Bagaimana Hiburan dan Teknologi Diharapkan Membentuk Budaya yang Ideal?

Game tidak dianaktirikan. Pemerintah Tiongkok juga memperketat regulasi di berbagai sektor lain, termasuk hiburan dan teknologi

Bagi sebagian orang tua, game adalah momok nomor satu, sumber dari segala masalah pada anak mereka. Anak malas belajar? Pasti karena game. Anak tidak mau mendengarkan orang tua? Pasti karena game. Anak senang bertengkar? Pokoknya, pasti karena game. Dan karena game adalah sumber dari semua masalah pada anak -- terlepas dari fakta bahwa sekarang, game juga menjadi alat komunikasi -- maka pemerintah seharusnya melarang anak bermain game.

Pemerintah Tiongkok mengabulkan harapan orang tua tersebut. Pada 1 September 2021, National Press and Publication Administration (NPPA) mengeluarkan regulasi baru terkait lama waktu main gamers di bawah umur. Dalam regulasi itu, anak dan remaja di bawah umur hanya bisa bermain game selama 3 jam seminggu dari 13,5 jam per minggu. Kami pernah membahas tentang efektivitas serta dampak dari regulasi itu pada industri game dan esportsdi sini.

Sekarang, saya akan membahas tentang bagaimana pembatasan waktu main game anak dan remaja hanyalah salah satu bagian dari usaha pemerintah Tiongkok untuk mengubah budaya masyarakat. Pasalnya, dalam beberapa bulan belakangan, pemerintah Tiongkok tidak hanya memperketat regulasi terkait game, tapi juga sektor lain, termasuk hiburan dan teknologi.

Apa Saja Perubahan yang Pemerintah Tiongkok Lakukan?

Pembatasan waktu main untuk gamers di bawah umur bukan satu-satunya regulasi di industri game yang pemerintah Tiongkok ubah. Mereka juga memperketat proses peninjauan untuk game yang hendak diluncurkan di Tiongkok. Selama ini, game yang hendak diluncurkan di Tiongkok memang harus ditinjau lebih dulu oleh pemerintah. Untuk mendapatkan persetujuan pemerintah, sebuah game harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, mulai dari bahasa yang digunakan -- game harus menggunakan bahasa Mandarin -- sampai isi konten dalam game. Dan sekarang, peraturan itu diperketat.

Hal ini dikabarkan oleh South Morning China Post, berhasil mendapatkan memo internal dari asosiasi gaming di bawah pemerintah Tiongkok. Dalam memo itu, disebutkan bahwa game bukanlah "hiburan murni". Karena itu, konten dalam game harus menunjukkan nilai yang "benar", sesuai dengan sejarah dan budaya Tiongkok. Dalam memo itu juga disebutkan bahwa game yang menampilkan pria kemayu atau cerita romantis antara sesama jenis akan dilarang untuk diluncurkan.

"Jika gender dari sebuah karakter ambigu dan tidak bisa langsung diketahui dari penampilan karakter, maka desain karakter itu akan dianggap bermasalah dan game tersebut akan ditandai," tulis memo itu, seperti dikutip dari Games Industry. Selain tentang penampilan karakter, pemerintah Tiongkok juga melarang game berbau kekerasan yang memberikan pilihan pada pemain untuk menjadi "orang baik" atau "orang jahat."

"Beberapa game punya konsep moral yang ambigu. Pemain bisa memilih apakah mereka ingin menjadi orang baik atau orang jahat... Tapi, kami merasa, pilihan itu tidak seharusnya diberikan pada para pemain. Jadi, hal ini harus diubah," tulis memo tersebut.

Ke depan, pemerintah TIongkok akan melarang munculnya karakter laki-laki yang tidak maskulin.

Meskipun pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait industri game, hal itu bukan berarti industri game dianaktirikan. Faktanya, pemerintah Tiongkok memang tengah sibuk untuk memperkencang regulasi di berbagai bidang. Salah satunya adalah sektor hiburan.

