Pasca mengumumkan peresmian kehadiran Go-Jek di Thailand dan Vietnam, Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim menuturkan bagaimana strategi perusahaan ke depannya, serta persaingannya dengan pemain ride hailing raksasa di Asia Tenggara, Grab dalam suatu wawancara bersama CNBC.
Nadiem menuturkan strategi yang dipilih Go-Jek untuk bersaing adalah bermitra dengan tim lokal. Menurutnya keberadaan tim lokal diharapkan dapat menerjemahkan konsep yang sudah dijalankan Go-Jek ke dalam konteks lokal. Untuk itu, perusahaan melakukan bimbingan kepada mereka tentang apa saja yang telah dipelajari Go-Jek agar sukses dan hal apa saja yang tidak berhasil di jalankan di Indonesia.
Dengan strategi membimbing dari jarak jauh, harapannya seiring waktu berjalan mereka dapat benar-benar menciptakan strategi yang unik untuk pasarnya masing-masing. Baik itu dalam hal memilih produk yang akan diluncurkan, urutan bagaimana meluncurkannya, dan bagaimana mereka melakukannya, hingga bagaimana ingin memposisikan merek di pasar.
Penamaan merek itu sendiri, sambung Nadiem, seluruhnya diserahkan kepada tim lokal mau diubah ataupun tidak. Beberapa negara yang akan disambangi Go-Jek, bahkan memutuskan untuk tetap memakai nama Go-Jek. Seperti terlihat dari nama resmi yang diumumkan Go-Jek saat mengumumkan peresmian namanya di Thailand dengan nama GET, sementara di Vietnam dengan Go-Viet.
“Tim lokal merasa nama Go-Jek adalah nama yang sangat baik dan memiliki esensi merek yang baik pula,” terangnya.
Dari sisi strategi promosi pun, Nadiem mengungkapkan pihaknya sudah menyiapkan berbagai strategi yang diklaim akan lebih adil dan lebih cerdas, sehingga dapat menguntungkan baik bagi pengemudi maupun pelanggan. Namun cara yang dipakai akan lebih cerdas dan bisa dilakukan secara berkelanjutan.
Cara ini menurutnya bisa didapat dari penyempurnaan yang selama kompetisi berlangsung, lambat laun perusahaan memahami bagaimana cara bermanuver dan menciptakan efisiensi dalam promosi dan mengembangkan pasar. Dia pun memberi perumpamaan, lebih baik pertahankan konsumen yang kurus namun daya konsumsinya lebih banyak daripada mempertahankan konsumen bertubuh gemuk dengan konsumsi yang lebih sedikit dari orang sebelumnya.
“Kami telah berada di masa tersebut sepanjang waktu ini dan sekarang kami bertukar giliran, di mana kami akan melakukan pelanggaran dan menciptakan opsi untuk pengemudi dan pelanggan.”
Dia melanjutkan, jika dalam suatu pasar hanya ada satu opsi maka potensi kemauan konsumen untuk mencoba opsi kedua akan sangat besar sekali. Pasalnya jika dilihat dari dua perspeketif berbeda, setiap pengemudi ingin ada pilihan, setiap konsumen ingin kompetisi. Maka menurutnya hal tersebut adalah pemicu terbesar yang akan memastikan bahwa Go-Jek bisa sukses.
“Itulah yang kami harapkan bisa membuka jalan jadi lebih relatif lancar.”
Di samping itu, memberikan pilihan layanan bagi semua orang adalah inti utama yang ingin diberikan Go-Jek. Dari tim internal, dia dan tim banyak berpikir bahwa Go-Jek telah membangun cukup banyak perusahaan dan layanan di Indonesia, apakah model seperti ini bisa diekspor. Apakah tim bisa menemukan cara baru untuk benar-benar menggerakkan negara berkembang secara digital atau sangat spesifik untuk Indonesia.
“Tingkat keingintahuan itu sangat tinggi bagi semua orang di Go-Jek. Jadi bagi kami itu akan sangat menarik untuk pergi keluar dari Indonesia untuk melihat apakah model ini bisa direplikasi dalam konteks budaya yang berbeda.”
Momen tepat ekspansi
Tak hanya membicarakan strategi, Nadiem juga mengungkapkan terkait tepatnya momen pengumuman ekspansi Go-Jek beberapa saat setelah Uber mengumumkan penutupan bisnisnya di Asia Tenggara. Nadiem bilang bahwa banyak hal yang kebetulan terjadi pada Go-Jek dan itu jadi semacam suatu kekuatan inti utama dari mereka.
Dia melihat pelajaran pertama yang bisa diambil dari Uber adalah sangat sulit dan mahal harganya untuk mempertahankan satu vertikal bisnis saja. Untuk mempertahankan dan melibatkan pengguna, perusahaan perlu melibatkan diri dengan mengambil beberapa momen dalam kehidupan sehari-hari mereka. Makanya, dia menempatkan Go-Jek sebagai rumah, platform, dan hub.
“Untuk menjadi bisnis jangka panjang dan berkelanjutan, harus menjadi platform. Anda perlu memiliki banyak layanan dan mereka harus perkuat satu sama lain. Bagaimana menciptakan sinergi dari sisi suplai, strategi retensi dari sisi demand.”
Hal ini terjadi di Go-Jek, di mana setiap kali meluncurkan layanan, proses akuisisi pengguna Go-Jek terus meningkat karena perusahaan hanya mengonversi pengguna yang sudah ada untuk mencoba hal baru, hal baru, dan hal baru. Ini berdampak pada biaya akuisisi setiap pelanggan baru dalam setiap vertikal baru terus menurun.
Baginya, proses ini adalah siklus yang sangat positif sehingga semakin banyak vertikal yang diciptakan dari platform, semakin banyak monetisasinya, tingkat konsumen yang kembali ke platform pun akan semakin tinggi.
“Tidak masalah dari mana mereka berasal, mungkin dari transportasi ride hailing, atau dari Go-Food, Go-Pulsa atau Go-Tix, yang terpenting ketika pengguna terpaku dengan satu layanan yang bisa menyelesaikan masalah mereka jauh lebih mudah, akan lebih mudah meraih mereka,” pungkas Nadiem.