1 Juta Untuk Startup Asia Tenggara

Next Story

Layanan Digital Terus Jadi Andalan XL Axiata, Segera Hadirkan Gudang App dan XL Xmart Village

Latest from Blog

Don't Miss

Blibli rayakan ulang tahun ke-12

Ulang Tahun ke-12, Blibli Hadirkan Program “Blibli Annive12sary”

Dengan persaingan yang semakin ketat, eksistensi sebuah e-commerce di Indonesia
TikTok Shop

TikTok Shop Tingkatkan Fitur dan Fasilitas Menjelang Tahun Ketiganya di Indonesia

TikTok merupakan salah satu media sosial yang paling digandrungi saat