Hampir semua sektor di Indonesia mulai melirik ke adopsi teknologi. Mulai dari bisnis skala kecil sampai menengah, bisnis perusahaan kelas korporasi hingga pemerintahan menjadikan teknologi sebagai salah satu perubahan yang akan dilakukan organisasi mereka. Di pemerintahan jelas teknologi memegang peranan dalam memangkas birokrasi yang berbelit dan semakin mendekatkan akses ke masyarakat. Untuk bisnis, teknologi berperan lebih penting lagi. Teknologi seolah menjadi dasar paling fundamental dalam inovasi, terlebih lagi bisnis-bisnis digital. Namun layaknya sebuah transformasi, proses adopsi teknologi atau sering disebut dengan transformasi digital menghadapi beberapa tantangan. Berikut beberapa tantangan yang dijumpai dalam proses transformasi digital.
Kultur
Kultur atau budaya adalah tantangan yang mau tidak mau menjadi hambatan pertama dalam proses transformasi digital. Kultur atau budaya di sini juga sering disebut dengan kebiasaan. Ada kebiasaan yang harus dipaksakan berubah ketika memutuskan untuk melakukan transformasi ke arah digital. Yang dapat diartikan pula ada kenyamanan yang terusik dengan transformasi ini. Tantangannya sendiri hadir pada ketakutan mengubah kebiasaan cara lama. Beberapa pemikiran negatif seperti bagaimana nantinya kalau transformasi gagal atau transformasi digital bukan memudahkan tetapi malah menyulitkan akan sering muncul sebagai bentuk ketakutan akan perubahan.
Biasanya kondisi semacam ini akan muncul di organisasi yang memang sudah nyaman dengan cara konvensional. Dan biasanya sering dijumpai pada organisasi yang sebagian anggotanya tidak bisa dengan cepat mempelajari sebuah teknologi. Salah satu yang harus dilakukan untuk mengantisipasi masalah yang dihadapi untuk permasalahan kebiasaan atau kultur ini adalah komunikasi. Pemimpin atau orang yang bertanggung jawab dalam proses transformasi digital harus mengkomunikasikan dengan tim yang lain secara terbuka, termasuk menawari untuk melakukan pelatihan dan peningkatan kemampuan SDM.
Kurangnya dukungan dari pemimpin
Hal ini sebenarnya ada kaitan erat dengan kebudayaan. Yang membedakan mungkin tantangan kali ini hadir dari para pimpin. Beberapa perusahaan atau organisasi sekarang sudah mulai akrab dengan kegiatan browsing, email, chatting, atau bentuk lain dari teknologi yang digunakan sehari-hari, ini akan tidak mungkin terjadi jika pimpinannya sendiri menolak untuk menerapkan. Misal karena dianggap memakan biaya anggaran terlalu besar atau efeknya dirasa tidak sebesar dengan pengerjaan konvensional. Masalah ini mau tidak mau solusinya ada di pimpinan. Orang-orang yang membawa gagasan transformasi digital harus bisa meyakinkan pimpinan mengenai pentingnya transformasi digital.
Kolaborasi antar departemen
Kolaborasi adalah bagian penting dalam transformasi digital. Transparansi dan keterbukaan teknologi digital membawa kemudahan dalam kolaborasi. Sayangnya dalam proses transformasi kolaborasi tidak berjalan semulus yang dibayangkan. Pasti ada beberapa permasalahan yang ditimbulkan, seperti perbedaan kewenangan, izin, dan lain sebagainya. Untuk masalah ini jalan terbaik adalah dengan menghadapinya, dengan demikian akan diketahui letak permasalahan dan bisa diselesaikan secara bersama-sama.
Sumber daya manusia
Teknologi terus berkembang dengan laju yang semakin cepat. Jika organisasi kesusahan dalam mengoptimalkan orang-orang dalam tim untuk melakukan transformasi digital tidak ada salahnya untuk mempekerjakan orang-orang dari luar dengan kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Toh pada akhirnya itu demi kebutuhan organisasi.
Memahami pelanggan
Transformasi digital saat ini dipengaruhi oleh ekspektasi pelanggan. Perusahaan-perusahaan digital seperti Go-Jek, Uber, Airbnb dan lain-lain telah mengubah cara pandang pelanggan dalam mengharapkan sebuah layanan. Bagi perusahaan yang baru saja melakukan transformasi digital dibebankan standar yang berbeda dan terus ditingkatkan.
–
Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk seri penulisan artikel tentang big data.