Pada 2 September 2021, National Radio and Television Administration (NRTA) memberitahu perusahaan TV dan plaatform internet bahwa mereka harus menyeleksi artis dan bintang tamu yang hadir dalam acara mereka dengan ketat. Aktor atau musisi yang hadir dalam sebuah program tidak hanya harus punya reputasi dan perilaku yang baik, mereka juga harus punya pandangan politik yang benar, sejalan dengan pemerintah Tiongkok.

Selain itu, NRTA juga merilis rencana untuk mengubah regulasi di dunia hiburan. Rencana itu terdiri dari delapan poin, yaitu:

  1. Radio, TV, dan platform internet tidak boleh mempekerjakan atau mengundang orang yang punya pandangan politik yang salah, pernah melanggar hukum, atau membahas topik yang bertentangan dengan moral dan regulasi.

  2. Mereka tidak boleh menampilkan program yang dibintangi oleh selebriti cilik. Program hiburan harus punya sistem voting yang ketat. Program itu tidak boleh meminta fans untuk menghabiskan uang atau menjadi anggota dari grup tertentu agar mereka bisa memberikan suara para idola mereka.

  3. Mereka harus mempromosikan budaya tradisional serta menciptakan standar kecantikan yang benar. Mereka juga tidak boleh membahas gosip, menampilkan pria kemayu serta selebriti vulgar atau selebriti yang terlalu memamerkan kekayaannya.

  4. Mereka tidak boleh memberikan gaji yang terlalu tinggi pada para pelaku dunia hiburan. Mereka harus membuat peraturan terkait berapa besar bayaran yang sebuah acara hiburan bisa berikan pada tamunya. Mereka harus mendorong selebriti untuk ikut serta dalam acara amal dan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kontrak ilegal atau orang-orang yang menghindari pajak.

  5. Mereka harus membuat peraturan untuk orang-orang yang bekerja di dunia hiburan. Mereka juga harus memberikan pelatihan profesional serta pengajaran tentang moral. Pembawa acara TV harus punya lisensi dan kegiatan mereka di media sosial diawasi.

  6. Mereka harus mendorong munculnya komentar profesional akan dunia hiburan. Nilai yang harus mereka tekankan adalah pandangan politik yang benar dan menghindari rumor atau komentar jahat. Sebaliknya, mereka harus membangun budaya yang ramah dan positif.

  7. Asosiasi hiburan harus mengkritik artis, penyanyi, dan seniman yang memberikan contoh buruk memberikan pelatihan yang lebih banyak, dan memastikan semua orang mematuhi peraturan yang telah dibuat.

  8. Regulator harus bisa bertanggung jawab dengan mendengarkan keluhan dari masyarakat dan memberikan jawaban dari keluhan tersebut.

Salah satu karakteristik pria kemayu menurut Beijing adalah penggunaan make-up. | Sumber: Koreaboo

Regulasi yang pemerintah Tiongkok tetapkan untuk industri game dan hiburan punya satu poin yang sama, yaitu larangan untuk menampilkan pria kemayu alias sissy men. Salah satu kriteria dari "pria kemayu" yang dimaksud oleh pemerintah Tiongkok adalah laki-laki yang menggunakan make-up atau memiliki gaya yang tidak maskulin, berbeda dengan budaya tradisional Tiongkok.

Memang, tidak semua artis laki-laki Tiongkok punya gaya yang maskulin. Sebagian dari mereka memiliki fashion yang terinspirasi dari aktor dan penyanyi Jepang serta Korea Selatan. Titah pemerintah Tiongkok untuk melarang konten yang menampilkan pria kemayu adalah karena mereka tidak ingin artis atau karakter dalam game untuk memberikan contoh image laki-laki yang tidak maskulin, menurut laporan South China Morning Post.

Pemerintah Tiongkok tidak hanya memperketat regulasi terkait pelaku industri hiburan dan game, tapi juga para fans, khususnya penggemar yang terlalu memuja idolanya. Salah satu bentuk nyata yang pemerintah Tiongkok terapkan adalah melarang remaja ikut serta dalam fan club. Memang, nilai perputaran uang karena kegiatan fans cukup besar. Menurut laporan iResearch Consulting Group pada 2020, besar uang yang terlibat dalam kegiatan fans mencapai CNY4 triliun atau sekitar Rp8.873 triliun pada 2019. Dan angka itu diperkirakan akan naik menjadi CNY6 triliun (sekitar Rp13.300t riliun) pada 2023.

