Dark
Light

Startup Jungkir Balik Sendirian dalam Ekosistem Buruk di Daerah (Bagian 2)

2 mins read
May 29, 2015

Startup daerah masih jungkir balik dalam ekosistem buruk / Shutterstock

Saya memahami kenapa penggiat startup di Jakarta menitikberatkan pembicaraan pada pendanaan atau investor. Secara teritori, market dan user di Jakarta sudah terbentuk, begitu pula dengan investornya yang sudah bermunculan, meskipun investor startup lebih didominasi investor luar. Untuk startup di daerah seperti saya, market dan investor itu belum terbentuk, apalagi regulator, walau dari segi ukuran user sangat prospektif.

Apakah program inkubasi sekedar strategi pemasaran?

Saya mengapresiasi PT Telkom yang saat ini punya program inkubasi bagi startup. Di Balikpapan pun Telkom sudah membangun Digital Innovation Lounge (Dilo) sejak tahun lalu. Namun saya merasakan ada gap (jurang) yang cukup lebar soal pemahaman bisnis digital dan startup antara awak Telkom pusat dan Telkom daerah. Saya merasa (ini cuma perasaan saja) lebih banyak tidak nyambungnya ketimbang nyambungnya kalau bicara tentang bisnis digital dan startup dengan awak Telkom daerah. Saya juga melihat kegiatan inkubasi atau pembinaan startup di Balikpapan lebih kepada strategi pemasaran, bukan filantropi. Padahal saya sangat berharap program inkubasi dan pembinaan ini murni filantropi atau CSR, bukan ajang pemasaran BosToko, IndiHome, atau WiFi.id.

Saya rasa Telkom juga tidak bebas dari jebakan hype. Februari lalu Telkom menggelar Indigo Apprentice Awards 2015 sebagai ajang kompetisi mobile app. Pemenangnya akan diberi pendanaan, mentor, dan network. Begitulah, ketika mobile app sedang populer, Telkom juga ikut ramai-ramai di mobile app.

Telkom yang mengklaim acara ini sebagai “berburu startup lokal”, menurut saya juga harus mengubah polanya menjadi kompetisi di internal Telkom itu sendiri. Telkom yang memiliki program inkubasi harus mendorong Telkom daerah untuk memaksimalkan inkubasi itu, mendidik dan membina anak-anak dalam inkubasinya dan membawa mereka berkompetisi dengan anak-anak inkubasi Telkom dari daerah lain. Jadi, posisinya bukan Telkom sebagai penyelenggara acara, tapi fasilitator, mentor, promoter dan penyedia network. Itu bila memang niatnya filantropi. Kalau sekedar bikin lomba, sudah sangat banyak lomba sejenis ini dari tingkat lokal sampai internasional.

Sementara program inkubasi dari pihak swasta juga mesti jujur, apakah ia filantropi atau strategi bisnis. Inkubasi juga harus didefinisikan lagi: apakah ia jadi fasilitas pembesaran atau sebatas fasilitas balai latihan?

Di saat program dan tempat berlabel “inkubator” tumbuh cukup banyak, sampai sekarang saya tidak melihat ada kompetisi antar inkubator. Bila startup dianggap bayi, maka pelaksana inkubator selayaknya dianggap ibu. Selama ini yang dikompetisikan hanya bayi-bayi itu saja, dan kebanyakan bayi ini jungkir balik sendirian. Saya menunggu para “ibu” ini ikut dikompetisikan sebagai cara kita mengukur keberhasilan inkubator sehingga program inkubasi menjadi program yang berkelanjutan dan intensif. Bukan sekedar membangun fasilitas, menyediakan Internet, bikin lomba, lalu selesai.

Ekosistem yang mendukung startup daerah

Tulisan saya di atas mungkin bernada mengeluh. Tapi kenyataannya, startup yang saya miliki tidak pernah sepeser pun didanai dan dapat pemasukan dari pemerintah. Meski bermitra dengan Telkom, tapi tak sepeser pun pernah dapat bantuan dari Telkom. Dan memang bukan itu yang kami cari. Sebaliknya, kami memberikan nilai tambah yang sangat besar kepada pemerintah dan Telkom dalam turut menciptakan ekosistem digital perkotaan. Kisah saya tadi adalah gambaran anak muda daerah berjuang sendirian membangun startup dalam ekosistem yang tak mendukung — dan berhasil survive meski berdarah-darah.

Saya yakin anak muda Indonesia tidak pantang menyerah, siap mandiri, bahkan jungkir balik dalam membangun usaha. Meskipun demikian, menceburkan mereka bersamaan ke lautan darah persaingan bisnis digital saat masih “lugu-lugunya” dan ketika slogan “Kami Dukung Bisnis Startup!” bertebaran, sungguh tidak pantas.

Di sisi pemerintah, startup butuh dukungan terwujudnya ekosistem yang baik, bukan butuh didanai pakai APBD atau dibangunkan tempat. Utamanya adalah didukung lewat pengakuan, promosi dan network ke kalangan pemilik modal dan market. Pemerintah juga harus mampu menciptakan ekosistem digital perkotaan yang pada akhirnya membuat produk atau jasa milik startup punya value, misalnya membuat mobile app informasi perkotaan.

Dukungan pemerintah bukan dengan membeli aplikasi itu menggunakan APBD, tapi ikut mempromosikannya kepada khalayak dan mempertemukan startup itu dengan orang-orang yang bisa membantu mengembangkan bisnisnya. Startup butuh didukung lewat pengakuan dan ekosistem, bukan “disusui”. Bila sampai saat ini Pemda rajin ikut pameran dan eksibisi memamerkan kerajinan daerah sampai luar negeri, sudah saatnya produk startup turut di-endorse sebagai produk daerah.

Begitu juga cara memandang kebutuhan startup terhadap pendanaan. Bukan soal bagaimana cara agar startup mendapatkan investor, tapi bagaimana menciptakan ekosistem, iklim bisnis dan tata niaga yang baik untuk bisnis digital, serta membina startup agar bisnis dan produk mereka dihargai investor.


Tulisan ini disadur dari artikel aslinya dengan penyuntingan tanpa mengurangi maksud.

Hilman Fajrian adalah Digital Director Social Lab dan Discover Borneo, serta Direktur Bisnis Koran Kaltim. Berpengalaman di industri e-commerce sejak tahun 1998 dan mulai tahun 2010 menggeluti sektor social commerce. Kontak: hilman(at)soclab.co

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Arguments to Support Streaming Business

Next Story

Daum Kakao Resmi Akuisisi Path

Latest from Blog

Don't Miss

Web3 penulis

Kepenulisan dan Penulis dalam Blockchain

Nawala dan portal informasi tertulis kian menjadi sarana distribusi informasi

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri