“Ketakutan” karena rumor bisa menjadi sesuatu produktif. Setidaknya itu yang menjadi dasar pembuatan situs social media mirip Facebook, yang dikustomisasi oleh pengembang lokal menjadi Statusbooks. Didirikan oleh Andy Syoekri Amal — jurnalis dan juga blogger Kompasiana dari Palopo, Sulawesi Selatan, yang sebelumnya terpilih sebagai Kompasianer 2010 — Statusbooks awalnya merupakan Facebook Pages yang per tulisan ini ditulis sudah memiliki lebih dari 6200 orang yang menyukainya. Ketakutan terhadap rumor Facebook bakal ditutuplah — sehingga menutup sarana komunikasi via Facebook Pages tersebut — yang mendorong dibuatnya Statusbooks ini.
Statusbooks dikustomisasi berbasiskan engine yang dibuat oleh Blogtronix. Sepintas tampilannya sangat mirip Facebook. Anda bisa membuat status, membagi video ataupun tautan, dan menambah teman. Tersedia pula layanan pembuat grup. Statusbooks juga menambahkan kemampuan mention per anggota, sehingga menganggap dirinya memiliki fitur seperti Twitter juga.
Satu hal yang saya kurang suka adalah kemampuan mengkustomisasi latar belakang seperti laiknya Friendster. Buat saya, salah satu alasan pindah ke Facebook adalah ketidakbisaan kustomisasi latar belakang ini sehingga lebih neat, beda dengan Friendster yang tidak menyenangkan User Interface-nya setelah dikustomisasi dengan latar belakang  bermacam-macam.
Buat saya, justru fitur umum Statusbooks ini yang membuatnya tidak memiliki kelebihan baru bagi (calon) pengguna. Coba Anda bandingkan Fupei dan SixReps yang keduanya sama-sama dibuat oleh Sanny Gaddafi. Fupei yang bersifat umum cenderung stagnan penggunanya, sementara SixReps yang khusus untuk dunia fitness dan binaraga malah lebih mendapat tempat. Karena memang susah menembus hegemoni Facebook, justru pengembang lokal sebaiknya membuat situs social media yang lebih niche supaya mempunyai nilai tambah.
Saya baru melihat suatu situs social media dari Singapura yang khusus untuk anak SD. Hanya anak-anak yang terdaftar di sekolah-sekolah di Singapura saja yang bisa ikutan. Plus untuk mengurangi kemungkinan kejahatan, anak-anak hanya bisa menambah teman dari yang satu jaringan saja, misalnya satu sekolah. Ini contoh menarik bagaimana pasar niche dikembangkan. Facebook mensyaratkan penggunanya berumur minimal 13 tahun. Bagaimana dengan anak-anak SD yang mulai melek penggunaan teknologi tapi belum bisa bergabung dengan Facebook? Situs seperti ini jawabannya.
Kembali ke Statusbooks, tentu saja keberadaannya dapat menghemat bandwidth negara karena tersedia di server lokal, tapi secara jangka panjang, Statusbooks harus menemukan hal niche yang bisa ditawarkan ke pengguna Indonesia yang sudah tergila-gila dengan Facebook ini. Potongan kue di segmen ini memang besar, tapi untuk mendapatkan 1 juta pengguna secara jangka panjang, kita harus menawarkan sesuatu yang berbeda.
keunikan ide memang modalnya, sayang memang menemukan niche itu gampang2 susah.
saya pernah mencoba cms dari blogtronix ini. Dan di CMS itu emang sudah ada bahasa indonesianya. Sedikit kurang menantang jika social media ini enginnya memakai engine opensource, karena semua orang bisa saja membuat yg seperti ini. Tapi sah2 aja sih 🙂
Mari kita buat satu lagi social media seperti Facebook! Payah. Model bisnis apaan tuh, niru.
error tuh… mending http://www.facenesia.com masih tahap proses lahir nih. Mohon dukungannya yah..
error tuh… mending http://www.facenesia.com masih tahap proses lahir nih. Mohon dukungannya yah..
‘takut facebook ditutup?’ kok seolah dibuat-buat aja alasannya…
gak rame ah..membernya br 1 org! mau ngobrol sm siapa coba
tutup tuh facebook kaya .gituh
udah bangkrut iyah
huhh .Facebook Jadul
FUCK Bakal lLoe Taii