Selain melarang remaja untuk ikut serta dalam fan clubs, pemerintah juga melarang mereka untuk ikut serta dalam voting atau menghabiskan uang untuk mendukung idola mereka. Misalnya, seorang artis menjadi juru bicara dari merek perusahaan tertentu. Fans remaja dilarang untuk membeli produk yang dipromosikan oleh artis itu. Alasan pemerintah melakukan hal ini adalah karena mereka tidak ingin kehidupan para remaja menjadi rusak karena mereka aktif dalam fandom.

Bagi para agensi selebriti, pemerintah Tiongkok mengharuskan mereka untuk aktif dalam mengawasi gerak-gerik fans club. Tak hanya itu, badan agensi selebriti juga diminta untuk mencegah para fans bertengkar dengan satu sama lain. Pemerintah Tiongkok juga menghapuskan ranking selebriti, yang sangat populer di Tiongkok. Pemerintah hanya mengizinkan keberadaan daftar musik atau film terpopuler jika daftar itu tidak menyebutkan nama musisi atau aktor dan aktris yang terlibat secara langsung.

Fan culture akan dibatasi. | Sumber: China Daily

Pemerintah Tiongkok memperketat regulasi di industri game, hiburan, dan lain sebagainya bukan tanpa alasan. Mereka melakukan hal itu karena mereka ingin mengubah tatanan masyarakat. Peixin Cao, profesor di Communication University of China, institusi yang telah mengedukasi banyak talenta dunia hiburan di Tiongkok mengatakan bahwa di dunia hiburan Tiongkok, memang ada selebriti yang melakukan tindakan ilegal atau amoral di bidang politik, ekonomi, atau di ranah pribadi. Jadi, tidak heran jika pemerintah memperketat regulasi terkait dunia hiburan.

Cao mengungkap, selama ini, memang ada grup orang tua dan peneliti ilmu sosial yang ingin agar pemerintah melakukan intervensi di dunia hiburan. Mereka tidak ingin generasi muda terkena dampak buruk dari dunia hiburan. Sayangnya, selama ini, para pelaku dunia hiburan bisa memanfaatkan kekuatan ekonomi dan pengaruh media mereka untuk membungkam suara grup tersebut.

"Saya percaya, masyarakat umum juga merasa tidak suka dengan etos kerja yang buruk di dunia hiburan," ujar Cao, seperti dikutip dari The Guardian. "Orang tua dari remaja mungkin akan lebih merasakan ketidakpuasan tersebut."

Apakah Konten Memang Bisa Mempengaruhi Pola Pikir Masyarakat?

Konten jadi salah satu fokus dari regulasi baru pemerintah Tiongkok di dunia hiburan dan industri game. Contohnya, larangan untuk menampilkan pria kemayu. Pemerintah Tiongkok menetapkan hal itu karena mereka ingin agar opini dan pandangan masyarakat tetap sesuai dengan budaya tradisional Tiongkok, yaitu laki-laki harus tampil maskulin. Pertanyaannya, apakah konten yang dikonsumsi oleh masyarakat -- seperti film dan game -- bisa mempengaruhi pemikiran mereka?

Dalam Critical Media Literacy and Transformative Learning: Drawing on Pop Culture and Entertainment Media in Teaching for Diversity in Adult Higher Education, disebutkan bahwa media hiburan dan pop culture memang bisa dijadikan alat untuk membuat orang dewasa berpikir kritis. Tak hanya itu, media hiburan juga bisa digunakan untuk mengajarkan pesan tertentu pada orang dewasa.

Jurnal itu juga menyebutkan, media bisa digunakan sebagai alat edukasi jika konsumen -- penonton atau pemain -- mau mencerna konten dengan pikiran kritis dan memikirkan pesan yang disampaikan dalam konten. Sebaliknya, media justru bisa memberikan pesan yang salah jika konsumen mencerna konten begitu saja, tanpa berusaha untuk mengerti pesan dalam media yang dia konsumsi. Jadi, media bisa digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu ke penonton atau pemain. Apakah pesan itu baik atau buruk tergantung pada kreator dari konten itu sendiri.

