Dark
Light

Strategi Startup Perjalanan Wisata dan Aktivitas Lokal, Belajar dari Penutupan Tripvisto

3 mins read
December 8, 2017
Bertahan dan kreatif adalah kunci sukses bagi startup yang menghadirkan aktivitas dan perjalanan wisata / Pexels

Ditutupnya salah satu layanan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata Tripvisto sekitar bulan Oktober lalu menyisakan sebuah pertanyaan besar. Ada apa dengan bisnis ini yang memiliki potensi cerah dengan target pasar yang menggiurkan, terutama kalangan millennial.

Tripvisto merupakan startup yang fokus dengan bisnis ini sejak tahun 2014 dan telah menerima pendanaan dalam jumlah relatif besar ($1 juta di putaran pendanaan terakhirnya) dan didukung investor ternama (East Ventures, Gobi Partners).

Didirikan Bernardus Sumartok, yang sebelumnya juga sempat menutup bisnis serupa, Flamingo, Tripvisto sendiri sempat mengalami pertumbuhan bisnis yang positif dengan merekrut anggota tim yang cukup banyak, pindah ke kantor yang lebih besar, hingga menghadirkan ribuan perjalanan wisata lokal hingga mancanegara.

Kerasnya bisnis di sektor ini akhirnya mendorong Tripvisto untuk tidak meneruskan bisnisnya. DailySocial sendiri belum memperoleh konfirmasi langsung dengan Sumartok, namun pandangannya soal sektor marketplace perjalanan wisata bisa disimak di video liputan DScussion #59 kami.

Sektor yang terlalu fragmented

Di Indonesia sendiri saat ini cukup banyak startup serupa yang mencoba menghadirkan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata lokal hingga asing.

Salah satu startup yang baru saja meluncurkan layanan serupa adalah Triprockets. Startup ini menerapkan cara yang sama dilakukan Airbnb, yaitu sharing economy atau ekonomi berbagi antar pengguna. Triprockets disebutkan didirikan demi memberikan alternatif pilihan kegiatan wisata yang unik baik di Indonesia maupun negara lainnya.

Terkait dengan kegagalan yang dialami layanan serupa, CMO Triprockets Raymond Iskandar mengungkapkan hal tersebut cukup mengejutkan namun menyadari bahwa sektor tours and activities mungkin bisa dikatakan sebagai satu-satunya ladang hijau di dalam industri pariwisata.

“Tapi namanya sebuah ladang yang hijau, itu juga berarti banyak hal yang masih harus dilakukan. Jadi bukannya tidak mungkin dalam 5 tahun ke depan kita masih membangun blok pondasi dasar buat bisnis kita.”

Raymond melanjutkan sektor ini terbilang masih sangat fragmented. Ada ribuan perusahaan operator kecil menengah yang tersebar di seluruh dunia. Hal tersebut yang menyulitkan bisnis untuk dapat bertindak sebagai agregator dalam satu website. Berbeda halnya dengan industri lain di segmen ini, seperti hotel atau penerbangan (OTA). Saat ini menjual produk mereka relatif lebih mudah secara online dengan data yang telah tersedia.

“Sedangkan dalam kategori tour dan aktivitas tidak semudah itu, karena mencakup segala hal-hal kecil mulai dari multi-day tour, tour harian, tour jalan kaki, bersepeda, kelas memasak hingga harga tiket masuk taman hiburan. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membuat mereka terhubung dan ‘berbicara dalam bahasa yang sama’, mengkategorikan mereka dalam satu kategori yang konsisten saja sudah merupakan tantangan tersendiri,” kata Raymond.

Model bisnis yang terlalu “luas”

Sementara bagi Traventure, marketplace yang mencoba menemukan para kreator wisata dengan para pencari kreasi wisata baru di Indonesia, melihat fenomena yang terjadi untuk Tripvisto adalah karena terlalu luasnya layanan yang dihadirkan. Tripvisto dianggap kesulitan untuk fokus menjual paket.

