Strategi ESPL Dalam Buat Turnamen Esports Amatir

ESPL ingin membuka jalan bagi gamer amatir agar bisa menjadi pemain profesional

Menjadi atlet esports kini bukan sekadar mimpi di siang bolong. Meskipun begitu, tidak mudah bagi seseorang untuk bisa menjadi pemain profesional. Menyadari hal ini, Esports Players League (ESPL) ingin menyediakan platform untuk menyelenggarakan turnamen esports bagi gamer amatir.

Dalam wawancara eksklusif dengan Hybrid.co.id, Lau Kin Wai, Co-founder dan President ESPL menjelaskan bahwa dia percaya, semua gamer seharusnya memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam turnamen esports. "Seorang gamer seharusnya bisa membuat tim bersama teman-temannya dan ikut dalam turnamen esports online, membuka jalan bagi mereka untuk menjadi pemain profesional," ujarnya.

Berbeda dengan kebanyakan penyelenggara turnamen esports, ESPL ingin fokus pada penyelenggaraan turnamen esports secara online. "Esports adalah kegiatan digital, tapi banyak turnamen esports yang menggunakan model bisnis offline," aku Lau. Memang, belakangan, beberapa turnamen esports mengadopsi model bisnis yang digunakan di olahraga tradisional. Misalnya, Overwatch League dan Call of Duty League yang menetapkan sistem kandang-tandang. Harapannya, tim yang menjadi tuan rumah akan bisa mendapatkan pemasukan ekstra dari penjualan tiket.

CEO ESPL Michael Broada (kiri) serta Co-founder dan President ESPL Lau Kin Wai (kanan).

Meskipun begitu, model franchise yang digunakan oleh Activision Blizzard dalam OWL dan CODL juga memiliki kelemahan tersendiri. Salah satunya, tidak semua orang bisa ikut serta dalam turnamen tersebut. Sebaliknya, ESPL ingin mengadakan turnamen esports terbuka yang bisa diikuti oleh para pemain amatir. Dengan begitu, gamer amatir ini diharapkan akan bisa menjadi pemain profesional.

Lau bercerita, salah satu tantangan ESPL pada awal mereka beroperasi adalah mendorong para pemain amatir untuk membentuk tim. "Kami juga harus memberanikan mereka agar tim bisa bertahan cukup lama. Sebagian tim amatir, mereka membubarkan diri dalam waktu singkat," katanya. Dia mengaku, ada banyak pihak yang tertarik untuk mengikut turnamen esports amatir. Sayangnya, manajemen tim amatir tidak serapi tim profesional. "Kami mencoba untuk melakukan bootcamp, edukasi online, tentang bagaimana mereka bisa mengatur tim," dia menjelaskan.

Hanya saja, menyelenggarakan turnamen esports online juga memiliki masalah tersendiri. Misalnya, koneksi internet. Terutama karena ESPL menyasar pasar negara berkembang di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin. Terkait hal ini, Lau berkata, "Jaringan internet, khususnya di kota-kota besar, berkembang pesat. Mereka bisa langsung menggunakan jaringan 5G." Lebih lanjut dia menjelaskan, mobile game kini juga didesain untuk tidak menggunakan bandwidth besar. Dia juga percaya, infrastruktur internet di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin akan terus membaik.

Asia Tenggara dan Amerika Latin menjadi target pasar ESPL. Alasannya adalah karena keduanya merupakan pasar game dengan pertumbuhan paling cepat selain Tiongkok. Selain itu, kebanyakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin juga merupakan negara mobile-first. Perangkat mobile menjadi alat utama bagi gamer untuk bermain game. Selain Amerika Latin dan Asia Tenggara, belum lama ini, ESPL juga memasuki pasar India melalui kerja samanya dengan Paytm.

Lau sangat optimistis akan masa depan esports. Dia berkata, "Kami percaya, esports akan menjadi olahraga paling besar dengan jumlah penonton paling banyak."