Aktor berkulit hitam dan perempuan masih mendapat diskriminasi di Hollywood. | Sumber: Variety

Contohnya, dalam film, orang-orang berkulit warna sering digambarkan sebagai kriminal atau pecandu narkoba. Hal ini bisa memperkuat stereotipe bahwa orang-orang berkulit hitam atau cokelat memang orang berbahaya. Kabar baiknya, media juga bisa digunakan untuk membuat konsumen sadar akan isu tertentu. Seperti film An Incovenient Truth yang membahas topik tentang pemanasan global. Media memang selalu punya pesan tertentu; baik atau buruk. Yang paling penting, konsumen bisa mengonsumsi media dengan kritis.

Tak hanya film, game juga dianggap bisa mempengaruhi para pemainnya. Karena itu, sebagian kreator game berusaha untuk menyisipkan idealisme mereka dalam game yang mereka buat. Salah satu topik yang menarik para peneliti di bidang psikologis adalah pengaruh game dengan tema kekerasan pada tingkat agresivitas remaja.

Ada banyak studi yang mempelajari hubungan antara agresi remaja dengan game dengan kekerasan. Salah satu model riset yang digunakan adalah General Aggression Model (GAM) oleh Anderson et al. Berdasaarkan studi itu, bermain game dengan kekerasan memang bisa membuat pemainnya menjadi lebih agresif. Beberapa studi lain juga menyebutkan, memainkan game dengan kekerasan bisa memicu sifat agresif pada remaja.

Namun, tidak semua peneliti setuju dengan temuan tersebut. Sejumlah peneliti bahkan mencoba untuk menawarkan sudut pandang baru. Berdasarkan studi Sherry (2001), dampak game dengan kekerasan pada tingkat agresi di remaja tidak besar. Sementara Ferguson (2007) justru menganggap, ada publication bias pada penelitian-penelitian tentang hubungan bermain game dengan kekerasan dan agresi remaja. Publication bias muncul ketika artikel dengan hasil negatif punya kesempatan lebih besar untuk dirilis daripada artikel dengan hasil positif.

Setelah mengajukan ide itu, Ferguson lalu melakukan penyesuaikan publication bias pada studi-studi yang telah dirilis. Hasilnya, studi-studi itu tidak bisa membuktikan hipotesa mereka bahwa game dengan kekerasan memang meningkatkan tingkat agresivitas seseorang. Kemudian, dia mencoba untuk membuat model studi baru yang berbeda dari GAM, yaitu Catalyst Model (CM).

Berdasarkan model CM, faktor genetika seseorang punya pengaruh pada tingkat agresivitas mereka. Orang-orang yang memang memiliki sifat agresif punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan dalam situasi yang menyebabkan stres. Sementara faktor eksternal, seperti game dengan kekerasan, bukan penyebab seseorang menjadi agresif, tapi merupakan katalis yang bisa memicu sifat agresif dalam diri seseorang. Sejumlah studi juga menunjukkan, tingkat agresivitas pada remaja tidak disebabkan oleh eksposur pada game dengan tema kekerasan, tapi oleh kepribadian anti-sosial, tekanan dari teman, atau kekerasan dalam keluarga.

Banyak psikologis yang tertarik mempelajari hubungan antara game dengan kekerasan dan tingkat agresivitas pada pemain. | Sumber: Financial Times

Studi dengan GAM dan CM menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dalam The Relation of Violent Video Games to Adolescent Aggression: An Examination of Moderated Mediation Effect, peneliti Rong Shao dan Yunqiang Wang mencoba untuk menggabungkan hasil penelitian menggunakan model GAM dan CM. Dalam jurnal itu tertulis, eksposur pada game dengan kekerasan memang punya pengaruh pada sifat agresif pada remaja. Namun, pengaruh tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu pemahaman remaja akan kekerasan itu sendiri dan faktor keluarga.

Remaja dengan lingkungan keluarga yang positif biasanya punya sifat ringan tangan dan tidak mudah marah, apalagi sampai menyerang orang lain. Mereka juga lebih memperhatikan moral. Aspek-aspek positif ini membantu mereka untuk memahami kekerasan dalam game dengan sudut pandang yang benar. Karena itu, ketika mereka bermain game dengan kekerasan sekalipun, dampak yang mereka alami minimal.

Sebaliknya, remaja yang hidup di lingkungan keluarga negatif biasanya punya kecenderungan untuk mudah marah dan menyerang orang lain. Karena itu, dampak yang mereka rasakan dari bermain game dengan kekerasan pun menjadi lebih besar. Dari penelitian ini, bisa disimpulkan, sikap agresif pada remaja disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya oleh faktor internal -- seperti genetika -- tapi juga faktor eksternal, seperti keadaan keluarga dan eksposur pada game dengan kekerasan.

Dampak Regulasi Tiongkok yang Ketat

Perubahan regulasi oleh pemerintah Tiongkok menuai tanggapan yang beragam di masyarakat. Di satu sisi, sebagian orang tua merasa senang dengan keputusan pemerintah karena mereka memang menganggap, waktu bermain anak harus dibatasi. Di sisi lain, sebagian orang skeptis akan efektivitas dari regulasi baru dari pemerintah. Pasalnya, masih ada celah dalam peraturan baru dari pemerintah. Anak dan remaja yang ingin bermain game online di luar waktu yang telah ditentukan bisa menggunakan akun dari orang dewasa. Selain itu, pemerintah hanya mengatur waktu main game online, tapi tidak dengan game offline.

"Regulasi ini tidak akan efektif dalam jangka panjang," ujar Xiaoning Lu, Reader in Modern Chinese Culture and Language, SOAS. "Anak-anak mungkin kehilangan kesempatan untuk belajar cara mengekspresikan diri atau mendisiplinkan diri." Menurutnya, keputusan pemerintah Tiongkok juga menunjukkan kemalasan pemerintah untuk membuat regulasi yang lebih sesuai.

Ketika ditanya apakah perubahan regulasi yang pemerintah lakukan di segala sektor merupakan usaha mereka untuk melakukan revolusi budaya, Xiaoning menjawab tidak. Dia menyebutkan, apa yang ingin pemerintah Tiongkok lakukan adalah menghidupkan kembali budaya sosialis. "Tiongkok punya sejarah panjang tentang bagaimana budaya digunakan oleh pemerintah untuk membentuk opini masyarakat dan demi menciptakan 'warga ideal'," ujarnya pada Aljazeera.

Sementara itu, William Yang, East Asia Correspondent, DW News dan President, Taiwan Foreign Correspondents' Club merasa, keputusan pemerintah untuk memperketat regulasi di banyak sektor adalah usaha mereka untuk mencegah pihak non-pemerintah -- seperti pop culture icon atau taipan -- untuk menggerakkan massa dalam jumlah banyak. "Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pemerintah mencoba untuk menghapus fans club online. Alasannya, sebagian dari grup-grup itu terbukti bisa melakukan mobilisasi dan melakukan sesuatu yang dianggap 'di luar kendali' oleh pemerintah," kata Yang.

Salah satu alasan mengapa pemerintah fokus untuk menghapus konten pria kemayu, pria yang tidak tampil maskulin layaknya laki-laki di budaya tradisional Tiongkok, adalah karena mereka khawatir akan pengaruh dari budaya Korea Selatan," ungkap Yang. "Para bintang K-Pop menciptakan fenomena dan budaya fandom yang berpotensi menimbulkan disrupsi. Dalam waktu singkat, para fans K-Pop bisa mengumpulkan banyak uang untuk melakukan sesuatu yang 'tidak bisa dikendalikan', menurut pemerintah. Karena itulah, pemerintah menerapkan peraturan yang ketat."

Salah satu contoh mobilisasi fans K-Pop adalah ketika fans Lisa dari BlackPink mengumpulkan dana sebesar CNY3 juta (sekitar Rp6,6 miliar) pada Desember 2020. Dana itu dikumpulkan untuk merayakan ulang tahun Lisa pada Maret 2021. Dan hal ini tidak hanya terjadi satu kali. Untuk merayakan ulang tahun Lisa di 2020, fans di Tiongkok mengumpulkan uang sebesar CNY1 juta (sekitar Rp2,2 miliar) untuk disumbangkan ke badan amal, lapor All Kpop.