“Sedangkan Traventure berangkat sebagai antitesisnya, kami berangkat dengan visi mengumpulkan dan mengaktifkan setiap orang di indonesia untuk bisa membuat dan menampilkan paket trip kreasi mereka sendiri. Kami menyebutnya bottom-up approach. Kami ingin koleksi kami mirip dengan Tripvisto, kaya dan beragam. Tapi juga dimiliki oleh banyak pihak (marketplace) dan koleksinya alternatif,” kata Co-Founder Traventure Bondan Sentanu Mintardjo kepada DailySocial.

Kendala lain yang masih dihadapi bisnis ini adalah sulitnya mengkuantifikasi harapan market (online) akan produk yang abstrak seperti experience dan activity yang menjadi komoditas di sini.

“Pergeseran gaya hidup (yang berhubungan dengan gap generasi) juga harus dipelajari secara detil untuk memastikan dengan jelas demografi market yang mau disasar, karena sifat dan kebutuhannya beda satu dengan lainnya,” kata Bondan.

Ciptakan mindset survive, kreatif dan beradaptasi

Baik Triprockets dan Traventure hingga kini masih berusaha untuk menemukan momentum yang tepat agar bisnis bisa tumbuh dengan cepat. Untuk itu salah satu kunci kesuksesan yang mereka yakini adalah bertahan dan lebih kreatif. Keduanya melihat segmen bisnis ini menjadi sangat ideal dan sudah sangat tepat diluncurkan saat ini menargetkan kalangan millennial yang menggemari kegiatan wisata unik dan menarik.

“Sebetulnya menurut saya, saat ini adalah saat yang paling baik untuk sektor ini di mana dengan menurunnya generasi baby boomers yang sebelumnya mendominasi pasar travel dunia, akan semakin memudahkan kita untuk penetrasi pasar oleh generasi yang lebih muda,” kata Raymond.

Sementara menurut Bondan, agar bisnis bisa survive, idealnya startup yang berencana untuk menjalankan bisnis serupa bisa tampil lebih kreatif, Jangan mendikte market dengan koleksi trip “usang”.

“Bisnis wisata adalah bisnis kreatif dan sustainable, maka hargai nature bisnis ini dengan cara yang sama. Traventure sendiri masih dalam perjalanan menuju ke arah tersebut, jalan terjal dan berliku masih harus ditempuh, dan meminjam semangat traveling, di situ letak keseruannya,” kata Bondan.

Hal lain yang digarisbawahi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan menghindari untuk terlalu “mencintai” model bisnis yang dimiliki. Mereka juga harus fokus ke tujuan akhir startup, yaitu memberi pelanggan apa yang mereka inginkan terlepas dari model bisnis yang dimiliki.

“Bahkan sebuah perusahaan raksasa saja akan gagal kalau kita tidak mampu berubah dan beradaptasi. Triprockets dulu memulainya dengan menjual tiket atraksi, aktivitas dan tours dengan pola two-sided B2C marketplace yang saya rasa sama persis dengan konsep Tripvisto. Tapi di perjalanan it just turned out this peer-to-peer marketplace was the best way to serve great activity experiences untuk pelanggan kami. If this hadn’t worked out then keep adapt your business model,” kata Raymond.

Hal senada diutarakan Bondan dengan bisnis paket wisata unik yang dijalankannya. Meskipun masih berusia belia, namun Bondan dan tim percaya bisnis ini akan mengalami pertumbuhan yang positif nantinya.

“Hipotesis yang kita percaya, dan selama berjalannya Traventure ini masih konsisten, adalah bagaimana memberikan “rasa manusia” kepada platform aplikasi kita, bukan sekedar etalase kaku. Karena kembali lagi, yang kita jual adalah experience yang hubungannya dengan pemenuhan rasa/spritualitas pembeli,” kata Bondan.

Previous Story

Aplikasi Keanggotaan Restoran Premium “Alacarte” Resmi Meluncur

Next Story

Tak Mau Kalah dari Instagram, VSCO Luncurkan Fitur Messaging di dalam Aplikasinya

Latest from Blog

Don't Miss

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 2 dari 2)

Bagian 1 menyajikan perjalanan awal Traveloka serta perkembangannya mulai dari pilihan

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard