Selain masalah kecepatan Internet yang selalu tertinggal, ada satu hal lagi yang selalu menjadi sorotan di Indonesia, yakni perbankan. Hingga saat ini hanya sekitar seperempat dari populasi penduduk Indonesia yang mempunyai akses terhadap pelayanan bank meski sudah beroperasi selama berpuluh-puluh tahun. Seiring dengan pertumbuhan teknologi yang semakin pesat, dunia perbankan di Indonesia masih harus menghadapi beberapa tantangan dalam perjalanannya untuk mengadopsi teknologi digital.
Walaupun perkembangan perbankan tak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, bukan berarti pemerintah tak melakukan upaya dalam hal ini. Melalui Bank Indonesia (BI), pemerintah berupaya untuk menggalakkan kehadiran branchless banking dan mobile banking untuk mengakomodasi tren dan kebiasaan di masyarakat modern.
Hasilnya, menurut laporan MEF, 80% responden di Indonesia menyatakan sudah menggunakan sarana mobile banking. Meskipun diangap perkembangannya bagus, tak serta merta mobile banking menjadi salah satu solusi dalam mengatasi salah satu tantangan perbankan di Indonesia, yakni unbanked people.
Terkait hal tersebut, kami berbincang dengan Pre-Sales Head Asia Software AG Jigar Bhansali dan Principal Advisor Financial Services (Singapore) and Customer & Growth Practice Lead (ASEAN) KPMG Tom Mouhsian untuk mengetahui sebenarnya apa saja tantangan yang harus dihadapi oleh dunia perbankan di Indonesia untuk mengadopsi teknologi digital. Di Indonesia sendiri, Software AG telah membantu digitisasi berbagai bank, termasuk Bank Mandiri dan Bank Danamon.
Menurut pendapat Jigar, yang juga diakui oleh Tom, pada dasarnya dunia perbankan di Indonesia masih akan berkutat pada tiga hal, yakni Customer Data, IT Integration, dan Unbanked People dalam perjalanannya mengadopsi teknologi digital.
1. Customer Data
Industri apapun ketika masuk ke dalam suatu pasar yang baru harus dapat memahami konsumen mereka. Ketika industri tersebut ‘tahu’ konsumennya seperti apa, maka akan lebih mudah bagi mereka dalam melancarkan strategi bisnisnya. Sayangnya hal ini masih belum terlihat di dunia perbankan kita menurut Jigar.
Jigar mengatakan:
“Saat ini kebanyakan bank di Indonesia masih kesulitan dengan data dan informasi konsumen. Misalnya data seperti apa konsumen Anda (perilaku), produk apa yang mereka inginkan, dan model bisnis seperti apa yang pantas untuk diterapkan, kebanyakan bank belum memiliki sistem terintegrasi yang dapat mengakses informasi seperti ini. Sedangkan customer data merupakan langkah pertama dalam proses digitalisasi sistem.”
2. IT Infrastructure
Hambatan kedua yang perlu diperhatikan adalah infrastuktur IT. Dalam hal ini Jigar menjelaskan bahwa infrastuktur yang ‘tangkas’ akan dapat memudahkan adaptasi perbankan terhadap kanal-kanal baru digital yang masuk ke pasar, seperti aplikasi-aplikasi mobile misalnya. Sayangnya, menurut Jigar, integrasi aplikasi perbankan di Indonesia masih belum terlalu baik.
“Sistem aplikasi IT di sini masih belum terintegasi dengan baik. Jadi ketika Anda mencoba menawarkan suatu solusi kepada konsumen, terkadang mereka tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan. […] Solusinya adalah Anda harus membuka kesempatan bekerja sama dengan beberapa pihak lain untuk ini,” ujarnya.
3. Unbanked People
Hambatan terakhir adalah yang paling sering menjadi bahan diskusi, yakni unbanked people. Pemerintah sendiri memang sudah melakukan beberapa upaya seperti menggalakkan program kehadiran branchless banking dan mobile banking untuk mengakomodasi ini. Meskipun menunjukkan pertumbuhan yang baik, tak serta merta kedua program tersebut menjadi solusi untuk memecahkan masalah ini.
Jigar mengatakan, “Dengan banyaknya unbanked people ini, yang menjadi pembahasan adalah bagaimana cara yang baik untuk menarik mereka, menciptakan relasi antara bank dengan mereka, dan juga bisnis model yang seharusnya diterapkan agar mereka mau menjadi nasabah.”
Menanggapi hal tersebut Tom menambahkan dengan menjelaskan bahwa hal tersebut bukan sekedar membuat mereka menjadi nasabah bank saja, karena sejak awal bank memang tidak memiliki peran penting di kehidupan mereka. Menurut Tom, permasalahan ini lebih ke arah tentang bagaimana membawa meraka menjadi lebih aktif di perekonomian dan membuat kehadiran bank menjadi lebih relevan di kehidupan mereka.
Tom menjelaskan:
“Permasalahan seperti ini sebenarnya tidak secara khusus menjadi permasalah bank, tapi lebih ke arah sosial ekonomi. Ini tentang bagaimana membuat mereka menjadi lebih aktif di perekonomian, dan membuat kehadiran bank menjadi relevan di kehidupan mereka. Dengan demikian ke depannya mereka akan menjadi lebih aktif lagi dalam ekosistem perbankan, dan menggunakan teknologi yang ada seperti apps, atau apapun itu.”
Softaware AG sendiri sebenanarnya tidak membidik langsung end user, tapi lebih menyasar perbankan itu sendiri. Di Indonesia, Software AG mencoba menawarkan kapabilitas platform teknologi yang dapat membantu perusahaan menjadi “digital enterprise“. Platform tersebut diklaim dapat mengelola data dalam volume yang sangat besar (memanfaatkan teknologi cloud dan big data analytics) sehingga ke depannya mampu mengatasi permintaan yang timbul dari “Internet of Things”.