Fans K-Pop bisa mengumpulkan dana dalam waktu cepat. | Sumber: Tirto

Lebih lanjut, Xiaoning menjelaskan, ada perbedaan fundamental tentang ekspektasi pemerintah akan selebriti di Tiongkok, yang memiliki budaya sosialis, dan di negara-negara Barat, yang mengadopsi budaya kapitalis. Di Tiongkok, selebriti tidak hanya dikagumi berkat film, musik, dan konten yang mereka hasilkan. Para selebriti juga dituntut untuk bisa menjaga integritas moral mereka dan menjadi contoh yang baik untuk masyarakat. Karena itulah, pemerintah menganggap selebriti yang punya skandal seksual atau pernah menghindari pajak sebagai sosok yang bermasalah.

Pemerintah Tiongkok punya alasan internal dan eksternal untuk memperketat regulasi di industri game, hiburan, dan sektor lain, menurut Hongwei Bao dari University of Nottingham. Krisis demografi menjadi faktor internal. Saat ini, Tiongkok tengah menghadapi krisis demografi, berupa umur demografi yang menua dan tingkat kelahiran yang rendah.

Pada 2020, tingkat pertumbuhan populasi di TIongkok hanya mencapai 5,38%, yang merupakan rekor terendah sejak mereka melakukan sensus modern pada 1953, menurut laporan Reuters. Tak hanya itu, angka kelahiran di Tiongkok juga sangat rendah, hanya 1,3 anak per perempuan. Angka ini sama seperti angka kelahiran di Jepang dan Italia, yang juga mengalami masalah penuaan demografi. Krisis demografi ini disebabkan oleh peraturan yang pemerintah tetapkan pada 1970-an. Berdasarkan peraturan itu, satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Dampak dari peraturan tersebut kini mulai dirasakan.

Senada dengan Bao, China Tech Investor Podcast, Elliott Zaagman juga mengungkap hal yang sama. Alasan mengapa pemerintah Tiongkok ingin menghapuskan konten yang menampilkan pria kemayu adalah karena mereka ingin mendorong masyarakat untuk menikah dan memiliki anak. "Regulator di Beijing mungkin agak panik karena krisis demografi yang lebih parah dari yang mereka kira. Jadi, mereka mau melakukan apa saja untuk mendorong masyarakat agar mereka mau memiliki anak," ujar Zaagman. "Nilai maskulinitas tradisional adalah menikah dan memiliki anak."

Sementara itu, faktor eksternal yang menyebabkan Tiongkok merasa harus memperketat regulasi di berbagai sektor adalah hubungan antara Tiongkok dan negara-negara Barat yang memburuk. Hal ini justru membuat rasa nasionalisme masyarakat Tiongkok naik.

"Kita semakin sering melihat naratif 'Tiongkok vs negara Barat', baik di dalam maupun di luar Tiongkok. Jika tren ini bertahan, kemungkinan besar, Beijing akan mencoba untuk menonjolkan karakteristik unik mereka sebagai negara jika dibandingkan dengan negara-negara di Barat atau negara Asia lainnya," ujar Bao.

Penutup

Beberapa dekade belakangan, Tiongkok telah melalui transformasi ekonomi dan sosial. Karena itu, nilai budaya mereka mulai berubah. Namun, sekarang, pemerintah Tiongkok ingin menghidupkan kembali budaya sosialis. Untuk itu, mereka memperketat regulasi di berbagai sektor, termasuk game dan dunia hiburan. Pemerintah Tiongkok tampaknya ingin menggunakan budaya sebagai alat untuk membentuk opini masyarakat.

Keputusan ekstrem pemerintah Tiongkok ini didasarkan pada berbagai alasan, seperti krisis demografi dan antagonisme antara Tiongkok dan negara-negara Barat yang semakin memburuk. Selama ini, peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok bersifat absolut. Hanya saja, sekarang, tetap ada pihak yang mempertanyakan efektivitas dari regulasi itu.

Sumber header: The Wire